Penyandang tunanetra menghadapi tantangan dan hambatan saat mengakses pekerjaan. Meningkatkan pendidikan dan keterampilan diharapkan menjadi jalan mendapatkan pekerjaan yang layak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati memiliki pendidikan dan keterampilan khusus, hingga kini penyandang tunanetra tidak mudah mendapatkan pekerjaan baik di sektor formal maupun informal. Penyandang tunanetra dianggap tidak memiliki kemampuan bekerja selain memijat. Jika diberi dibekali dengan pendidikan dan keterampilan, mereka bisa berdaya dan berkontribusi di sejumlah sektor pekerjaan.
Menghadapi kondisi tersebut, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) bersama International Council Of Education For People With Visual Impairment (ICEVI) dan The Nippon Foundation (TNF) menyusun buku Transition to Employment: Lessons from the Philippines, Indonesia, and Vietnam.
Buku ini berisi praktik dalam menyiapkan generasi muda tunanetra memasuki dunia kerja serta bagaimana pemberi kerja mengakomodasi kebutuhan khusus karyawan penyandang tunanetra sehingga dapat berkarya sesuai tugas masing-masing.
”Buku ini menggambarkan intervensi yang dilakukan untuk menyiapkan generasi muda tunanetra di tiga negara dalam memasuki dunia kerja. Ada contoh-contoh dunia kerja yang membuka diri bagi karyawan penyandang tunanetra melalui penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak,” ujar Aria Indrawati, Ketua Umum Pertuni, Rabu (3/8/2022), saat soft launching buku tersebut.
Penyandang tunanetra bisa berdaya jika berkesempatan melanjutkan ke pendidikan tinggi dan berkesempatan magang di perusahaan atau kantor-kantor pemerintahan.
Buku yang ditulis Pertuni, Resources for The Blind (RBI) The Philipine, dan Saomai Computer Center for The Blind Vietnam, diharapkan menjadi salah satu referensi bagi penyandang tunanetra dan pemberi kerja. Hal ini diharapkan dapat membuka peluang penyandang disabilitas netra terserap lebih maksimal di dunia kerja arus utama.
Menurut Aria, sejak 2006 ICEVI didukung TNF membantu beberapa negara di kawasan Asia Tenggara untuk mendorong pembangunan pendidikan tinggi yang inklusif, melalui proyek ”Higher Education”. Proyek ini dimulai di Indonesia selama satu tahun kemudian diperpanjang dan diperluas secara bertahap. Saat ini, selain Indonesia, proyek ini menjangkau enam negara lain, yaitu Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Mongolia.
”Proyek ini berhasil mendorong terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan (dan Kebudayaan) Nomor 46 Tahun 2014 tentang pendidikan tinggi inklusif serta meningkatkan jumlah tunanetra menempuh dan menyelesaikan pendidikan tinggi sebanyak 30 persen,” tambah Aria.
Setelah itu dilanjutkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengamanatkan kuota kerja 2 persen untuk BUMN dan 1 persen untuk perusahaan swasta.
Selain membuka peluang penyandang tunanetra menempuh pendidikan tinggi, dukungan terhadap mahasiswa dan lulusan perguruan tinggi dari penyandang tunanetra untuk masuk dunia kerja pun dilakukan. Caranya dengan menyiapkan mereka memasuki dunia kerja.
Di Indonesia, menurut Aria, upayanya yaitu pre-employment soft skill training. Pelatihan ini membangun soft skill yang diperlukan untuk memasuki dan membangun karier di dunia kerja.
Sementara itu, RBI mengembangkan sistem pembelajaran matematika dan sains yang bisa diakses untuk siswa tunanetra. Hal ini bisa mempersiapkan mereka siap melanjutkan pendidikan tinggi dan membangun karier di bidang kerja yang dituju.
Disambut positif
Bagi penyandang tunanetra, buku ini bisa menjadi referensi bagi pemberi kerja. Penyandang tunanetra bisa berdaya jika berkesempatan melanjutkan ke pendidikan tinggi dan berkesempatan magang di perusahaan atau kantor-kantor pemerintahan.
”Buku itu menjadi inspirasi pada teman-teman dan pemberi kerja yang mungkin masih ragu-ragu memberi kesempatan kerja atau membuka tempat pendidikan mereka untuk teman-teman tunanetra,” ujar Juwita Maulida (33), lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta, penyandang tunanetra.
Peluncuran buku tersebut mendapat tanggapan positif dari Kementerian Ketenagakerjaan. ”Buku ini bisa menjadi rujukan untuk menyusun program-program dan mempersiapkan penyandang disabilitas, khususnya tunanetra memasuki dunia kerja, sehingga dunia kerja yang inklusif bisa terwujud,” ujar Eva Trisiana, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan, saat dihubungi terpisah.
Eva menyatakan, hingga kini Kemenaker terus menyosialisasikan amanat Undang-Undang No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas terkait kuota kerja 2 persen untuk BUMN dan 1 persen untuk perusahaan swasta. ”Kita sosialisasi terus soal kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas. Bahkan, dinas tenaga-dinas tenaga kerja diminta membuat unit layanan disabilitas, memang belum semuanya, tetapi kita terus sosialisasikan. Selain itu, kita sediakan program-program pelatihan di balai latihan kerja yang ramah disabilitas,” ujarnya.