Satuan Tugas Pengawas Lembaga Filontropi Bisa Hambat Inisiatif Kedermawanan
Pembentukan Satuan Tugas Pengawas Lembaga Filantropi dinilai tidak akan efektif mencegah penyimpangan dana kemanusiaan.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Satuan Tugas Pengawas Lembaga Filantropi dinilai tidak akan efektif mencegah penyimpangan dana kemanusiaan. Kajian yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil menunjukkan, kelemahan terutama terjadi pada perangkat perundangan dan regulasi yang tidak mendorong penyelenggaraan sumbangan secara transparan dan akuntabel.
”Upaya pencegahan, pengawasan, pembinaan, dan penegakan hukum baru berjalan dengan efektif jika ada penguatan dalam peraturan perundangan dan regulasi adalah mutlak dan mendesak diperlukan,” ujar Avianto Amri dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), di Jakarta, Minggu (31/7/2022), mewakili Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akuntabilitas Dana Kemanusiaan.
Avianto juga mengkritisi inisiatif Kementerian Sosial dalam membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawas Lembaga Filantropi untuk mengawasi lembaga-lembaga filantropi sebagai buntut dari kasus dugaan penyimpangan dana Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT). Satgas ini menurut rencana terdiri dari anggota Kemensos, aparat penegak hukum, pejabat Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), hingga Interpol.
Menurut dia, pembentukan satgas tidaklah akan menyelesaikan permasalahan yang ada atau mencegah terjadinya kembali kasus serupa di kemudian hari. Berdasarkan kajian yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil pada 2017, salah satu akar permasalahan adalah lemahnya regulasi dan peraturan perundangan yang tidak mendorong penyelenggaraan sumbangan yang transparan dan akuntabel.
”Pembentukan satgas ini merupakan cara berpikir jalan pintas dengan membentuk lembaga ad-hoc, tetapi tidak menjawab kebutuhan jangka panjang seiring perkembangan filantropi di berbagai sektor yang berkembang sangat cepat,” kata Syamsul Ardiansyah, anggota Dewan Pengawas Humanitarian Forum Indonesia.
Menurut Syamsul, alasan bahwa perubahan undang-undang (UU) akan memakan waktu yang lama dinilai tidak tepat. Hal ini karena ada beberapa UU yang disahkan dalam waktu yang cepat. Apalagi, Kementerian Sosial sejak tahun 2016 juga sudah bekerja bersama Koalisi Masyarakat Sipil dalam menyusun Draf Rancangan UU dan Naskah Akademik RUU Penyelenggaraan Sumbangan.
Syamsul menambahkan, pengaturan kegiatan filantropi dan penggalangan sumbangan perlu dilakukan dengan hati-hati agar tidak menghambat dan mematikan kegiatan filantropi yang saat ini berkembang pesat di Indonesia. Pengaturan harus ditujukan pada upaya untuk memfasilitasi partisipasi warga dalam kegiatan filantropi sehingga bisa lebih transparan dan akuntabel, bukan membatasi dan menghambat inisiatif dan pelaksanaannya.
Butuh regulasi
Nanang Subana Dirja dari Yayasan Relief Islami Indonesia juga mengatakan, RUU Penyelenggaraan Sumbangan sangat urgen untuk dapat menjamin hak dan perlindungan bagi para donatur dan penerima dana kemanusiaan melalui mekanisme pelaporan, keluhan, dan umpan balik.
”Selama ini, kasus-kasus seputar penyelewengan dana kemanusiaan salah satunya dipicu oleh ketiadaan pengaturan terkait hak dari para donator dan penerima sumbangan untuk menuntut transparansi dana yang dikelola serta melaporkannya jika ada masalah,” katanya.
Dengan adanya pengaturan mekanisme pelaporan keluhan dan umpan balik, menurut Nanang, kasus seperti ACT dapat diantisipasi lebih dini dan tidak akan terjadi sampai bertahun-tahun sebelum akhirnya diungkap.
Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akuntabilitas Dana Kemanusiaan Petrasa Wacana mengatakan, koalisinya akan terus memperjuangkan usulan perubahan undang-undang yang sudah diusulkan sejak lama. Salah satu perubahan yang diusulkan adalah dibentuknya Komisi Penyelenggaraan Sumbangan serupa dengan Charity Comission di Inggris.
Komisi ini diharapkan bertugas melakukan edukasi; memberikan pembinaan, penilaian terhadap kegiatan penyelenggaraan sumbangan, mulai dari pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pengawasan, dan monitoring; serta mendorong kebijakan, inisiasi, dan kode etik penerapan akuntabilitas lembaga filantropi di Indonesia.
Berbeda dengan Satgas Lembaga Pengawas Filantropi, Komisi Penyelenggaraan Sumbangan ini harus mendapat mandat dari UU dan bersifat lintas sektor karena cakupannya yang luas, jumlah lembaga yang banyak, dan potensi sumbangan dari publik yang sangat besar.