Langkah Penting Menyelamatkan Ekosistem Reptil Purba
Terlepas dari dinamika pengelolaan pariwisata, aturan pembatasan kunjungan ke Taman Nasional Komodo seharusnya dilakukan sejak dulu. Mengurangi interaksi dengan manusia akan menyelamatkan ekosistem dan populasi komodo.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Pemerintah resmi memberlakukan kebijakan pembatasan kunjungan wisatawan dan menetapkan biaya kontribusi konservasi di Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, sejak 1 Agustus 2022. Kebijakan ini dibuat menyusul adanya peningkatan kunjungan wisatawan ke TNK sekaligussebagai upaya mempertahankan nilai jasa ekosistem demi konservasi berkelanjutan.
Berdasarkan data Balai Taman Nasional Komodo (TNK), kunjungan wisatawan ke TNK, khususnya ke Pulau Komodo dan Pulau Padar, terus meningkat signifikan. Pada 2016, kunjungan ke TNK sebanyak 100.000 orang dan meningkat menjadi 221.000 orang pada 2019.
Untuk mengetahui dampak kunjungan wisatawan ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Pemerintah Provinsi NTT melakukan kajian yang dipimpin peneliti dari IPB University. Tujuannya untuk mengetahui daya dukung dan daya tampung berbasis jasa ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan kawasan air di sekitarnya.
Kajian daya dukung fokus melihat kondisi ketersediaan dukungan bagi populasi komodo seperti pakan atau mangsa. Sementara kajian daya tampung berfokus untuk melihat kemampuan suatu kawasan dalam menampung berbagai aktivitas manusia, seperti kegiatan pariwisata, termasuk pencemaran dari kapal atau transportasi laut.
Hasil kajian merekomendasikan jumlah pengunjung ideal ke Pulau Komodo sekitar 219.000 orang per tahun dan Pulau Padar berjumlah 39.420 orang per tahun.Sementara dari aspek perekonomian masyarakat untuk wisata berkelanjutan, kunjungan wisatawan direkomendasikan tidak kurang dari 146.000 orang.
Ketua Tim Ahli Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan Air di Sekitarnya Irman Firmansyah menyatakan, TNK dibuat bukan sebagai wisata massal, melainkan wisata minat khusus dengan jumlah pengunjung yang terbatas. Oleh karena itu, semua pihak perlu mengubah pola pikir terkait kegiatan wisata khusus di kawasan konservasi ini.
Menurut Irman, memaksimalkan aspek ekonomi dalam wisata minat khusus tidak dilakukan dengan meningkatkan angka kunjungan wisatawan. Namun, memaksimalkan aspek ekonomi dilakukan dengan memperpanjang jumlah hari kunjungan wisatawan.
”Apabila dihitung, aspek ekonomi dari jumlah 200 wisatawan yang berkunjung selama tiga hari itu sama dengan jumlah 300.000 wisatawan, tetapi hanya berkunjung dua hari. Jadi, pengelolaan kunjungan harus mengarah ke konsep ini sehingga setiap destinasi harus terintegrasi,” ujarnya saat berbincang dengan media di Labuan Bajo, Jumat (29/7/2022).
Meski kunjungan dibatasi, Irman menekankan bahwa akses ke TNK bagi wisatawan, termasuk dari mancanegara, tetap harus dimudahkan. Guna memudahkan akses sekaligus pemantauan, rekomendasi lainnya dalam kajian ini juga mendorong agar kunjungan wisatawan dapat terhubung dengan teknologi atau sistem digital.
”Kalau saat ini kita tidak mulai membatasi kunjungan dan tahun 2045 wisatawan mencapai 487.000, jasa ekosistem yang hilang di TNK mencapai Rp 11 triliun. Namun, kalau dilakukan pembatasan dengan terintegrasi, jasa ekosistem yang hilang hanya Rp 10 miliar. Dengan pemasukan Rp 500 miliar, kerusakan lingkungan masih bisa dikendalikan,” ucapnya.
Perubahan perilaku
Hasil penelitian Balai TNK pada 2016 dan kajian serupa dari IPB University pada 2020 menunjukkan, perilaku komodo dapat berubah jika terjadi interaksi yang terlalu tinggi dengan wisatawan.Komodo yang ada di kawasan wisata cenderung lebih terbiasa dengan keberadaan manusiakarena kerap diberi makanan sehingga mengganggu insting liarnya.
Perubahan sifat komodo ini juga dikonfirmasi langsung oleh salah satu Naturalist Guide TNK, Haryono Abdullah. Selama lebih dari 10 tahun menjadi pemandu wisata di TNK, Haryono melihat perubahan perilaku komodo cenderung tidak bisa dikontrol.
”Pada 1991, petugas memang memberikan makan ke komodo tetapi tahun 1994 sudah dihentikan agar insting berburunya tidak hilang. Sekarang juga sudah banyak aturan untuk melarang wisatawan memberikan makan ke komodo,” katanya.
Selain sejumlah kajian tersebut, selama ini juga sudah banyak hasil studi terkait ancaman bagi ekosistem dan populasi komodo. Studi distribusi dan monitoring konservasi komodo pada 2004 menyatakan, komodo sangat sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan, khususnya di wilayah yang tidak dilindungi. Oleh karena itu, hilangnya habitat yang berkelanjutan dan konversi lahan bisa memperburuk populasi reptil purba ini.
Koordinator Pelaksana Program Penguatan Fungsi di TNK Carolina Noge mengatakan, program penguatan fungsi dibuat karena terdapat sejumlah permasalahan yang memengaruhi ekosistem di TNK. Permasalahan tersebut, antara lain, sampah pengunjung, perburuan liar, registrasi wisatawan, pengelolaan air bersih, rusaknya habitat komodo, hingga hilangnya nilai jasa ekosistem.
Program penguatan fungsi ini bukan sekadar pembatasan pengunjung, melaiankan juga kegiatan lain yang berfokus pada aspek kelembagaan, perlindungan kawasan, pemberdayaan masyarakat, dan pengembangan wisata alam. Pada aspek kelembagaan, nantinya peningkatan kapasitas sumber daya manusia akan dilakukan melalui sejumlah pelatihan, seperti selam, monitoring terumbu karang dan ikan, serta sistem informasi geografis.
Memaksimalkan aspek ekonomi dalam wisata minat khusus tidak dilakukan dengan meningkatkan angka kunjungan wisatawan. Namun, memaksimalkan aspek ekonomi dilakukan dengan memperpanjang jumlah hari kunjungan wisatawan.
Kenaikan tarif
Terkait kenaikan tarif, Carol menyebut bahwa pihaknya hanya menetapkan biaya kontribusi konservasi tanpa mengubah harga tiket masuk ke TNK. Sebelum adanya kebijakan penetapan biaya kontribusi konservasi, total tiket masuk ke TNK selama satu hari mencapai Rp 300.000-Rp 500.000.
Sementara biaya kontribusi konservasi sebesar Rp 3,75 juta per orang setiap tahun yang dibayarkan secara kolektif per empat orang menjadi Rp 15 juta merupakan hasil rekomendasi tim ahli kajian daya dukung dan daya tampung berbasis jasa ekosistem. JIka dirinci, biaya tersebut digunakan untuk tiket masuk sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP), biaya konservasi, dan biaya fasilitas lainnya.
”Kalau dipersentasikan, 80 persen dari total biaya tersebut digunakan untuk kegiatan konservasi. Namun, dari biaya ini juga ada sejumlah fasilitas sebagai bentuk apresiasi. Jadi, kami menyebut pengunjung ini sebagai kontributor karena telah berkompensasi lebih dalam menjaga dan melestarikan ekosistem komodo,” katanya.
Carol menegaskan bahwa kegiatan konservasi yang dilakukan bersifat transparan dan bisa dipantau secara langsung oleh publik. JIka berjalan dengan baik, pada akhirnya program ini juga akan berkontribusi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) karena dikelola oleh badan usaha milik daerah (BUMD).