Negara-negara anggota G20 didorong untuk bisa menghasilkan kebijakan berbasis bukti ilmiah. Data ilmiah dapat menjadi dasar kebijakan untuk menghadapi tantangan global di masa kini dan masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
KOMPAS/DEONISIA ARLINTA
Ketua Science20 dalam presidensi G20 Indonesia yang juga Ketua AIPI, Satryo Soemantri Brodjonegoro (kiri), dalam acara pra-KTT S20 yang diadakan di Jakarta, Rabu (27/7/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Akademisi dan ilmuwan yang tergabung dalam Science20 atau S20 mendorong para pemimpin negara G20 untuk merumuskan kebijakan berbasis bukti ilmiah. Sejumlah rekomendasi pun telah diusulkan untuk mengatasi tantangan global di masa kini dan masa depan.
Ketua S20 dalam presidensi G20 Indonesia yang juga Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, mengatakan, semua negara anggota G20 perlu memperkuat kolaborasi dalam mengatasi berbagai tantangan terkait kesehatan dan perubahan iklim di masa depan. Pemanfaatan teknologi yang tepat bisa menjadi cara untuk mengatasinya.
”Komunitas S20 ingin membawa pertimbangan saintifik sebagai dasar untuk mengatasi tantangan di masa kini dan masa depan di tingkat global. Diharapkan rekomendasi yang diusulkan kepada pemerintah G20 dapat mendukung tercapainya pembangunan yang berkelanjutan,” tuturnya dalam pertemuan pra-KTT S20 yang diikuti secara daring dari Jakarta, Rabu (27/7/2022).
Setidaknya ada lima isu prioritas yang menjadi rekomendasi, meliputi pembangunan sistem kesehatan yang tangguh, peningkatan kapasitas adaptif sistem kesehatan dan perubahan iklim, penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi multidisiplin untuk kesiapsiagaan pandemi dan perubahan iklim. Kemudian, penjaminan masyarakat sebagai pusat kebijakan serta memperkuat hubungan antara data, penelitian, dan kebijakan untuk perubahan iklim, kesiapsiagaan pandemi, dan pemulihan ekonomi.
ROBERTUS RONY SETIAWAN
Diskusi dalam kunjungan pengurus baru AIPI di Menara Kompas, Jakarta, Kamis (20/9/2018).
Satryo mengatakan, perubahan iklim dan pandemi Covid-19 merupakan ancaman yang harus diantisipasi. Berbagai konsekuensi yang tidak terduga telah terjadi. Untuk itu, upaya adaptasi dan mitigasi terhadap segala ancaman tersebut perlu dipersiapkan dengan baik.
Dalam pembangunan ekonomi pascapandemi Covid-19, kegiatan ekonomi yang berkelanjutan patut menjadi pertimbangan, terutama bagi negara-negara anggota G20. Transisi hijau dapat diterapkan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim dan krisis lingkungan.
Satryo menambahkan, hal tersebut juga sejalan dengan tiga pilar utama yang dibahas dalam presidensi G20 Indonesia, yakni arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi. ”G20 pun perlu memperkuat kemampuan negara anggota untuk menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai dasar bukti dalam pembuatan keputusan dan kebijakan,” katanya.
Perwakilan dari Australian Academy of Science, Frances Separovic, menyampaikan, pandemi Covid-19 telah membuktikan bahwa kerja sama ilmiah berperan penting untuk memerangi dampak virus penyebab Covid-19. Lewat ilmu pengetahuan pula informasi yang tepercaya bisa didapatkan masyarakat luas untuk mengatasi pandemi.
AFP/JALAA MAREY
Ilmuwan Israel bekerja di laboratorium MIGAL Research Institute di Kiryat Shmona, Israel, Minggu (1/3/2020). MIGAL adalah salah satu lembaga yang mengembangkan vaksin untuk Covid-19.
Komunitas S20 ingin membawa pertimbangan saintifik sebagai dasar untuk mengatasi tantangan di masa kini dan masa depan di tingkat global.
Sejak awal pandemi terjadi, para ilmuwan dan akademisi secara rutin berdiskusi secara terbuka mengenai ilmu pengetahuan dan dampak terkini dari Covid-19. Hal ini disampaikan lewat berbagai media agar mudah diakses masyarakat. Pemahaman masyarakat pun menjadi lebih baik dengan pengetahuan yang berbasis bukti ilmiah.
”Kerja sama global dan perumusan kebijakan berbasis bukti juga sangat penting untuk memastikan pemulihan ekonomi yang cepat setelah pandemi Covid-19. Setiap negara perlu bekerja sama dan membangun respons global untuk menjawab tantangan ke depan,” kata Frances.