Target penurunan prevalensi kasus tengkes menjadi 14 persen pada 2024 tidak mudah terwujud. Butuh kerja sama lintas sektoral.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
KUNINGAN, KOMPAS — Pemerintah menargetkan prevalensi kasus stunting atau tengkes turun dari 24,4 persen pada tahun lalu menjadi 14 persen tahun 2024. Namun, pandemi Covid-19 hingga rendahnya penyerapan anggaran penanganan tengkes dapat menyulitkan tercapainya target itu.
”Pak Presiden (Joko Widodo) sendiri mengatakan bahwa (target) itu sesuatu yang tidak mudah, tetapi bukan sesuatu yang tidak mungkin,” ujar Inspektur Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Ari Dwikora Tono, Kamis (28/7/2022).
Ari menyampaikan hal itu dalam peringatan Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional tingkat Jawa Barat di Pandapa Pratama, Kabupaten Kuningan. Turut hadir, antara lain, Gubernur Jabar Ridwan Kamil, Bupati Kuningan Acep Purnama, dan Kepala BKKBN Jabar Wahidin.
Fokus kegiatan itu adalah penurunan kasus tengkes. Tengkes adalah kondisi gagal tumbuh kembang akibat mengalami kurang gizi. Menurut Ari, kasus tengkes di Indonesia terus menurun. Namun, dibutuhkan percepatan penurunan sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021.
”Sementara tahun-tahun sebelumnya, tren (penurunan tengkes) hanya 0,3 persen (poin),” ungkapnya. Padahal, dengan target prevalensi tengkes mencapai 14 persen pada 2024, penurunan kasus harus sebanyak 10 persen poin. Artinya, dalam tiga tahun ke depan, penurunannya minimal 3 persen poin setiap tahun.
Menurut dia, pandemi Covid-19 yang memukul perekonomian dan kesehatan masyarakat menjadi kendala penanganan tengkes dua tahun terakhir. Anggaran pemerintah pusat dan daerah, misalnya, banyak yang dialihkan untuk mengatasi Covid-19, termasuk dana penurunan tengkes.
Seiring penanganan pandemi Covid-19 yang membaik, pihaknya berharap upaya penurunan kasus tengkes makin giat dilakukan juga oleh masyarakat dan lintas sektoral. Sebab, tengkes juga tidak bisa terlepas dari problem lainnya, seperti akses air bersih, pangan, dan sanitasi.
Di sisi lain, penyerapan anggaran antisipasi kasus tengkes di daerah masih rendah. Dari total dana alokasi khusus fisik sebesar Rp 8,3 triliun, anggaran yang terealisasi pertengahan Juli baru mencapai 9,01 persen. Padahal, dana itu untuk kesehatan hingga penurunan kematian ibu dan anak.
”(Penyerapan) ini kecenderungannya rendah karena ada berbagai perbedaan sistem (pengelolaan keuangan) di pusat dan pemerintah daerah. Makanya, kami selalu menyampaikan ke kepala daerah agar koordinasinya baik karena pelayanan (kasus tengkes) sepanjang tahun,” ujarnya.
Ari mengungkapkan, target penurunan prevalensi tengkes hingga 14 persen pada 2024 dapat terwujud jika semua pihak berkolaborasi. Pihaknya, misalnya, telah membentuk tim pendamping keluarga (TPK) yang bertugas mengedukasi masyarakat hingga skrining kasus stunting.
Ketika hamil, harus dipastikan gizinya cukup sampai makanan tambahan.
Tim tersebut menyasar tiga kelompok, yakni calon pengantin, ibu hamil, dan keluarga yang punya anak di bawah usia 2 tahun. ”Ketiga kelompok ini berisiko jadi stunting. TPK juga diharapkan memfasilitasi pelayanan rujukan dan bantuan sosial untuk mereka,” ujarnya.
Kepala BKKBN Jabar Wahidin menambahkan, upaya penurunan kasus tengkes, antara lain, melalui pendampingan calon pengantin dan pengecekan kesehatan tiga bulan sebelum menikah. ”Ketika hamil, harus dipastikan gizinya cukup sampai makanan tambahan,” katanya.
Bupati Kuningan Acep Purnama berkomitmen mendukung penurunan kasus tengkes. Pihaknya, misalnya, bekerja sama dengan Komando Resor Militer 063/Sunan Gunung Jati membentuk bapak asuh untuk anak yang menderita tengkes. Program ini membantu pemenuhan gizi anak.
Sementara Ridwan Kamil mengajak semua pihak berkolaborasi menurunkan kasus tengkes. ”Kalau stunting tidak diberantas sekarang, golongan stunting ini pada 2045 akan mendominasi generasi mudanya yang gagal tumbuh fisiknya dan gagal bersaing,” ucapnya.