Orang Rimba Menyelamatkan Kekayaan Hutan yang Tersisa
Budidaya tumbuhan menjadi jalan Orang Rimba untuk berdaya. Namun, mereka butuh ruang agar dapat mengelola hutan dan seisinya tetap terjaga.

Demam sawit telah memicu alih fungsi di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, (Sabtu (2/7/2022). Sebagian Orang RImba bertahan menanami hutan dengan konsep agriforestri demi menjaga kelstariannya.
Kesadaran baru tumbuh di tengah menyusutnya hutan di Jambi. Budidaya tanaman pangan dan obat mulai dilakoni komunitas Orang Rimba. Mereka pun mendamba dukungan merawat kekayaan alam yang tersisa itu.
Perjalanan Bagentar (45) menjelajahi belantara Bukit Duabelas di Jambi akhirnya membuahkan hasil. Sekitar 400 buah jernang (Daemonorops draco) terkumpul. Buah-buah yang dipungutnya dari lantai hutan dibawa ke permukiman di Sako Nini Tuo, Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Buah-buah jernang itu disortir. Tak lama buah mulai berkecambah, lalu ia tanam di sekitar pondok.
Mengetahui tanaman jernang berhasil tumbuh, Gentar makin antusias. Ia rajin berburu calon bibit jernang hingga ke hutan-hutan terdalam di taman nasional itu.
Kini, tanaman jernangnya telah membuahkan hasil. Dari satu rumpun tanaman, ia bisa memanen sekarung buah jernang. Jika diolah akan menghasilkan 1,5 kilogram resin. Di pasaran, harga jualnya hampir Rp 2 juta per kilogram.
Hasil budidaya bernilai jual tinggi itu kian mendorongnya lebih serius mendalami budidaya jernang. Sudah sekitar lima hektar telah ditanaminya jernang. Jumlahnya lebih dari 1.000 batang. Ia pun terus mengajak warga lain turut membudidayakan jernang.
”Kamia (kami) Orang Rimba sudah harus mulai budidaya,” katanya.
Ia menyadari, budidaya merupakan jalan untuk berdaya. Tanpa itu, kehidupan komunitas adat setempat akan semakin sulit di tengah hutan yang terus menyusut. Lagipula, tumbuhnya jernang selaras dengan upaya menjaga hutan lebih baik.

Sejumlah induk rimba memanen jernang () di sekitar permukiman mereka di wilayah Pelepat, Kabupaten Bungo, Jambi, Jumat (3/6/2022). Jernang diolah menjadi bahan pewarna. Bahan baku alam kian sulit didapat seiring menyusutnya hutan, di tengah masih kuatnya ikatan komunitas itu pada alam.
Jernang merupakan rotan endemik hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan. Tanaman ini menghasilkan resin yang bernilai jual tinggi. Dalam dunia perdagangan, dikenal dengan nama ”dragon blood”.
Lain lagi usaha budidaya buah-buahan rimba yang dilakukan Ngelimbun (32) di wilayah Jelutih, Kabupaten Batanghari. Ribuan bibit buah-buahan khas rimba menghuni penangkaran di kebunnya. Sebagian telah ditanam dan bahkan telah berbuah pada luasan empat hektar.
Seluruh hasilnya menjadi tabungan pangan di kelompoknya. Ada buah jering (Archidendron pauciflorum) dan kabau (Archidendron microcarpum). Tiap kali tanaman yang dibudidayakan berbuah, para kerabat menyambangi kebunnya.
”Kalau ada kanti (orang) datang pasti dibagi,” kata Ngelimbun.
Ada juga durian daun (Durio oxleyanus), tampui (Baccaurea macrocarpa), dan buah kudukuya. Seluruh bibitnya juga dikumpulkannya dari hutan Bukit Duabelas. Biji-bijian ditanam kembali dalam polibag. Setelah muncul anakan, lalu dipindahkan ke lahan tanam.
Dengan pengetahuan seadanya, Ngelimbun mengaku tak mudah membudidayakan tanaman buah khas rimba. Selama ini, buah-buahan tumbuh liar. Ketika mulai membudidayakannya, ia masih kerap mendapati tanaman anakan mati. Ngelimbun belum mengenal teknik meningkatkan produktivitas dan kualitas buahnya.
Jernang merupakan rotan endemik hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan. Tanaman ini menghasilkan resin yang bernilai jual tinggi. Dalam dunia perdagangan, dikenal dengan nama ”dragon blood”.
Adapun, pimpinan adat Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Ngelembo, mulai menanam bibit tampui di sekitar pondokannya di pinggir taman nasional. Buah itu ditanamnya karena sangat disukai warga komunitas itu. Buahnya mirip manggis, tetapi kulitnya berwarna jingga.
Sejak ditanam lima tahun lalu lewat cara semai, salah satu tampui berhasil tumbuh. Kini, pohonnya setinggi 2,5 meter. Tanaman itu diperkirakan akan berbuah dua tahun lagi.
Bahan obat
Selain dimakan buahnya, tanaman-tanaman itu menjadi bahan obat tradisional bagi komunitas adat Orang Rimba. Tampui misalnya, dimanfaatkan sebagai obat gatal-gatal dan mengatasi bengkak. Caranya mengolahnya sederhana. Kulit batang dikerok lalu digosokkan ke bagian kulit yang gatal.
Baca Juga: Penantian Panjang Orang Rimba Diakui Negara

Tanaman obat yang dimanfaatkan Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022).
Begitu pula tanaman jernang dimanfaatkan Orang Rimba mengobati sakit kepala dan demam. Buah jernang dikerik, lalu dioleskan pada kening.
Adapun durian yang buahnya digemari Orang Rimba, dimanfaatkan pula sebagai obat demam. Akarnya direbus lalu uapnya dihirup untuk mengobati.
Dalam buku berjudul Tumbuhan Berguna Indonesia karya K Heyne (1987), yang diterjemahkan Badang Litbang Kehutanan Jakarta, hasil rebusan dari tanaman durian dapat diminum menjadi obat demam. Kandungan kimia pada tanaman itu merupakan konsentrasi glikosit, saponin, flavanoid, dan sterol. Glikosit merupakan sumber energi, sedangkan sterol menurunkan kadar kolesterol jahat pada tubuh.

Tengganai Besemen menunjukkan salah satu tanaman obat kepada anak-anaknya di Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022). Pelestarian hutan mendesak diperkuat sebagai habitat tanaman-tanaman obat itu.
Tak kalah penting manfaat kesehatan pada jernang. Hasil uji farmakologi di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional di Jawa Tengah menunjukkan, buah jernang memiliki kandungan saponin yang bermanfaat sebagai antibakteri dan antivirus, serta meningkatkan kekebalan tubuh, meningkatkan vitalitas, mengurangi kadar gula dalam darah, dan mengurangi pengumpalan darah. Kandungan lainnya adalah flavonoid yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna dan bahan farmasi.
Komunitas Orang Rimba berperan penting menyelamatkan biodiversitas di ekosistem Bukit Duabelas. Namun, agar mereka dapat menjalankan perannya secara maksimal, Orang Rimba memerlukan ruang hidup dan ruang kelola. (Bambang Irawan)
Penyelamatan keragaman tumbuhan pangan dan obat-obatan diupayakan Balai TNBD dengan membangun demplot penangkaran. Sejauh ini tumbuh 190-an rumpun tanaman pada 35 spesies. Tumbuhan yang di demplot dapat dimanfaatkan langsung oleh komunitas itu.
Baca Juga: Orang Rimba di Tengah kepungan Tambang Batubara

Petugas Balai Taman Nasional Bukit Duabelas mengecek kondisi demplot tumbuhan obat-obatan yang sering dimanfaatkan komunitas Orang Rimba, di TNBD, Kabupaten Sarolangun, Jambi, Minggu (3/7/2022). Pelestarian hutan perlu diperkuat sebagai ruang bagi komunitas pedalaman itu.
Kepala Balai TNBD, Haidir, mengatakan, pihaknya telah menguji farmakologi pada 58 spesies tumbuhan setempat. Hasilnya memiliki beragam jenis manfaat. Namun, umumnya dominan mengandung lima senyawa kimia, yakni alkaloid, saponin, flavonoid, tanin, dan polifenol, yang bermanfaat baik bagi kesehatan. Bisa pula dikembangkan sebagai produk farmasi, kosmetik, maupun industri pangan.
Riset kandungan farmakologi menjadi jalan pembuka bagi lahirnya riset lanjutan dan pengembangan. Untuk mengetahui bioprospeksi tumbuhan itu, pihaknya berkolaborasi dengan akademisi dan badan pengawas obat dan makanan.
Namun, diakuinya, tak mudah lagi mengumpulkan biodiversitas di Bukit Duabelas. Sebab, beberapa jenis tanaman sudah makin sulit ditemukan.
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan mengatakan komunitas Orang Rimba berperan penting menyelamatkan biodiversitas di ekosistem Bukit Duabelas. Namun, agar mereka dapat menjalankan perannya secara maksimal, Orang Rimba memerlukan ruang hidup dan ruang kelola.
Catatan Kompas, ekosistem Bukit Duabelas menyusut dari 130.000 hektar menjadi 58.000 hektar dalam rentang tiga dekade. Penyusutan itu akibat alih fungsi hutan menjadi monokultur dan pembangunan lainnya.
Menurut Bambang, pemerintah berkewajiban mengakomodasikannya lewat kebijakan. Memberi ruang bagi kelompok yang kini hidup tergusur di luar kawasan TN Bukit Duabelas.
Antropolog dari Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Robert Aritonang menambahkan besarnya ikatan Orang Rimba pada alam merupakan modal besar penyelamatan biodiversitas. Hilangnya rimba telah membawa tantangan berat pada komunitas itu.
”Tanpa rimba, mereka kehilangan makna hidup,” katanya.

Seorang kakak menjaga adiknya di salah satu pondok dalam Taman Nasional Bukit Duabelas, Sarolangun, Jambi, Sabtu (2/7/2022). Pelestarian hutan mendesak diperkuat sebagai ruang hidup bagi komunitas pedalaman itu.
Sepuluh tahun terakhir, kerap didapati Orang Rimba bagai penyandang penyakit sosial. Menjadi pengemis di jalan, pemungut brondol sawit di kebun, hingga pemulung. Intervensi pemerintah menyelamatkan Orang Rimba saat ini baru sebatas membangunkan rumah hingga mengakomodasikan layanan kependudukan, kesehatan, dan pendidikan.
Padahal, yang paling diharapkan Orang Rimba adalah mendapatkan ruang hidup. Saatnya dukungan penuh diberikan bagi mereka.
(Liputan ini merupakan Fellowship Biodiversity of Tropical Rainforests in Southeast Asia diselenggarakan The Southeast Asia Rainforest Journalism Fund (RJF) dan the Pulitzer Center)