Kebijakan merestorasi mangrove menjadi pil pahit yang memang harus ditelan sebagai konsekuensi atas berbagai aktivitas manusia yang sebelumnya telah merusaknya. Restorasi ibarat obat untuk menyembuhkan fungsi mangrove.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Kawasan hutan mangrove di pesisir Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu (24/7/2022).
Selama satu setengah tahun Badan Restorasi Gambut dan Mangrove, lembaga pemerintah yang melanjutkan tugas Badan Restorasi Gambut, berupaya mencapai target rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi. Namun, mangrove yang tersisa masih terus mengalami tekanan.
Merestorasi atau memperbaiki ekosistem mangrove yang telanjur rusak tentu saja tak mudah dan tak murah. Menanam di area yang berada di antara daratan dan laut itu punya beragam risiko, berbiaya tinggi, dan tentu butuh kesabaran serta ketelatenan.
Sebagai bayangan biaya tinggi itu setidaknya tergambar dalam dokumen Proyek Mangrove untuk Ketahanan Masyarakat di Kawasan Pesisir Indonesia (M4CR) Rencana Pelibatan Pemangku Kepentingan, Februari 2022. Kegiatan M4CR yang dibiayai Bank Dunia dan dijalankan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan serta Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) ini senilai 419 juta dollar AS (dengan kurs Rp 15.000 nilainya sekitar Rp 6,3 triliun) yang akan dibiayai melalui Investment Project Financing (IPF) dalam bentuk pinjaman dan hibah. Hal ini baru bisa membiayai sebagian dari target total luasan restorasi mangrove.
Kebijakan merestorasi mangrove menjadi pil pahit yang memang harus ditelan sebagai konsekuensi atas berbagai aktivitas manusia yang telah merusaknya. Disebut pil pahit karena upaya restorasi ibarat obat yang diharapkan menyembuhkan ekosistem yang sedang sakit. Ketika ekosistem sembuh, manusia dan biodiversitas yang bergantung hidup di dalamnya bisa mengambil manfaatnya.
Selain itu, mangrove muda butuh waktu bertahun-tahun untuk membentuk ekosistem dan bisa berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Berdasarkan pemetaan mangrove nasional tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat ada 3.364.080 juta hektar mangrove dengan berbagai tingkatan kondisi di Indonesia. Ini masih mencatatkan Indonesia sebagai habitat mangrove terluas di dunia.
Selain itu, ada luas potensi habitat mangrove seluas 756.183 hektar yang masih berupa area terabrasi, lahan terbuka, tambak, dan tanah timbul. Area tambak mencapai lebih dari 80 persen dari luas potensi itu.
Euforia tambak di masa lalu tercatat pernah menghabisi hutan mangrove di pantai utara Jawa. Apabila luas potensi itu dimanfaatkan alias bisa ditanami dan dikembalikan lagi fungsinya sebagai habitat mangrove, luas mangrove Indonesia bisa mencapai lebih dari 4,1 juta hektar.
Upaya memperbaiki kondisi mangrove pada tambak bisa dilakukan menggunakan sistem silvofishery. Hal ini relatif minim konflik sosial dan ekonomi karena tidak perlu menutup usaha tambak.
Dalam artikel di Universitas Padjadjaran, 21 Desember 2015, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Iwang Gumilang, menjelaskan ideal lokasi tambak 100-150 meter dari bibir pantai. Di jarak tersebut ditanam kembali tanaman mangrove sebagai sabuk hijau.
Keberadaan sabuk hijau ini selain melindungi tambak dari abrasi juga berfungsi untuk menyaring air. Selain itu, secara prinsip ekosistem mangrove menghasilkan zat-zat nutrien yang menyuburkan perairan laut. Ini bermanfaat bagi kualitas dan kuantitas ikan, udang, atau kepiting budidaya.
Sistem silvofishery ini bisa jadi dikembangkan sebagai wisata mangrove dengan suasana lain. Hal ini akan melengkapi alternatif wisata mangrove pada umumnya yang banyak bermunculan di berbagai daerah.
Menurut riset di PLOS Biology, 24 Februari 2015, nilai ekonomi kawasan konservasi dan isinya secara umum di dunia mencapai 600 miliar dollar AS. Sementara riset terbaru oleh Akademi Sains Malaysia yang dipublikasikan 15 Juni 2022 menyebutkan, perlindungan alam di wilayah Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja senilai 2,19 triliun dollar AS.
Perubahan iklim
Di sisi lain, sudah banyak riset yang menunjukkan mangrove merupakan penyimpan karbon penting di dunia bersama gambut yang sama-sama merupakan ekosistem lahan basah. Pada bagian tanah/substratnya, mangrove mencengkeram cadangan karbon lima kali lipat dibandingkan hutan hujan tropis sekalipun (Kompas, 2/5/2014). Stok karbon yang bisa lebih dari 1.000 ton per hektar itu tersimpan di tanah dalam kurun waktu panjang dengan aman sepanjang tak dirusak oleh manusia.
Meski memegang mitigasi perubahan iklim sangat penting di Indonesia, buku Rencana Operasional Indonesia’s FoLU Net Sink 2030 menyebutkan kapasitas mangrove itu belum diperhitungkan baik di dalam komitmen penurunan emisi Indonesia (NDC) dan Strategi Jangka Panjang Rendah Karbon dan Ketahanan Iklim (LTS-LCCR) 2050 Indonesia.
Mangrove masuk dalam target penurunan gas rumah kaca nasional pada kategori lahan basah yang lebih pada tutupan atasnya, bukan di bagian tanahnya. Padahal, bagian tanah ini memiliki cadangan karbon jauh lebih tinggi dibandingkan tutupan bagian atasnya seperti pada batang, ranting, dan daunnya.
Potensi besar mangrove ini pun bisa menjadi pengungkit capaian Indonesia dalam komitmen penyerapan karbon bersih dari sektor hutan dan penggunaan lahan lain (FoLU Net Sink) 2030. Dalam komitmen itu Indonesia menargetkan pada tahun 2030 tingkat serapan emisi sudah lebih tinggi dari pelepasannya, yaitu sekitar 140 juta ton setara karbon dioksida. Pelepasan emisi ini bisa ditekan dengan melindungi mangrove tersisa.
Pada Hari Mangrove Sedunia 26 Juli kemarin, patutlah kita mengapresiasi pilihan kebijakan untuk merestorasi 600.000 hektar atau 150.000 hektar mangrove per tahun hingga akhir Desember 2024. Namun, mirisnya, masih ada ancaman deforestasi 52.000 hektar mangrove per tahun.
Hilangnya benteng perlindungan pesisir ini akibat tergusur oleh berbagai pembangunan ekstraktif, seperti perikanan, properti dan industri, serta pertambangan dan perkebunan. Belum lagi ancaman sampah plastik yang menjejali dan tersangkut pada akar-akar dan ranting mangrove.
Padahal, mangrove berusia tua yang telah membentuk ekosistem maupun menyimpan karbon sangat tinggi. Perlindungan mangrove tersisa menjadi penting. Dengan segala tantangan dan kondisi alam, penanaman mangrove punya risiko kegagalan. Selain itu, mangrove muda butuh waktu bertahun-tahun untuk membentuk ekosistem dan bisa berfungsi sebagai penyimpan karbon.
Mangrove bisa menjadi kartu truf atau penentu penting dalam mitigasi iklim. Selain itu, keberadaannya memiliki segudang manfaat fungsi ekologinya seperti menjadi ruang hidup mempertahankan keanekaragaman hayati, menahan abrasi, dan tempat hidup dan pembesaran bagi produk perikanan komersial, termasuk udang dan kepiting.
Melindungi mangrove berarti menahan Bumi tidak semakin panas sekaligus memberi ruang aman bagi pesisir dan manfaat ekonomi bagi warganya.