Potensi ekonomi digital Indonesia sangat besar. Untuk bisa memanfaatkannya, Indonesia membutuhkan talenta-talenta digital yang andal dan terliterasi digital. Namun, itu semua butuh infrastruktur yang andal dan merata.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
SAN FRANSISCO, KOMPAS — Indonesia membutuhkan banyak talenta digital yang berkualitas demi bisa melakukan transformasi digital. Talenta itu dibutuhkan bukan sekadar untuk bisa mengoptimalkan peluang ekonomi digital Indonesia yang besar, melainkan juga menciptakan ruang digital yang bersih, sehat, dan bermanfaat dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Upaya membangun talenta digital yang besar dan berkualitas itu merupakan salah satu bahasan Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate dengan sejumlah petinggi raksasa teknologi global di California, Amerika Serikat, Rabu-Kamis, 27-28 Juli 2022.
”Indonesia membutuhkan sembilan juta talenta digital dengan kemampuan menengah dalam 15 tahun ke depan atau rata-rata 600.000 orang per tahun,” kata Johnny seusai mengunjungi Cisco, produsen perangkat keras dan perangkat lunak telekomunikasi, seperti semikonduktor, cip, serta teknologi komunikasi generasi kelima 5G, di San Jose, Kamis (28/7/2022).
Dari kebutuhan tersebut, lanjut Johnny, Kementerian Kominfo baru bisa memenuhi 150.000-200.000 orang per tahun. Kekurangannya akan dipenuhi melalui sejumlah kerja sama dengan berbagai perusahaan teknologi dalam berbagai pelatihan untuk meningkatkan kemampuan mereka.
Selain itu, kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi perlu terus diperkuat. Minat anak muda menekuni dunia digital cukup tinggi mengingat mereka umumnya merupakan digital native atau terlahir sudah mengenal teknologi. Namun, kemampuan mereka perlu terus ditingkatkan agar bisa mengimbangi perkembangan teknologi digital yang cepat.
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Keminfo Ismail menambahkan, sumber daya manusia digital Indonesia cukup berkembang, tidak kalah dengan negara-negara lain. Sejumlah perguruan tinggi juga banyak melakukan riset terkait pengembangan dan pemanfaatan teknologi diigtal yang ada.
Indonesia membutuhkan sembilan juta talenta digital dengan kemampuan menengah dalam 15 tahun ke depan atau rata-rata 600.000 orang per tahun.
”Mereka mampu menyesuaikan teknologi yang ada sesuai kebutuhan Indonesia baik dalam sisi konseptual maupun aplikasinya,” ujarnya.
Sementara itu, dalam kunjungan ke Meta, perusahaan yang mengelola sejumlah jejaring sosial, seperti Facebook dan Instagram, di Menlo Park, Johnny menambahkan, pengembangan telanta digital itu dilakukan agar investasi infrastruktur digital yang tengah dikembangkan pemerintah bisa bermanfaat optimal.
”Pemerintah serius membangun infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi di seluruh Indonesia yang menghubungkan pulau-pulau dan daerah melalui fiber optik, satelit, ataupun base transceiver station (BTS),” katanya.
Pengembangan talenta digital lain yang penting dilakulan adalah meliterasi masyarakat agar lebih paham dengan internet. Pembangunan gerakan literasi digital tersebut dimaksudkan agar warga menyadari bahwa apa yang terjadi di dunia nyata selaras dengan apa yang berlaku di dunia maya. Karena itu, masyarakat harus waspada dan melindungi diri agar terhindar dari hoaks, misinformasi, dan berbagai kejahatan via internet.
Ekonomi digital
Saat mengunjungi Qualcomm di San Diego, Rabu (27/7/2022), Johnny mengatakan, untuk jaringan komunikasi, pemerintah fokus menyelesaikan jaringan telekomunikasi generasi keempat atau 4G. Jaringan 4G ini akan menjadi tulang punggung telekomunikasi Indonesia.
Fokus 4G ini dilakukan untuk mengatasi kesenjangan digital di Indonesia yang besar, khususnya di daerah-daerah pelosok ataupun daerah terdepan, tepencil, dan tertinggal.
Namun, agar tidak tertinggal dalam kemajuan teknologi ataupun dengan perkembangan di negara lain, pemerintah juga mengembangkan jaringan 5G di sejumlah daerah. Jaringan 5G tersebut mulai dikenalkan dalam sejumlah kegiatan di Indonesia pada 2021. Karena itu, jaringan komunikasi 4G dan 5G akan dikembangkan bersama.
Jika infrastruktur teknologi digital itu terbangun, lanjut Ismail, semua warga Indonesia memiliki peluang yang sama untuk masuk teknologi digital. Jika infrastruktur tersedia, pemerintah tinggal mendorong kemampuan mereka agar bisa memanfaatkan teknologi digital dengan baik untuk mendorong potensi ekonomi digital.
Berdasarkan laporan Google, Temasek, Bain & Company, seperti dikutip di Kompas, 22 Februari 2022, nilai ekonomi digital Indonesia pada 2021 mencapai 70 miliar dollar AS atau sekitar Rp 1.015 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dollar AS. Jumlah itu akan melonjak hingga pada 2025 mencapai 146 miliiar dollar AS atau Rp 2.117 triliun. Lonjakan nilai ekonomi digital itu dipicu oleh tumbuhnya e-dagang ataupuan layanan transportasi dan antarmakanan.
Sementara, khusus untuk pemanfaatan jaringan 5G, studi Institut Teknologi Bandung pada 2020 menunjukkan pemanfaatan jaringan 5G diprediksi akan berdampak ekonomi sebesar Rp 2.802 triliun pada 2030. Penggunaan 5G juga akan memunculkan 4,4 juta pekerjaan baru dan peningkatan pendapatan per kapita sebesar Rp 9,4 juta.
Selain infrastruktur dan talenta digital, lanjut Ismail, optimalisasi potensi ekonomi digital itu juga dilakukan dengan terus mendorong peningkatan kandungan lokal dalam setiap produk teknologi yang digunakan di Indonesia, baik terkait pembuatan aplikasi, pembuat aplikasi, maupun penguatan jenamanya.
”Upaya ini bisa mendorong industri lokal, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” katanya. Keterlibatan UMKM dalam ekonomi digital diyakini akan makin mendongkrak ekonomi digital Indonesia karena besarnya jumlah UMKM ataupun kuantitas pekerjanya.
Untuk menopang berbagai tahapan dalam transformasi digital tersebut, baik dalam penyediaan infrastrktur, pengembangan literasi dan talenta digital, maupun mendorong ekonomi digital, diperlukan investasi yang besar dan mahal. Kondisi itu terjadi karena investasi teknologi digital umumnya menggunakan teknologi terbaru hingga harganya tidak murah.
”Pemerintah menggunakan skema keuangan bauran. Artinya, ada infrastruktur digital yang dibiayai pemerintah dan ada pula yang ditanggung swasta,” kata Johnny. Perusahaan swasta diyakini akan banyak bersedia atau terlibat dalam pendanaan infrastruktur digital mengingat nilai rata-rata pengembalian investasinya hanya 4,8 tahun yang artinya lebih cepat dibandingkan dengan investasi lain.
Berbagai kebijakan itu juga harus ditopang dengan regulasi yang mendukung. Regulasi ini akan dibuat dengan mengikuti perkembangan teknologi yang ada, baik dalam konteks Indonesia sebagai negara konsumen teknologi seperti saat ini maupun menjadi produsen teknologi nantinya.
”Regulasi ini dibuat agar Indonesia bisa memanfaatkan teknologi dengan biaya yang efisien dan bisa dimanfaatkan masyarakat secara produktif,” ujarnya.