Perubahan iklim, peningkatan suhu, dan polusi udara berdampak pada dunia pendidikan. Capaian pembelajaran siswa dapat terpengaruh. Karena itu, perhatian pada isu perubahan iklim dan pendidikan perlu ditingkatkan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Aktivitas di Sekolah Alam Palembang, Peningkatan suhu global dan polusi udara dapat memengaruhi pencapaian belajar siswa sehingga perlu lingkungan sekolah yang hijau dan sehat.
Suhu global terus meningkat. Dunia pendidikan penting mewaspadai realitas perubahan lingkungan ini. Apalagi dunia pada 2022 berada di antara tahun terpanas keempat dan kedelapan sejak pencatatan dimulai pada pertengahan 1850-an. Suhu dan polusi udara dapat memengaruhi hasil belajar secara signifikan.
Dari blog World Education yang ditulis tim Global Education Monitoring (GEM) Report pada Juni 2022, berjudul Temperatures and Air Pollution Affect Learning, dipaparkan berbagai kajian dampak dari suhu ekstrem dan pencapaian pendidikan. Di dalam laporan GEM 2020 tentang hubungan antara suhu ekstrem dan pencapaian pendidikan di 29 negara ditemukan efek buruk pada sekolah, bahkan di antara rumah tangga yang lebih kaya.
Di Asia Tenggara, seorang anak yang mengalami suhu dua standar deviasi di atas rata-rata diperkirakan mencapai 1,5 tahun lebih sedikit untuk bersekolah. Analisis dampak panas yang ekstrem pada hasil ujian masuk perguruan tinggi dari 10 juta siswa di Amerika Serikat menunjukkan, mereka yang mengalami hari-hari yang lebih panas sebelum ujian memiliki prestasi yang lebih rendah. Panas yang ekstrem, terutama merugikan bagi siswa miskin dan minoritas.
Peningkatan suhu rata-rata tahun ajaran sekolah sebesar 1,8 derajat celsius menurunkan hasil belajar sebesar 1 persen, seperti halnya enam hari ketika suhu di atas 32,2 derajat celsius. Bantuan pendingin udara hampir seluruhnya mengimbangi efek ini. Tren tahun 2015 dalam Studi Matematika dan Sains Internasional, lebih dari 30 persen kepala sekolah di Bahrain, Iran, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Turki, dan Uni Emirat Arab melaporkan bahwa pendinginan yang tidak memadai di sekolah secara substansial memengaruhi pembelajaran siswa.
Analisis terbaru menunjukkan setengah dari kerangka kurikuler negara tidak secara eksplisit menyebutkan 'perubahan iklim' atau 'keberlanjutan lingkungan' sekalipun.
Studi di China dan Kosta Rika juga menemukan bahwa penurunan dari 30 derajat celsius menjadi 20 derajat celsius di ruang kelas akan meningkatkan kinerja tes rata-rata sebesar 20 persen, dengan asumsi bahwa suhu optimal di bawah 22 derajat celsius. Suhu ekstrem ini dianggap lebih parah untuk anak-anak di ruang kelas daripada orang dewasa di kantor, di mana diperkirakan ambang batas suhu optimal lebih tinggi.
Kurangi kemampuan kognitif
Bukan hanya suhu, tetapi polusi udara juga berdampak pada pembelajaran. Udara yang tercemar dapat mengurangi kemampuan kognitif secara signifikan dan mungkin tidak dapat diubah, mengingat dugaan neurotoksisitas. Di Israel, sebuah penelitian menemukan paparan debu sementara dapat mengurangi kinerja ujian siswa dan pencapaian pendidikan pascasekolah menengah. Sebuah studi kohort terhadap hampir 3.000 anak di Barcelona, Spanyol, menemukan, dengan menyesuaikan status sosial ekonomi, mereka yang terpapar tingkat polusi tinggi di sekolah memiliki pertumbuhan perkembangan kognitif yang lebih rendah daripada teman sebayanya di sekolah yang tidak terlalu tercemar.
Di Amerika Serikat, anak-anak yang bersekolah di arah angin dari jalan raya utama, dan sebagai akibatnya mengalami lebih banyak polusi udara, memiliki nilai ujian yang lebih rendah, lebih banyak ketidakhadiran, dan lebih banyak insiden perilaku daripada rekan-rekan yang menghadiri sekolah serupa yang berlokasi di sebaliknya. Efeknya lebih besar untuk jalan yang lebih sibuk dan berlanjut setelah anak-anak meninggalkan sekolah melawan arah angin.
Analisis perilaku pemain catur memberikan beberapa wawasan tentang area ini. Diperkirakan, peningkatan standar deviasi dalam debu meningkatkan kemungkinan membuat kesalahan saat bermain catur dan besarnya kesalahan.
Kualitas udara dalam ruangan sering kali jauh lebih buruk daripada yang diperkirakan. Bangunan dapat memperbesar atau mengeluarkan polutan, misalnya dari bahan bangunan, perangkat, dan bahan kimia yang mudah menguap dalam perabotan. Di Inggris, sebuah penelitian di sekolah-sekolah London menemukan tingkat polusi udara yang merusak lebih tinggi di dalam ruang kelas daripada di luar, menempatkan anak-anak pada risiko masalah kesehatan seumur hidup.
Meskipun sebagian besar bukti berasal dari belahan bumi utara, implikasinya sangat mengkhawatirkan untuk belahan bumi selatan, di mana tingkat polusi lebih tinggi, industrialisasi meningkat dan efek pemanasan global kemungkinan lebih kuat. Hal ini menghadirkan tantangan yang meningkat dalam menyediakan lingkungan belajar yang sesuai.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pemandangan gedung-gedung bertingkat yang diselimuti kabut polusi udara di kawasan Jakarta, Senin (6/6/2026). Menurut data AirVisual, situs penyedia peta polusi daring harian kota-kota besar di dunia, pada senin pukul 13.00, nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Kota Jakarta adalah 161 atau masuk dalam kategori tidak sehat. Sementara kandungan partikel halus di udara yang ukurannya 2,5 mikron atau lebih kecil (PM 2,5) sebesar 69 mikrogram per meter kubik, jauh diambang batas maksimal 5 mikrogram per meter kubik.
Sekolah-sekolah di India, Meksiko, dan Thailand tutup ketika polusi udara melebihi tingkat tertentu; mereka tutup dua kali di Delhi pada 2021. Sebuah studi yang meneliti efek kenaikan suhu global sebesar 2 derajat celsius pada 2050 memperkirakan sebanyak 22 persen kota akan mengalami kondisi iklim yang saat ini tidak dialami oleh kota besar mana pun.
Dampak kualitas udara dan peningkatan suhu kemungkinan akan lebih menjadi perhatian di ruang kelas. Dalam perkiraan global ada kemungkinan 93 persen rata-rata suhu lima tahun untuk 2022-2026 akan lebih tinggi daripada di 2017-2021. Polusi udara selanjutnya akan menjadi penyebab lingkungan utama dunia dari kematian dini, menyusul air kotor, dan kurangnya sanitasi.
Hal ini menuntut pemerintah untuk berpikir dua kali ketika merancang sekolah. Bangunan tidak hanya perlu menyediakan lingkungan belajar yang sesuai, tetapi juga harus netral karbon dan membatasi polutan lainnya. Desain bangunan dapat berperan, tetapi ventilasi mekanis dan penyaringan udara, dan biaya terkaitnya, perlu direncanakan juga jika kita ingin melawan perkembangan ini.
Pengetahuan lingkungan
Dalam laporan GEM berjudul Pendidikan untuk Manusia dan Planet, menunjukkan sistem pendidikan perlu memastikan sekolah memberikan keterampilan dan pengetahuan penting yang dapat mendukung transisi ke industri yang lebih hijau dan menemukan solusi baru untuk masalah lingkungan. Perhatian terhadap lingkungan telah menurun di hampir semua negara selama dua dekade terakhir.
Di negara-negara OECD, misalnya, hampir 40 persen siswa hanya memiliki pengetahuan dasar tentang lingkungan. Di sebagian besar negara, pendidikan merupakan indikator terbaik untuk kesadaran dan mitigasi perubahan iklim, analisis terbaru menunjukkan bahwa setengah dari kerangka kurikuler negara tidak secara eksplisit menyebutkan 'perubahan iklim' atau 'keberlanjutan lingkungan' sekali pun.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Siswa SD di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang ikut Olimpiade Sains Kuark 2018, diajak berkomitmen peduli pada isu perubahan iklim. Para siswa membawa botol air minum yang bisa dipakai berulang-ulang sebagai aksi nyata peduli pada isu mengurangi dampak perubahan iklim.
Singkatnya, laporan ini meminta kita semua untuk memikirkan kembali bagaimana pendidikan itu diselenggarakan, konten yang diprioritaskan, dan tujuannya. Ini mengingatkan kita semua, jika kita serius memenuhi agenda pembangunan global baru kita, kita harus meminta lebih banyak dari sistem pendidikan kita daripada sekadar transfer pengetahuan konvensional dan keterampilan dasar.
Sekarang, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan sekolah, universitas, dan program pembelajaran seumur hidup untuk berfokus pada perspektif ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya yang membantu memelihara warga negara yang berdaya, kritis, penuh perhatian, dan kompeten.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Saka Guru Pratama Sanny Djohan yang dihubungi di Jakarta, Senin (8/8/2022) mengatakan, pendidikan perubahan iklim masih belum dipahami praktiknya di dalam ruang kelas/sekolah oleh para pendidik. Padahal, para pendidik berperan penting untuk bisa memberikan pemahaman tentang perubahan iklim kepada anak-anak muda sebagai generasi dan pemimpin masa depan.
Kesadaran pentingnya pendidikan perubahan iklim di negara-negara Asia Tenggara perlu ditingkatkan dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk itu, pemangku kepentingan diminta untuk melibatkan pemuda dan sistem pendidikan sebagai bagian dari solusi atas tantangan besar dunia yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Transformasi pendidikan di sekolah butuh peran guru, salah satunya guru penggerak. Di SMA Negeri 5 Jayapura yang menerapkan Kurikulum Merdeka, siswa melaksanakan pembelajaran berbasis proyek, salah satu temanya hidroponik untuk membangun kepedulian pada isu lingkungan.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, perubahan iklim memengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai hal dan krisis iklim ini nyata. Pemahaman dan kesadaran tentang perubahan iklim disadari masih terbatas sehingga butuh kolaborasi dan dukungan pembelajaran bagi para pendidik yang dapat mendidik siswa memilih perubahan hidup yang lebih berkelanjutan
Nadiem mengatakan, Kurikulum Merdeka mendukung para pendidik untuk menjalankan pembelajaran bermakna, salah satunya dengan pembelajaran berbasis proyek. Para siswa akan mendapatkan pengalaman langsung untuk terpapar sebagai warga negara global yang juga bersama-sama menjaga alam tempat hidup umat manusia.