Sebanyak 121 Juta Kehamilan Tidak Diinginkan Terjadi Setiap Tahun di Seluruh Dunia
Angka kehamilan tidak diinginkan baik di tingkat global maupun di Indonesia cukup tinggi. Berbagai upaya harus diperkuat untuk mencegahnya, terutama dengan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam penggunaan kontrasepsi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
ABDULLAH FIKRI ASHRI
Warga menjalani pemasangan implan keluarga berencana di Puskesmas Pondoh, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Senin (29/6/2020). Pemerintah Kabupaten Indramayu menargetkan 28.765 akseptor KB dalam sepekan. Hingga Senin, target untuk akseptor KB berkisar 87 persen. Peningkatan akseptor KB diharapkan mampu menekan laju kehamilan. Apalagi, saat pandemi, ibu yang hamil berisiko tinggi terpapar Covid-19.
JAKARTA, KOMPAS — Hampir setengah dari semua kehamilan di tingkat global atau sekitar 121 juta kehamilan merupakan kehamilan tidak diinginkan. Di Indonesia, angkanya mencapai 40 persen dari seluruh kehamilan. Situasi ini harus segera diatasi untuk mencegah berbagai dampak buruk pada ibu dan juga anak di kemudian hari.
Badan Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) mengeluarkan Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2022 yang menunjukkan tingginya angka kehamilan tidak diinginkan di dunia. Sebanyak 121 juta kehamilan tidak diinginkan terjadi setiap tahun.
Lebih dari 60 persen dari kasus kehamilan tidak diinginkan berakhir pada aborsi. Selain itu, 45 persen dari aborsi tersebut dilakukan secara tidak aman.
”Tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan menunjukkan akses yang tidak merata pada informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduksi di masyarakat. Ini juga menunjukkan kegagalan global untuk menegakkan hak asasi perempuan,” kata Kepala Perwakilan UNFPA Indonesia Anjali Sen, di Jakarta, Jumat (29/7/2022).
Ia menuturkan, persoalan lain yang juga harus menjadi perhatian global yakni rendahnya penggunaan kontrasepsi modern yang aman. Dari laporan tersebut diketahui setidaknya ada 257 juta perempuan yang ingin menghindari kehamilan, tetapi tidak menggunakan metode kontrasepsi modern yang aman. Di 47 negara, sekitar 40 persen perempuan yang aktif secara seksual tidak menggunakan metode kontrasepsi apa pun untuk menghindari kehamilan.
Anjali pun mendorong agar semua pihak bisa bekerja sama mengatasi persoalan kehamilan tidak diinginkan di masyarakat. Kesadaran mengenai konsekuensi buruk dari kehamilan tidak diinginkan perlu ditingkatkan. Setiap perempuan pun harus bisa mendapatkan hak mereka untuk menentukan masa depan, termasuk menentukan kehamilannya.
Tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan menunjukkan akses yang tidak merata pada informasi serta layanan kesehatan seksual dan reproduksi di masyarakat. Ini juga menunjukkan kegagalan global untuk menegakkan hak asasi perempuan. (Anjali Sen)
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Bonivasius Prasetya Ichtiarto mengatakan, di Indonesia, angka kehamilan yang tidak diinginkan mencapai 40 persen. Penyebab dari kehamilan tidak diinginkan tersebut cukup banyak.
Pada pasangan usia subur penyebabnya, antara lain, jumlah anak yang sudah banyak, istri yang masih terikat kontrak kerja, suami yang tidak mendukung penggunaan kontrasepsi, usia istri yang terlalu tua, dan ketidakmampuan untuk menghidupi banyak anak. Sementara pada remaja, penyebab kehamilan tidak diinginkan, yaitu pernikahan usia muda, kurangnya pengetahuan kesehatan reproduksi, informasi yang salah di media sosial, dan seks bebas.
”Kehamilan yang tidak diinginkan memiliki konsekuensi serius, terutama bagi perempuan dan anak yang dilahirkan. Dampaknya juga sangat luas dan berkepanjangan yang juga dapat berpengaruh pada pembangunan sumber daya manusia di suatu negara,” kata Bonivasius.
Ia menyampaikan, kehamilan yang tidak diinginkan dapat mengakibatkan kematian pada ibu. Selain itu, kondisi tersebut juga dapat menyebabkan anemia pada ibu hamil. Bayi yang dilahirkan pun amat berisiko lahir prematur ataupun lahir dengan berat bayi lahir rendah.
Perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan juga rentan mengalami masalah-masalah sulit, seperti aborsi, terpaksa menyerahkan anak untuk diadopsi, ataupun membesarkan anak tanpa dukungan finansial, fisik, dan emosional yang diperlukan.
Bonivasius menambahkan, anak yang dilahirkan dari kehamilan yang tidak diinginkan sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif dari orangtua ataupun lingkungannya. Risiko lainnya, anak tersebut juga dapat mengalami tengkes (stunting) karena kurangnya perhatian baik dari nutrisi maupun stimulasi sejak di kandungan.
”Ini masalah serius. Karena itu, seluruh pemangku kepentingan harus bertindak guna mencegah dan mengatasi krisis kehamilan tidak diinginkan ini. Masalah ini tidak hanya terkait kesehatan, tetapi juga ketidakadilan, utamanya pada hak dan status perempuan,” tuturnya.
Bonivasius menyampaikan, sejumlah upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kehamilan tidak diinginkan meliputi peningkatan advokasi dan sosialisasi penurunan kehamilan tidak diinginkan kepada pemangku kepentingan dan masyarakat; peningkatan keluarga berencana pasca-kehamilan; optimalisasi tenaga penyuluh keluarga berencana dan petugas lapangan dalam pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan, serta penyediaan dan pengembangan informasi terkait kehamilan yang tidak diinginkan.