Perlindungan anak dari kekerasan, termasuk perundungan, mesti menjadi perhatian serius. Sayangnya, perundungan masih belum dianggap masalah serius dan sekadar candaan di kalangan anak-anak.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perlindungan anak dari kekerasan, termasuk perundungan, harus menjadi komitmen dan aksi serius oleh pemerintah dan masyarakat. Karena itu, pemerintah perlu melibatkan perempuan sebagai ujung tombak dalam pembentukan satuan tugas perlindungan anak di lingkungan tempat tinggal mereka.
Komunitas Obrolan Perempuan Tangguh (OPEReT), di Jakarta, Rabu (27/7/2022), menyampaikan keprihatinan masih ada pejabat publik atau pemegang kebijakan yang menunjukkan pemahaman bahwa perundungan bukan hal yang perlu dibesar-besarkan serta merupakan kewajaran di kalangan anak-anak dan pelaku orang dewasa.
”Kami komunitas perempuan yang bergabung mengajak kita yang berkesadaran akan pentingnya perlindungan anak untuk bersama-sama bergerak. Kekerasan pada anak, apalagi dengan pelaku anak, korban dan pelaku sama-sama korban. Perlindungan anak harus menjadi tanggung jawab kita semua,” kata Koordinator OPEReT Lovely B.
Menurut Lovely, OPEReT tengah menyusun kampanye ”Bullying Stop with Me” dalam rangka menuju Kongres Perempuan Tangguh pertama pada 22 Desember 2022. Sampai saat ini ada 400 perempuan yang bergabung untuk saling mendukung dalam menyiasati kehidupan sehari-hari, termasuk membangun kepedulian pada masalah perlindungan anak.
Apalagi kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat dari tahun ke tahun. Fakta korban enggan melapor karena takut dan bahkan tidak tahu harus menuju ke mana menunjukkan lumpuh dan tak berfungsinya semua perangkat dan kebijakan yang dibuat. Kelemahan penegakan ini menjadi masuk akal jika menelaah dan menganalisis pernyataan pejabat publik atas kasus perundungan yang bahkan sudah berujung pada kematian.
Data sampai tanggal 1 Januari 2022 di laman https://kekerasan.kemenpppa.go.id/ringkasan mencatat ada 13.106 kasus dengan 2.103 korban laki-laki dan 12.119 korban perempuan. Tiga kekerasan teratas yang dialami adalah kekerasan seksual (5.614), kekerasan psikis (4.377), dan kekerasan fisik (4.435).
Kekerasan pada anak, apalagi dengan pelaku anak, korban dan pelaku sama-sama korban. Perlindungan anak harus menjadi tanggung jawab kita semua.
Adapun data yang dikumpulkan oleh databoks.katadata.co.id pada 2020 terdapat 76,54 persen korban tidak melapor ke kepolisian. Menurut survei Indonesia Justice Research Society yang dilakukan kepada 1.586 orang tentang alasan korban tidak melapor, ditemukan 33,5 persen menyatakan karena takut, 29 persen karena malu, 23,5 persen tidak tahu harus melapor ke mana, dan 18,5 persen karena merasa bersalah.
Lovely mengungkapkan, kasus kematian anak usia SD di Tasikmalaya karena stres akibat perundungan yang dilakukan oleh tiga anak usia SMP menyita perhatian masyarakat. Banyak tokoh berpendapat, banyak kelompok latah untuk mendiskusikan kembali pencegahan perundungan dan pencegahan atas kekerasan pada anak.
Lovely mengatakan, pihaknya menyayangkan masih ada pejabat publik yang dinilai tidak sensitif terhadap keluarga korban. Salah seorang pejabat publik di Jawa Barat menganggap perundungan sebagai candaan yang biasa di kalangan anak-anak. ”Kami mengutuk keras dan meminta agar pejabat publik terkait mengundurkan diri dari jabatannya karena melukai para korban, keluarga korban, dan pekerja perlindungan anak di seluruh Indonesia,” kata Lovely.
”Kami meminta pemerintah menunjukkan komitmen politik serta menegakkan aturan perlindungan anak dan menyertakan perempuan sebagai ujung tombak pembentukan satuan tugas perlindungan anak di lingkungan tempat tinggal mereka.
Dosa besar pendidikan
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hendarman menegaskan, pihaknya mengecam segala bentuk perundungan fisik dan psikis karena berdampak negatif terhadap upaya mewujudkan sumber daya manusia unggul. ”Lingkungan belajar yang bebas dari tiga dosa besar pendidikan, yaitu perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual, menjadi syarat terselenggaranya pembelajaran berkualitas,” ujarnya.
Menurut Hendarman, semangat memerangi tiga dosa besar pendidikan bersifat inklusif tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, suku, agama, ras, dan identitas sosial lainnya di masyarakat. Komitmen Kemendikbudristek terus dilakukan melalui beberapa instrumen kebijakan yang sudah diluncurkan dan sedang dirumuskan.
Melalui Asesmen Nasional, ujar Hendarman, Kemendikbudristek melakukan survei karakter dan iklim lingkungan belajar. Hasilnya tersedia di dalam Rapor Pendidikan yang dapat digunakan untuk perencanaan berbasis data oleh satuan pendidikan, pemerintah daerah, dan pusat sebagai upaya mewujudkan sekolah yang aman dan nyaman bagi semua.
Sementara itu, fasilitator Sekolah Ramah Anak (SRA), Yanti Sri Yulianti, mengingatkan komitmen pemerintah, pemerintah daerah, dan semua pihak untuk mewujdukan SRA yang melindungi hak-hak anak. Di dunia pendidikan, anak-anak tidak boleh mendapat diskriminasi dan kekerasan dalam bentuk apa pun. Selain itu, anak-anak harus didengarkan dan diberikan ruang untuk berpartisipasi aktif.