Filsafat Sains untuk Memperkuat Pengembangan Sains
Pengembangan sains semakin dibutuhkan untuk memberikan solusi bagi kehidupan umat manusia. Budaya untuk pengembangan sains harus digali dari nilai-nilai Indonesia yang majemuk dengan dukungan filsafat sains.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
DOKUMENTASI PBK
Peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas berjudul Filsafat Sains, Intelektualisme, dan Riset untuk Perubahan yang digelar secara daring, Selasa (9/8/2022). Buku ini ditulis Guru Besar IPB University Herry Purnomo .
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan sains untuk pengetahuan baru dan solusi berbasis kebenaran ilmiah bagi kehidupan bangsa semakin dibutuhkan. Untuk itu, Indonesia perlu mulai menggali nilai-nilai atau budaya bangsa yang dapat menjadi saka guru bagi pengembangan sains agar dapat berkontribusi bagi peningkatan kehidupan bangsa dan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan.
Meskipun pemanfaatan sains bisa diaplikasikan untuk memecahkan masalah bangsa, ada beragam variabel lain yang perlu dipertimbangkan, seperti politik, bisnis, hingga sosial, yang juga menentukan hasil riset nantinya akan diimplementasikan atau tidak. Sebagai ilmuwan, prinsip untuk berpegang pada kebenaran ilmiah harus kuat, dengan tetap terbuka terhadap pemikiran atau perspektif lain lewat multidisiplin dan transdisiplin ilmu serta berkolaborasi dengan jejaring peneliti lain.
Dalam peluncuran buku terbitan Penerbit Buku Kompas berjudul Filsafat Sains, Intelektualisme, dan Riset untuk Perubahan secara daring, Selasa (9/8/2022), Guru Besar IPB University Herry Purnomo selaku penulis mengatakan, menjadi ilmuwan justru lebih sederhana dibandingkan politisi atau pejabat publik yang dalam pengambilan keputusan mempertimbangkan banyak hal. Para ilmuwan hanya setia pada kebenaran ilmiah, meskipun kebenaran ilmiah bukan satu-satunya kebenaran yang teruji, karena ada kebenaran lain seperti kebenaran agama yang mutlak.
Menurut Herry, dalam pengembangan sains juga ada budaya yang melekat, baik budaya barat dan timur, maupun agama. Sebagai contoh India, ada budaya untuk berdebat dan berlogika sehingga dalam pengembangan sains bisa maju yang didukung juga di ajaran Hindu.
”Indonesia harus menemukan ajaran kita yang mendukung untuk pengembangan sains. Dalam budaya kita, sinergi alam semesta dengan manusia banyak. Tapi untuk secara kritis menguji realitas yang ada belum terbangun. Kita perlu menemukan hal-hal apa dari budaya kita yang khas Indonesia, yang majemuk, untuk bisa menaikkan pengembangan sains. Seperti di Indonesia banyak mitos, sebenarnya bisa diuji untuk menjadi logis, atau sebaliknya. Membuat mitos yang banyak dipercayai menjadi logis, itu jadi kerjaan sains,” kata Herry.
Herry yang juga pengajar filsafat sains untuk mahasiswa doktor di IPB University mengatakan, buku filsafat sains yang ditulisnya terdiri dari 15 bab tentang perkembangan filsafat termasuk hingga post-modernisme. Selain menjadi buku rujukan, buku filsafat ini juga dilengkapi dengan banyak grafik, kartun, diagram, dan puisi.
Topik yang dibahas juga termasuk kontribusi ilmuwan Islam; sains dan agama, sains untuk masa depan guna menjawab sustainability dan adaptability; hingga bagaimana riset bisa berkontribusi. Ada juga bahasan untuk meningkatkan kinerja ilmuwan Indonesia yang harus meningkatkan publikasi dan advokasi sains.
Bahasan tentang novelty atau kebaruan juga menjadi hal yang harus dipertimbangkan ilmuwan, terutama para calon doktor yang harus menuntaskan disertasi. Dengan demikian, riset tak hanya untuk sekadar memenuhi syarat kelulusan, tetapi dipikirkan bagaimana kontribusinya untuk pengetahuan dan solusi di suatu bidang.
Peluncuran buku juga disertai dengan pembahasan dari Ketua Senat Akademik IPB University periode 2017-2022 Dodi Nandika, Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin, Koordinator Dosen Filsafat Sains IPB University Indra Jaya, serta jurnalis senior Brigitta Isworo Laksmi. Hadir pula Rektor IPB University Arif Satria, perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, perwakilan CIFOR-ICRAF, Dekan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University Naresworo Nugroho, dan Dekan Sekolah Pascasarajana IPB University Anas Miftah Fauzi.
Keberpihakan sains
Arif Satria mengatakan, sains terus berkembang dengan laju dinamis sehingga yang diperlukan keberpihakan sains untuk perubahan atau transformasi. ”Dunia akademis tidak bisa lepas dari realitas. Sains juga berangkat dari realitas, tidak hanya untuk instrumen memaknai dan memahami, tetapi juga solusi persoalan lingkungan hidup, kemiskinan, dan masalah sosial lain yang butuh pendekatan sains yang mengarah pada solusi. Pendekatan sains yang ada arus terus didiskusikan relevansinya utk kebutuhan zaman,” kata Arif.
Di abad ke-20, positivisme dominan dan akan menjadi landasan pengetahuan. Tapi ketika mengembangkan sains yang berkelanjutan, maka perlu landasan lain, yakni konstruktivisme. Latar belakang budaya, pendidikan, atau pengalaman bisa membawa orang atau sekelompok orang berbeda memaknai suatu fenomena.
”Karena itu, keragaman sudut pandang, landasan filsafat adalah faktor yang penting, khususnya bagi sains masa depan yang butuh keberpihakan untuk memberikan solusi, keberpihakan untuk membawa perubahan dan mendorong proses transformasi. Pendekatan filosofi terus digaungkan. Kita butuh menguatkan kerangka filsafat sains,” kata Arif.
Guru Besar IPB University Herry Purnomo, penulis buku berjudul Filsafat Sains, Intelektualisme, dan Riset untuk Perubahan. Buku ini diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2022.
Sementara itu, Dodi Nandika mengapresiasi penulisan buku filsafat sains guna menjawab kelangkaan buku berbahasa Indonesia yang lengkap tentang filsafat sains. ”Buku Filsafat Sains yang kandungannya komprehensif ini mengisi ruang kosong khazanah buku filsafat sains berbahasa Indonesia yang memang dibutuhkan. Harapannya dapat mendorong pengembangan sains secara signifikan dengan perubahan progresif dalam diri dan institusi,” kata Dodi.
Asep Saefuddin mengatakan, meskipun buku ini bukan ditulis dari ilmuwan filsafat, tapi cakupan bahasannya luas, mulai dari sejarah, aliran pemikiran barat, timur, campuran dan konektivitas antara ilmu pengetahuan. Di zaman Rektor IPB AH Nasution, saat itu sudah ditekankan pentingnya filsafat sains bagi ilmuwan yang bukan dari bidang ilmu filsafat.
”Buku ini mendorong untuk ilmuwan cinta kebijaksanaan. Calon ilmuwan yang paham kebenaran ilmiah yang sebenarnya kebenaran relatif, karena terus berubah, diajak untuk memahami filsafat, mencintai kebijaksanaan dan ilmu yang (keduanya) saling berkaitan,” kata Asep.
Brigitta Isworo Laksmi mengatakan, buku filsafat sains ini juga membahas narasi hoaks tentang sains dan agama. Ini menjadi pengingat untuk membuka kesadaran dan peringatan bahwa Indonesia mengalami ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan.
Ilmuwan diingatkan untuk terus memberikan kinerja berkualitas dan berkomunikasi dengan dunia dan tidak merasa inferior atau ketakutan karena terlihat kecil. Sebab, Ilmu akan berkembang kalau bisa disalahkan. Mereka yang membawa ”gelas kosong” bisa mendapatkan pengetahuan atau ilmu lebih.
”Ada bahasan yang relevan dan konteksual tentang kondisi ristek di Indonesia dan tentang hoaks yang berkeliaran. Namun, ada ajakan dari penulis bagaimana ilmuwan kita bisa menjadi sebuah dot atau titik yang berkualitas dan independen meskipun belum mampu mengubah keseluruhan. Syaratnya, harus mau menjadi diri yang terbuka dan bertemu dengan dot lain untuk memperluas pengetahuan, pencerahan, menjadi solusi, karena ilmu tidak bisa sendirian,” kata Brigitta.
Ketua Tim Peneliti/Ekonom Universitas Airlangga Rumayya Batubara berbincang dengan mantan Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Zumrotin K Susilo dan ekonom Universitas Indonesia, Dr Fithra Faisal, tentang potensi kenaikan tarif ojek daring.
Indra Jaya menambahkan, filsafat sains menjadi mata kuliah wajib program doktor IPB University. Lulusan doktor diharapkan mampu mengembangkan pengetahuan, teknologi, dan seni budaya melalui riset. Mahasiswa doktor juga diharapkan mampu memecahkan masalah dengan sains.
”Tidak hanya sebatas memahami, tapi hadir dalam memberikan solusi atas permasalahan yang ada melalui pendekatan interdisiplin, multidisiplin, atau transdisipliner. Mahasiswa doktor menyadari kompleksitas yang ada saat ini sehingga mendorong perlu adanya pendekatan multidisiplin untuk mengakomodasi kompleksitas yang ada,” kata Indra.