Peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar mengembangkan B100 atau bahan bakar biodiesel dari 100 persen bahan nabati. Pengembangan B100 ini dapat mendukung percepatan transisi dan kemandirian energi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Kebutuhan energi primer di dunia, termasuk Indonesia, akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya populasi ataupun kegiatan perekonomian seperti industri. Badan Energi Dunia (IEA) memproyeksikan pada 2030 permintaan energi dunia akan meningkat 45 persen atau rata-rata mengalami peningkatan 1,6 persen per tahun.
Sementara, menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), kebutuhan energi Indonesia pada 2050 diproyeksikan mencapai 2,9 miliar setara barrel minyak (SBM). Angka ini meningkat dari proyeksi 2040 dengan jumlah 2,1 miliar SBM.Kebutuhan energi ini didominasi oleh sektor industri, komersial, rumah tangga, dan sektor lainnya.
Meski demikian, mayoritas kebutuhan energi saat ini masih dipenuhi bahan bakar fosil yang mengandung hidrokarbon. Padahal, bahan bakar fosil terbukti tidak ramah lingkungan dan penggunaannya dapat melepaskan emisi yang memicu perubahan iklim.
Salah satu upaya Indonesia untuk terlepas dari ketergantungan energi fosil yaitu dengan menginisiasi kebijakan bahan bakar nabati (BBN) atau biofuel. BBN adalah bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati atau dihasilkan dari bahanorganik lain. Bahkan, 25 persen target energi baru terbarukan (EBT) pemerintah berasal dari BBN.
Dalam pembaruan dokumen kontribusi nasional (NDC) 2030 serta Strategi Jangka Panjang tentang Karbon Rendah dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) 2050, Indonesia kembali mengimplementasikan penggunaan BBN sebagai salah satu strategi dalam mitigasi pengurangan emisi. Dalam dokumen tersebut, bahan baku utama BBN dikhususkan berasal dari kelapa sawit.
Selama ini, mayoritas pengembangan BBN masih didominasi B20 dan B30 yang merupakan campuran antara solar dan 20 atau 30 persen biodiesel. Namun, peneliti dari Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Kementerian Pertanian (Kementan), telah mengembangkan B100 atau 100 persen bahan bakar dari bahan nabati.
Peneliti Ahli Utama Bidang Ekofisiologi Balittri Dibyo Pranowo menjelaskan, B100 sebagai energi baru terbarukan dikembangkan Balittri untuk mengantisipasi kelangkaan sumber energi ke depan. Hal ini sekaligus sebagai upaya menuju kemandirian dan ketahanan energi karena separuh bahan bakar minyak (BBM) Indonesia masih impor.
”Pengembangan biodiesel ini dimulai sejak 2006 dan sampai 2022 atau 16 tahun masih dilakukan pembaruan. Namun, peluncuran baru dilakukan pada 2019. Dalam ruang pemrosesan ini sudah bisa memproduksi sekitar 15.000 liter,” ujar Dibyo yang merupakan salah seorang pengembang B100 di Kawasan Balittri, Sukabumi, Jumat (5/8/2022).
Proses pembuatan B100 dilakukan dengan memasukkan bahan baku berupa minyak sawit mentah (CPO) ke tangki reaktor. Bahan-bahan tersebut kemudian menjalani sejumlah proses transesterifikasi. Proses kimia ini bertujuan untuk mengubah gliserida yang mendominasi komposisi minyak kelapa sawit dan berviskositas tinggi menjadi metil ester asam lemak.
”Setelah dilakukan proses separasi dan pencucian kemudian dikeringkan untuk menghilangkan metanol. Dari proses tersebut barulah menjadi biodiesel,” tuturnya.
Bahan baku B100 ini mayoritas masih menggunakan CPO sawit karena pertimbangan aspek kualitas dan kuantitas. Stok bahan baku dari CPO masih terpenuhi karena pasokan yang melimpah.Kementan mencatat, saat ini produksi CPO Indonesia mencapai 46 juta ton per tahun.
Kementan juga mencatat kebijakan B30 pada 2020 membutuhkan 9,6 juta tonbiodiesel. Sementara penerapan B100 pada 2045akan membutuhkan sekitar 30 juta ton biodiesel.
Pengujian
Guna mengetahui kinerja dari B100, Balittri juga telah melakukan serangkaian pengujian melalui tiga tahap. Tahap pertama, yaitu pengujian untuk mengetahui kualitas B-100. Tahap kedua, pengujian melalui tes jalan (road test) dengan jarak tempuh sepanjang 50.000 kilometer. Kemudian tahap terakhir ialah pengujian kendaraan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Dari hasil pengujian, efisiensi serta tenaga yang dihasilkan B100 tercatat setara dengan pertamina dex. Akan tetapi, B100 lebih unggul karena emisi yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan pertamina dex.
Hasil pengujian juga menunjukkan 1 liter B100 mampu menempuh jarak 13,1 kilometer atau 26,7 persen lebih efisien dibandingkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil dalam jumlah yang sama. Sebagai perbandingan, jarak tempuh bahan bakar berjenis solar hanya mencapai 9 km per liter. Selama ini, beberapa mobil ataupun kendaraan pertanian yang telah menggunakan B100 juga diklaim tidak pernah mengalami kerusakan mesin secara tiba-tiba.
Selain B110, Balittri juga mengembangkan alat reaktor biodiesel multifungsi dengan kapasitas total 15.000 liter. Reaktor ini bisa mengolah berbagai jenis minyak nabati sehingga bisa digunakan di seluruh wilayah di Indonesia dengan beragam komoditas yang tersedia.
Penggunaan alat reaktor ini dapat menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi standar nasional Indonesia (SNI), Eropa, dan Amerika. Keunggulan lainnya, kapasitas produksi alat ini dapat mencapai 3.000 liter per 6 jam dan mampu menurunkan bahan baku dengan asam lemak bebas baku tinggi menjadi rendah.
Hasil pengujian juga menunjukkan 1 liter B100 mampu menempuh jarak 13,1 kilometer atau 26,7 persen lebih efisien dibandingkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil dalam jumlah yang sama.
Beragam komoditas
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Fadjry Djufry mengatakan, selain sawit, para peneliti dari Balitbangtan telah mengidentifikasi beragam komoditas yang berpotensi dikembangkan menjadi biodiesel. Komoditas tersebut antara lain kelapa, kemiri sunan, jarak pagar, aren, sorgum, karet, sagu, dan jarak.
Saat awal pengembangan B100, Balitbangtan juga tidak menggunakan CPO, tetapi tanaman lain, seperti kemiri sunan dan jarak pagar. Kedua tanaman berpotensi menjadi bahan baku B100 untuk produksi skala besar karena tidak bersaing dengan pangan.
Produktivitas minyak nabati dari kemiri sunan bahkan sedikit lebih tinggi dari sawit, yakni 6 ton per hektar dan rendemen minyak kasar kernel kemiri sunan dapat mencapai lebih dari 50 persen. Produk turunan dari pengolahan minyak nabati kemiri sunan akan menghasilkan gliserol, asam lemak bebas, terpentin atau cairan olahan getah, dan bahan oleokimia lainnya yang bernilai ekonomi tinggi.
Di sisi lain, jenis pohon kemiri sunan juga cocok untuk konservasi lahan yang ditanam di daerah-daerah kering dan marjinal, seperti di Nusa Tenggara Timur (NTT) ataupun kawasan bekas kegiatan pertambangan. Berbagai potensi ini membuat Balittri dan pihak swasta tengah mengembangkan 1.000 hektar kebun kemiri sunan.
Ke depan, kata Fadjry, hilirisasi dan komersialisasi produk B100 ini perlu kolaborasi dengan pihak lain, seperti Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau industri. Setiap provinsi diupayakan dapat memiliki satu atau dua reaktor termasuk tempat pengisian bahan bakar. Diharapkan, upaya ini bisa mewujudkan swasembada kemandirian energi.