Kekayaan sejarah Indonesia dapat dijadikan inspirasi untuk melahirkan seni pertunjukan musikal. Festival Musikal Indonesia akan mewadahi pertunjukan-pertunjukan musikal bertema sejarah pada 20-21 Agustus 2022.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan sejarah Indonesia berpotensi dikembangkan dan diangkat menjadi karya seni pertunjukan musikal. Seni dapat menjadi media belajar sejarah yang menyenangkan, baik sejarah populer maupun yang belum banyak diketahui publik.
Menurut pendiri Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company, Rusdy Rukmarata, masyarakat mesti diajak belajar sejarah agar mengenal diri dan bangsanya. Dengan demikian, rasa bangga terhadap bangsa bisa tumbuh. Namun, metode mengenalkan sejarah dinilai masih membosankan, misalnya buku pelajaran dan pameran.
Seni pertunjukan yang memuat aspek musik, tarian, dan akting dapat menjadi alternatif belajar sejarah. Teater musikal berjudul ”Hamilton” bisa menjadi preseden baik. Teater yang dipentaskan di Broadway, New York, Amerika Serikat, ini bercerita tentang Bapak Pendiri AS Alexander Hamilton. Cerita ini berdasarkan biografi Hamilton yang ditulis sejarawan Ron Chernow.
Teater ini menggabungkan akting dengan beragam genre musik, antara lain jazz, hiphop, dan RnB. Hamilton menjadi salah satu pertunjukan besar di Broadway yang berhasil menyabet berbagai penghargaan internasional.
”Kami jadi terinspirasi untuk mengangkat sejarah Indonesia sebagai tema FMI (Festival Musikal Indonesia). Indonesia punya sejarah yang sangat kaya, baik sejarah politik, sosial, kesenian, maupun lainnya,” kata Rusdy saat dihubungi dari Jakarta, Senin (8/8/2022).
Seni musikal sudah ada di sejumlah pentas tradisional seperti lenong Betawi, wayang kulit, dan ludruk. Namun, publik telanjur mengetahui seni pertunjukan musikal berasal dari Inggris dan Amerika.
FMI merupakan festival seni musikal pertama di Indonesia. FMI digarap oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bersama Yayasan EKI. FMI akan diselenggarakan pada 20-21 Agustus 2022 di Ciputra Artpreneur, Jakarta.
Menurut Direktur Perfilman, Musik, dan Media Kemendikbudristek Ahmad Mahendra, seni musikal sudah ada di sejumlah pentas tradisional seperti lenong Betawi, wayang kulit, dan ludruk. Namun, publik telanjur mengetahui seni pertunjukan musikal berasal dari Inggris dan Amerika.
”FMI diharapkan menjadi wadah ekspresi bagi pelaku seni. Wadah ini juga diharapkan membuat kebaruan (seni pertunjukan musikal) tanpa menghilangkan nilai lokal,” tuturnya (Kompas.id, 7/6/2022).
Sejarah
Ada tujuh kelompok yang akan tampil, yaitu EKI Dance Company, Artswara, FlodanzSoka, Jakarta Movin, TEMAN Musicals, Kampus Betawi, dan Swargaloka. Setiap kelompok akan menampilkan pertunjukan bertema sejarah. Adapun EKI Dance Company bakal menyuguhkan lakon berjudul ”Ken Dedes”.
”Kali ini tidak hanya bicara tentang kisah cinta Ken Dedes dan Ken Arok yang sudah melegenda, tetapi juga tentang rahasia-rahasia di balik itu, yakni ambisi, pengkhianatan, dan keberadaan Ken Umang, perempuan yang selama ini tidak dibicarakan di kisah mereka,” kata penulis skenario ”Ken Dedes”, Titien Wattimena, melalui keterangan tertulis.
Kelompok Artswara akan mengangkat kisah pahlawan nasional Indonesia dari Aceh, Cut Nyak Dien. Kisah Cut Nyak Dien yang dikenal selama ini kental dengan perlawanan gerilya masyarakat Aceh terhadap Belanda selama bertahun-tahun. Artswara akan mencuplik kisah Cut Nyak Dien di pengasingan setelah ia diserahkan ke Belanda. Produser Eksekutif Artswara Maera Panigoro menambahkan, pentas akan diiringi musik acapella.
Menurut Rusdy, dalam konteks seni, sejarah bisa diinterpretasikan secara beragam, tergantung imajinasi seniman yang bersangkutan. Seniman pun mesti siap menerima konsekuensi dari interpretasinya terhadap sejarah. ”Konsekuensinya adalah reaksi penonton. Bisa ada yang setuju, ada juga yang tidak,” katanya.
Seniman juga mesti jeli mengulik sejarah untuk diangkat menjadi karya seni. Kesesuaian cerita dengan sejarah menjadi penting. Di sisi lain, aspek hiburan dalam pertunjukan juga penting. Hal ini bisa dikreasikan dengan melihat sejarah sebagai cerita yang humanis, yakni yang melibatkan emosi sang pelaku sejarah.
”Jadi, tetap mempertimbangkan keseruan, ketegangan, hingga keharuan. Ini berlaku untuk cerita (sejarah) yang sudah kita ketahui, tetapi dikulik dari sisi lain, ataupun sejarah yang belum kita ketahui,” ujar Rusdy.