Paleogenomik Menyingkap Pembauran Asia-Papua Lebih Awal
Riset paleogenomik menunjukkan, pembauran antara dua kelompok populasi Asia dan Papua di Indonesia telah terjadi setidaknya 7.200 tahun lalu, jauh lebih awal sebelum kedatangan penutur Austronesia.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
AHMAD ARIF
Gludhug A Purnomo, peneliti Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) yang juga kandidat doktor bidang paleogenomik dari Adelaide University (kanan), mempresentasikan tentang penghunian manusia di Indonesia dalam diskusi di Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah, dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Selasa (2/8/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Selama ini populasi manusia di Indonesia biasanya dikelompokkan menjadi dua, yaitu Asia dan Papua, yang diperkirakan baru bertemu pada 2.000-3.000 tahun lalu. Namun, data terbaru di bidang paleogenomik menunjukkan, pembauran antara dua kelompok populasi ini kemungkinan telah terjadi 4.000 tahun lebih awal.
Peran penting studi paleogenomik dalam merekonstruksi penghunian manusia Indonesia di masa lalu ini didiskusikan dalam seminar yang diselenggarakan Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah, dan Sejarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) di Jakarta, Selasa (2/8/2022). Seminar ini didahului dengan penandatanganan kerja sama penelitian antardua lembaga terkait pemetaan keragaman genom manusia dan penyakit.
Gludhug A Purnomo, peneliti MRIN yang juga kandidat doktor bidang paleogenomik dari Adelaide University, dalam presentasinya mengatakan, berdasarkan data DNA, populasi di Indonesia saat ini dipengaruhi oleh setidaknya tiga gelombang migrasi.
Kerja sama ini diharapkan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab dengan pasti, di antaranya tentang kapan pembaruan Asia dan Papua itu terjadi dan apa implikasinya.
Paling awal adalah kedatangan kelompok migran dari Afrika sekitar 50.000 tahun lalu yang menjadi leluhur Papua saat ini. Berikutnya, kedatangan kelompok migran dari Asia sekitar 10.000 tahun lalu dan Austronesia dari Taiwan sekitar 4.000 tahun lalu.
”Terlihat sejarah genetik dari nenek moyang manusia Indonesia sekarang, ada gradasi barat ke timur. Semakin ke timur, semakin mirip DNA Papua dan semakin ke barat semakin mirip DNA Asia,” katanya.
Menurut Gludhug, data genetik yang dikumpulkan dari populasi Indonesia saat ini juga menunjukkan, kelompok populasi Asia atau di kalangan arkeolog bisa menyebutnya Mongoloid ini bertemu dengan kelompok populasi Papua atau bisa disebut juga Australomelanesid pada 2.000-3.000 tahun lalu.
FABIO MARIA LOPES COSTA
Kegiatan pemberdayaan Kelompok Perempuan Adat Ingger Wewal di Sekolah Lapang Kire-Kire Syal Gwibin Gol untuk Kelompok Perempuan Adat Ingger Wewal di Kampung Sawesuma, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (15/7/2022).
”Namun, di Tolean (Maros, Sulawesi Selatan) ternyata ditemukan individu 7.000-an tahun lalu yang memiliki bauran genetik mirip Asia dan Papua. Padahal, data genetik sebelumnya menunjukkan, pembauran (Asia dan Papua) baru terjadi 2.000-3.000 tahun lalu. Jadi, ada gap 4.000 tahun,” kata Gludhug.
Menurut Gludhug, temuan baru di Tolean ini menunjukkan pentingnya studi paleogenomik, yaitu analisis genomik terhadap DNA manusia kuno, untuk merekonstruksi penghunian manusia di Indonesia. ”Temuan ini menunjukkan pentingnya kajian paleogenomik dan kolaborasi riset dengan arkeologi,” katanya.
Hasanuddin, arkeolog dari BRIN, yang terlibat dalam kajian di situs Tolean, Maros ini mengatakan, sebelum kedatangan Austronesia, wilayah ini dihuni Australomelanesid. ”Sampel individu yang sudah dianalisis DNA-nya dan diketahui umurnya 7.200 tahun ini berasal dari penggalian tahun 2015 di pelataran Leang Panninge di Kecamatan Mallawa, perbatasan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone,” katanya.
Temuan yang dipublikasikan di jurnal Nature pada 25 Agustus 2021 itu menyebutkan, sosok wanita muda yang ditemukan di Leang Panninge ini berbagi mutasi genetik serta memiliki kesamaan morfologis dengan kelompok Papua dan Aborigin Australia saat ini. Selain itu, juga ditemukan DNA manusia purba Denisovan dan nenek moyang yang terkait dengan Asia kuno dalam dalam genom individu ini.
VIVIANE SLON, DKK. NATURE, 2018
Lokasi sebaran dan interaksi antara Neandertal, Denisovan, dan leluhur manusia modern sekitar 40.000 tahun lalu.
Hasanuddin mengatakan, pada tahun 2021 juga telah ditemukan rangka manusia di situs Tolean. ”Rangka ini ditemukan pada kedalaman sekitar 85 sentimeter, di bawah lapisan batu gamping. Polanya sama dengan temuan 2015,” katanya.
Namun, sampai saat ini, temuan ini belum dianalisis genomiknya. Hasanuddin berharap, kolaborasi di bidang paleogenomik ini bisa membantu merekonstruksi penghunian dan pembauran manusia di situs Tolean ini secara lebih rinci.
Zubair Mas’ud, arkeolog BRIN, yang juga banyak melakukan kajian di Papua, mengatakan, di kawasan timur Indonesia sebenarnya banyak ditemukan tinggalan prasejarah, termasuk kerangka manusia. Namun, hingga saat ini masih belum belum dianalisis genomiknya.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Nixon Watem (45) bersama anak didiknya di Distrik Kofiau, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Kamis (29/11/2018).
”Penelitian kami menemukan fragmen rahang manusia di Kofiau, Raja Ampat, selain tinggalan berupa tembikar, mata panah, dan tulang. Di Keerom, perbatasan dengan Papua Niugini, juga ditemukan fragmen tulang, tengkorak, dan alat serpih, selain gambar cadas. Hasil penanggalan berumur 4.850 tahun lalu,” katanya.
Era genomik
Herawati Supolo Sudoyo, peneliti utama MRIN, mengatakan, kerja sama riset genetika dan arkeologi ini diharapkan bisa meneruskan yang telah dirintisnya dulu di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. ”Kerja sama ini diharapkan bisa menjawab berbagai pertanyaan yang sampai saat ini belum terjawab dengan pasti, di antaranya tentang kapan pembaruan Asia dan Papua itu terjadi dan apa implikasinya,” katanya.
Menurut Herawati, saat ini merupakan era riset genomik, di mana informasi genetika dilihat secara total. ”Karena tidak semua jawaban ada di data genom manusia yang hidup saat ini, paleogenomik menjadi sangat penting. Ini jauh lebih sulit daripada mempelajari manusia modern sehingga tidak menutup kemungkinan melakukan kolaborasi setara di tempat yang memiliki infrastruktur dan sumber daya termutakhir,” katanya.
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN Herry Jogaswara mengatakan, kerja sama ini diharapkan bisa saling melengkapi sehingga bisa memajukan pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang arkeologi dan genomik.
”Kolaborasi ini juga untuk menunjukkan, BRIN membuka kerja sama dengan para pihak,” katanya.
Bastien Llamas dari Australian Centre for Ancient DNA Adelaide University memaparkan pentingnya kolaborasi riset arkeologi dengan genomik. Tidak hanya menyelidiki DNA manusia kuno, untuk mengetahui sejarah perjalanan dan pembauran hingga penyakitnya, kolaborasi ini juga bisa mempelajari lingkungan tempat tinggal yang memengaruhi kehidupan manusia saat itu.
”Di Australia, data paleogenomik dari situs arkeologi Madjedbebe, berusia 50.000-69.000 tahun lalu, telah melengkapi rekonstruksi penghunian manusia di benua ini di masa lalu,” katanya.
Kedatangan manusia di Australia ini, menurut Gludhug, secara teoretis melalui wilayah Indonesia. Namun, pola migrasi leluhur Aborigin Australia, di wilayah Indonesia, khususnya ketika melewati Kepulauan Wallacea dan Papua, masih belum diketahui dengan pasti. Bukti-bukti arkeologi manusia modern yang ditemukan di wilayah Indonesia selama ini masih terbatas. Oleh karena itu, kolaborasi riset paleogenomik ke depan diharapkan juga bisa menjawab hal ini.