Anak dan Kaum Muda Harus Tahu Risiko Perkawinan Anak
Perkawinan anak masih menjadi tantangan besar di Tanah Air. Bahkan pandemi Covid-19 tidak menghentikan perkawinan anak. Kolaborasi semua pihak untuk mencegah perkawinan anak sangat dibutuhkan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah menargetkan penurunan angka perkawinan anak menjadi 8,74 persen di tahun 2024. Hingga kini, berbagai upaya termasuk sosialisasi masif pencegahan perkawinan anak terus dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan hingga ke tingkat desa, termasuk anak-anak dan kaum muda.
Untuk membekali anak-anak tentang pencegahan perkawinan anak, Plan Indonesia berkolaborasi dengan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) menyusun Buku Saku Pencegahan Perkawinan Anak di Tingkat Desa.
Buku berjudul “Mari Kita Cegah Perkawinan Anak” diluncurkan, Kamis (4/8/2022) secara daring, diharapkan membantu anak dan kaum muda khususnya perempuan, memahami risiko perkawinan anak, serta memiliki kapasitas untuk mencegah terjadinya perkawinan anak bagi dirinya maupun teman sebayanya. Selain anak-anak, buku tersebut dapat digunakan oleh berbagai pihak, sebagai media informasi dan sosialisasi pencegahan perkawinan anak.
Direktur Keluarga, Perempuan, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menegaskan pencegahan perkawinan anak sudah menjadi isu yang diangkat dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024.
“Hal ini sudah menjadi ketetapan hukum dengan keluarnya peraturan presiden. Artinya menjadi kewajiban semua pemangku kebijakan. Tidak hanya pemerintah, lembaga non pemerintah, masyarakat, juga media massa, harus bersama-sama berjuang menurunkan angka perkawinan anak, yang menjadi salah satu indikator dalam dokumen dalam perencanaan nasional, kita harus mencapai angka 8,74 persen pada tahun 2024,” tegas Woro.
Ia menegaskan, upaya menurunkan angka perkawinan anak menjadi tantangan bersama. Sebab, sebenarnya angka dalam dokumen perencanaan merupakan angka yang tercatat, sedangkan perkawinan anak tidak hanya sebatas pada catatan statistik. Kenyataannya tantangan perkawinan anak masih sangat besar.
“Kita harus bersama-sama, berkolaborasi mencapai target yang sudah kita tetapkan. Bahkan bisa menyelesaikan permasalahan perkawinan anak yang tidak tercatat. Ini menjadi tantangan kita semua. Kita jelas dengan target yang ingin kita capai dalam di RPJM, tujuannya mewujudkan Indonesia layak anak,” kata Woro.
Kita harus bersama-sama, berkolaborasi mencapai target yang sudah kita tetapkan. Bahkan bisa menyelesaikan permasalahan perkawinan anak yang tidak tercatat. Ini menjadi tantangan kita semua.
Untuk mencegah perkawinan anak ada lima strategi yang dilakukan pemerintah. Pertama, mengoptimalkan kapasitas anak, demi memastikan anak memiliki resiliensi dan mampu menjadi agen perubahan. Kedua, menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak dengan membangun nilai dan norma yang mencegah perkawinan anak.
Ketiga, menciptakan aksesibilitas dan perluasan layanan menjamin anak mendapat layanan dasar komprehensif untuk kesejahteraan anak. Keempat, penguatan regulasi dan kelembagaan. Kelima, penguatan koordinasi pemangku kepentingan. “Isu perkawinan anak adalah isu lintas sektor. Karena itu, upaya meningkatkan sinergi dan konvergensi upaya pencegahan perkawinan anak menjadi sangat penting,” tegas Woro.
Revisi Grafik yg lama Infografik Kompas.id Perkawinan Anak (20/4/2021) Grafik 2 Tren Perkawinan Anak Usia Kurang dari 18 Tahun
Saat ini terjadi penurunan angka perkawinan anak yang cukup siginifikan dari 2020 ke 2022. Terdapat 29 provinsi dengan penurunan angka perkawinan anak pada tahun 2021. Namun, pada tahun yang sama, ada lima provinsi dengan peningkatan angka perkawinan anak yakni Sulawesi Barat, Bengkulu, Maluku, DKI Jakarta dan DI Yogyakarta.
“Bagaimana kita memastikan provinsi yang cukup tinggi angka perkawinan anak lebih fokus lagi upaya pencegahan perkawinan anak,” katanya.
Dalam pencegahan perkawinan anak, selain meningkatnya angka permohonan dispensasi, ditemukan perkawinan bawah tangan/siri, tantangan yang dihadapi juga sistem data dan informasi yang belum optimal, misalnya bervariasinya data perkawinan anak di sejumlah lembaga, dan belum ada data perkawinan anak hingga tingkat desa, terutama perkawinan anak yang tidak dicatatkan, dan belum ada data terpadu terkait kasus perkawinan.
Optimalisasi hak anak
Dini Widiastuti, Direktur Eksekutif Yayasan Plan Indonesia menyatakan buku saku yang “Mari Kita Cegah Perkawinan Anak” adalah mendukung implementasi Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, khususnya berkontribusi pada tujuan pertama yaitu optimalisasi kapasitas anak. Buku tersebut didesain untuk anak dan akan didesiminasikan untuk kelompok-kelompok yang menjadi dampingan Plan Indonesia dan mitranya.
“Buku ini untuk meningkatkan kapasitas dan agensi anak, agar mereka paham dan berani membuat keputusan terhadap dirinya dan hidupnya, serta menolak praktik perkawinan anak. Selain itu, akan semakin mendorong anak untuk memahami perannya dalam upaya pencegahan perkawinan anak di lingkungan masing-masing,” tambah Dini.
Selain berisi panduan praktis, pengetahuan, pembelajaran, dan edukasi bagi anak dan kaum muda, buku tersebut diharapkan akan mampu mendorong adanya prakarsa dan kolaborasi anak bersama para pemangku kepentingan lainnya, untuk mewujudkan Indonesia bebas dari praktik perkawinan anak.
Alissa Wahid, Direktur Nasional Jaringan Gusdurian Indonesia, menyambut baik peluncuran buku saku tersebut. Buku tersebut penting karena saat ini pencegahan perkawinan anak masih berhadapan dengan keyakinan dalam masyarakat yang masih sulit diubah. Masih banyak yang melihat perkawinan anak bukan masalah, karena melihat nenek mereka dinikahkan pada usia muda.
“Mitos dan pandangan lama harus kita ubah, supaya kita bisa memberantas perkawinan anak di Indonesia. Buku saku ini penting sekali bagi anak muda ketika mereka dihadapkan pada pandangan-pandangan lama,” ujar Alissa.
Selain Alissa, sejumlah pembicara hadir dalam acara tersebut antara lain, Rohika Kurnia Sari, Asisten Deputi (Asdep) Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), Ciput Eka Purwianti (Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian PPPA), dan Sri Wahyuni (analis Kebijakan Ahli Madya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi).
Hadir juga sebagai pembicara Tri Wismaningsih Drajadiah (Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Nusa Tenggara Barat), Indry Octaviani (Adolescent Health and Agency Program Manager, Yayasan Plan Internasional Indonesia), dan Bambang Wicaksono (Manager Advokasi dan Kampanye Yayasan Plan Indonesia).