Tabrani yang berlatar belakang jurnalis, tetap getol pada gagasannya hingga kemudian butir ketiga Sumpah Pemuda berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Oleh
NASRULLAH NARA
·4 menit baca
KOMPAS/NASRULLAH NARA
Suasana diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (5/8/2022). Dari kiri ke kanan, pembicara TD Asmadi, moderator Rita Sri Hastuti, serta dua pembicara lainnya yakni Priyantono Oemar, dan Hawe Setiawan.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah keterbelahan masyarakat akibat perbedaaan pilihan politik dan disrupsi digital, pemikiran Mohammad Tabrani Soerjowitjirto (1904-1984) dipandang relevan untuk diaktualisasikan. Tokoh pergerakan nasional itu mencetuskan ide bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan menjelang Sumpah Pemuda 1928.
Meski ditentang oleh tokoh pergerakan lainnya, Tabrani yang berlatar belakang jurnalis, tetap getol pada gagasannya hingga kemudian butir ketiga sumpah pemuda berbunyi “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-77 Republik Indonesia, persoalan kebahasaan dibahas dalam sebuah diskusi di aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (5/8/2022). Diskusi yang dihelat oleh Forum Bahasa Media Massa tersebut serangkai dengan kegiatan menuju Bulan Bahasa, Oktober mendatang.
Mengusung tema “Tabrani dan Masa Depan Bahasa Indonesia”, tampil tiga pembicara, yakni TD Asmadi (wartawan Kompas 1975-2003, Ketua Umum FBMM 2002-2015), Priyantono Oemar (Wartawan Republika, Pegiat Komunitas Jejak Republik, dan Hawe Setiawan (pengajar di Universitas Pasundan, penerjemah buku).
Dipandu moderator Rita Sri Hastuti (Ketua II FBMM), para pembicara menegaskan visi Tabrani yang getol dicetuskan sekitar 94 tahun silam, amat relevan untuk direnungi dan diaktualisasikan di tengah rapuhnya kohesi sosial akibat perbedaan pilihan politik. Di sisi lain, teknologi digital yang merambah kehidupan masyarakat menggerus kaidah bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa.
KOMPAS/NASRULLAH NARA
Suasana diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (5/8/2022).
Merujuk buku Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia (2010), karya Harimurti Kridalaksana, Priyantono mengungkapkan, pada Kongres Pemuda I tanggal 2 Mei 1926, tokoh pergerakan nasional Mohammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Tokoh pergerakan lainnya, Djamaloedin Adinegoro, mendukung usulan tersebut. Namun Tabrani menyanggah mereka.
“Di kalangan tokoh pergerakan nasional kala itu, sempat muncul perdebatan alot karena secara faktual memang bahasa Melayu digunakan masyarakat di berbagai wilayah Hindia Belanda (Nusantara), sementara bahasa Indonesia sendiri belum dikenal. Namun Tabrani tetap keukeuh menyodorkan bahasa Indonesia. Jika memang bahasa Indonesia belum ada, ya lahirkanlah dalam Kongres Pemuda,” kata Priyantono menggarisbawahi kegigihan Tabrani.
Sebagai alat komunikasi, kesamaan bahasa menerobos sekat-sekat perbedaan dalam keberagaman.
Priyantono juga menyitir keyakinan Tabrani bahwa setajam apa pun perselisihan masyarakat dalam keyakinan dan agama, bahasa ampuh menjadi jembatan pemersatu. Sebagai alat komunikasi, kesamaan bahasa menerobos sekat-sekat perbedaan dalam keberagaman. Dalam konteks kekinian, hal ini relevan di tengah kecenderungan polarisasi masyarakat sebagai ekses perbedaan pilihan politik.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Mahasiswa mendokumentasikan koleksi sejarah Museum Sumpah Pemuda di Jakarta, Selasa (27/10/2020).
Menurut Priyantono, selain bahasa Melayu, pada masa itu bahasa lainnya yang luas pemakaiannya adalah bahasa Jawa. Meskipun penduduk Hindia Belanda pada masa itu mayoritas berbahasa Jawa, para tokoh pergerakan asal Pulau Jawa sendiri pun lebih mendorong bukan bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Salah satu pertimbangannya adalah bahasa Jawa bertingkat-tingkat penggunannya sesuai strata sosial penuturnya. Hal itu berpotensi rumit untuk diterapkan oleh suku-suku lainnya di Nusantara ini.
Tabrani mengedepankan aspek kesetaraan, sebagai syarat kunci dari efektivitas komunikasi. Karena itu, dia mendorong tercetusnya istilah bahasa Indonesia dalam ikrar pemuda yang secara lengkap berbunyi:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Pada kesempatan itu, Amie Primarni, putri Tabrani, turut berbicara. Ia mengenang ayahnya sebagai sosok yang irit berbicara jika berada di rumah, namun garang jika sudah tampil di podium. Perjuangan sang ayah untuk mencantumkan bahasa Indonesia dalam ikrar pemuda adalah contoh dari pemikiran yang menyeluruh, holistik, dan visioner. “Tanah Air Indonesia, bangsa pun Indonesia. Ya, bahasa pun harusnya Indonesia. Kalau belum ada, ya diciptakan,” tutur Amie menekankan keselarasan pemikiran ayahnya.
KOMPAS/NASRULLAH NARA
Putri Tabrani, Amie Primarni hadir dan berbicara dalam diskusi Forum Bahasa Media Massa (FBMM) di aula Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (5/8/2022).
Tabrani lahir di Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904. Menamatkan pendidikan di MULO dan OSVIA, Tabrani dikenal sebagai seorang wartawan. Beberapa media yang pernah dikelolanya adalah Hindia Baroe, Pemandangan, Suluh Indonesia, Koran Tjahaya, dan Indonesia Merdeka. Ia meninggal tahun 1984 ketika Amie berusia 18 tahun.
Era digital
TD Asmadi dan Hawe menyorot tantangan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di era digital, khususnya dalam media massa dan media sosial. Ada kecederungan penggunana bahasa Indonesia di media, menafikan kaidah. Acapkali ditemukan kalimat yang rancu dan tidak lengkap strukturnya, namun tetap dipaksakan karena larut pada cara kerja mesin digital.
Belum lagi, ada kecenderungan penggunan bahasa asing untuk menyertai tampilan gambar, meski sudah tersedia kata yang baku dalam bahasa Indonesia.
Hawe mencontohkan bagaimana bahasa Indonesia cenderung tunduk pada aspek visual lalu menabrak norma baku untuk teks. Belum lagi, ada kecenderungan penggunan bahasa asing untuk menyertai tampilan gambar, meski sudah tersedia kata yang baku dalam bahasa Indonesia.
Hawe menyebut beberapa kata yang muncul aneh juga karena gandrung menggunakan bahasa asing yang dipaksakan, seperti sinergitas. "Bangunan kata dari mana pula ini,"katanya.
Adapun Asmadi menyodorkan contoh penggunaan kata blokir di media massa. “Harusnya blokade. Ini juga lantaran larut pada pada sistem perangkat komunikasi digital yang menggunakan kata blokir, bentukan kata yang tak digunakan dikenal dalam bahasa Indonesia.