Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar mengembangkan bahan bakar nabati berbahan dasar kelapa sawit, yakni B100. Dari hasil pengujian, efisiensi serta tenaga yang dihasilkan B100 setara dengan Pertadex.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
SUKABUMI, KOMPAS — Rangkaian acara dalam pertemuan negara-negara G20 menjadi momentum untuk berbagi pengalaman dalam mengatasi dampak dari perubahan iklim dan mempercepat transisi energi hijau. Salah satu upaya yang telah dikembangkan Indonesia adalah membuat sumber energi yang ramah lingkungan dari bahan bakar nabati.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian Fadjry Djufry menyampaikan, selama ini Balitbangtan melalui unit pelaksana teknis di Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) telah menerapkan pola integrasi tanaman perkebunan, termasuk tanaman bioenergi dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim.
”Terdapat beberapa tanaman yang diintegrasi seperti kelapa dengan kakao, kelapa dengan kopi, kemiri sunan, dan kayu manis. Balitbangtan juga sudah mengembangkan energi baru terbarukan,” ujar Fadjry di sela-sela kunjungan lapangan acara G20 Technical Workshop on Climate Change di Balittri, Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (5/8/2022).
Peneliti di Balittri telah mengembangkan reaktor biodiesel multifungsi. Reaktor ini bisa mengolah berbagai jenis minyak nabati sehingga bisa digunakan di seluruh wilayah di Indonesia dengan beragam komoditas yang tersedia.
Sejak 2006, Balittri telah mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) berbahan dasar kelapa sawit, yakni B100. Dari hasil pengujian,efisiensi serta tenaga yang dihasilkan B100 setara dengan Pertadex. Namun, B100 memiliki keunggulan karena emisi yang dikeluarkan jauh lebih rendah dibandingkan Pertamina Dex.
Hasil pengujian juga menunjukkan 1 liter B100 mampu menempu jarak 13,1 kilometer atau 26,7 persen lebih efisien dibandingkan penggunaan bahan bakar berbasis fosil dalam jumlah yang sama. Selama ini, beberapa mobil maupun kendaraan pertanian yang telah menggunakan B100 diklaim tidak pernah mengalami kerusakan mesin secara tiba-tiba.
Reaktor biodiesel multifungsi
Ke depan, kata Fadjry, Indonesia juga akan mengarah ke swasembada kemandirian energi. Guna mencapai hal ini, peneliti di Balittri telah mengembangkan reaktor biodiesel multifungsi. Reaktor ini bisa mengolah berbagai jenis minyak nabati sehingga bisa digunakan di seluruh wilayah di Indonesia dengan beragam komoditas yang tersedia.
”Kami sudah identifikasi terdapat puluhan komoditas yang berpotensi menjadi biodiesel. Oleh karena itu, Balitbangtan mencoba berkontribusi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau petani yang jauh dari sumber energi,” ucapnya.
Selain itu, penggunaan alat reaktor ini juga dapat menghasilkan kualitas biodiesel yang memenuhi standar nasional Indonesia (SNI). Keunggulan lainnya, kapasitas produksi alat ini dapat mencapai 3.000 liter per 6 jam dan mampu menurunkan bahan baku dengan asam lemak bebas baku tinggi menjadi rendah.
”Untuk komersialisasi membutuhkan kerja sama dengan industri atau kementerian lain seperti Kementerian BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Arahan Pak Menteri setiap provinsi diupayakan bisa memiliki satu atau dua reaktor, termasuk tempat pengisian bahan bakarnya,” tutur Fadjry.
Lokakarya teknis tentang perubahan iklim yang berlangsung di Bogor sejak 3-5 Agustus termasuk kunjungan lapangan ke Sukabumi ini merupakan salah satu rangkaian acara pertemuan G20 bidang pertanian. Selain peneliti dan ahli pertanian dari sejumlah negara, lokakarya ini juga diikuti perwakilan organisasi internasional.
Pada awal Juli lalu, Balitbangtan juga telah menyelenggarakan G20 Meeting of Agricultural Chief Scientists di Bali. Namun, berbeda saat pertemuan di Bali, lokakarya ini tidak menghasilkan komunike. Lokakarya hanya fokus berdiskusi dan berbagi pengalaman terkait upaya setiap negara dalam menghadapi perubahan iklim di bidang pertanian.
Ancaman pangan
Veronica Doerr, salah satu delegasi yang juga Manajer Program Penelitian untuk Perubahan Iklim Australian Center for International Agriculture Research (ACIAR) mengatakan, penelitian pertanian untuk ketahanan iklim sangat penting dilakukan oleh setiap negara. Sebab, saat ini mayoritas negara di dunia, termasuk Australia dan Indonesia, tengah menghadapi ancaman pangan akibat dampak dari perubahan iklim.
“Pada saat yang sama, hampir setiap negara menghadapi dampak perubahan iklim seperti meningkatnya kejadian banjir atau kenaikan suhu. Inilah saatnya setiap negara untuk berkolaborasi dan saling belajar cara menghadapi perubahan iklim,” katanya.
Veronica menekankan bahwa setiap negara juga perlu menemukan cara berbeda dalam memproduksi makanan tetapi tidak merusak sumber daya alam. Cara produksi makanan yang ramah lingkungan ini hanya bisa dihasilkan melalui penelitian dan inovasi.
”Setiap negara membuat kebijakan yang mengedepankan penelitian dan inovasi. Negara juga perlu mendengarkan kebutuhan para petani dan melibatkan mereka dalam upaya mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim,” ungkapnya.