Dana Perantara Keuangan Diharapkan Pangkas Ketimpangan Akses Kesehatan
C20 mendorong pengelolaan Dana Perantara Keuangan (FIF) melibatkan organisasi masyarakat sipil. Dana tersebut diharapkan tidak hanya digunakan untuk mengatasi pandemi, tetapi juga memangkas ketimpangan akses kesehatan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Forum Civil 20 mendorong pengelolaan platform Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF) melibatkan organisasi masyarakat sipil. Dana tersebut diharapkan tidak hanya digunakan untuk mengatasi pandemi, tetapi juga memangkas ketimpangan akses kesehatan secara global.
Pembentukan FIF telah disepakati negara-negara G20 sebagai pembiayaan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan penanganan pandemi masa depan. Indonesia berkomitmen berkontribusi 50 juta dollar AS.
Sherpa Forum Civil (C20) Indonesia Ah Maftuchan inisiatif FIF menunjukkan kesadaran penanganan pandemi tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi membutuhkan kontribusi global. Namun, pengelolaannya tetap perlu diawasi agar dampaknya berkeadilan.
”Agar niat baik ini juga berdampak baik, kami mengusulkan agar secara kelembagaan ada organisasi masyarakat sipil yang dilibatkan dalam pengelolaan FIF. Baik itu sebagai pengawas ataupun pemantau,” ujarnya dalam diskusi bersama ”Mengurangi Risiko melalui Perlindungan Sosial Adaptif: Jalan Menuju Komunitas Global yang Tangguh”, di Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Menurut Maftuchan, keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam inisiatif global bidang kesehatan bukanlah hal baru. Beberapa di antaranya terlibat dalam pengawasan akses vaksin dan pengendalian penyakit, seperti tuberkulosis.
Maftuchan mengatakan, komitmen pendanaan global harus berkelanjutan. Selain itu, dalam jangka panjang, cakupannya tidak hanya menyasar negara G20, tetapi semua negara di dunia.
Ia mencontohkan ketimpangan vaksinasi menjadi salah satu penyebab pandemi Covid-19 sulit dikendalikan. Sebab, saat cakupan vaksin dosis lengkap di negara maju sudah di atas 90 persen, di sejumlah negara, seperti Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Selatan justru masih di bawah 50 persen.
Inisiatif FIF menunjukkan kesadaran penanganan pandemi tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi membutuhkan kontribusi global. Namun, pengelolaannya tetap perlu diawasi agar dampaknya berkeadilan.
C20 mendorong FIF juga digunakan untuk mengatasi keterbatasan akses kesehatan, terutama di negara-negara berkembang. Menurut Maftuchan, pemerataan akses kesehatan akan mendukung penanganan pandemi dan pengendalian penyakit di masa mendatang.
”Bagaimana bisa mengatasi pandemi tanpa membereskan ketimpangan akses kesehatan? Akses kesehatan tersebut, baik untuk penyakit menular maupun tidak menular. Reformasi sistem kesehatan dunia harus diperkuat. Artinya, obat, alat kesehatan, tenaga kesehatan, dan teknologinya jangan sampai tidak merata,” ucapnya.
Maftuchan mengatakan, diskusi C20 dapat melahirkan rekomendasi-rekomendasi untuk menghasilkan kebijakan yang meningkatkan kualitas hidup warga di seluruh dunia. Hasil diskusi tersebut akan disusun dalam draf rekomendasi.
Manajer Advokasi dan Pemasaran Aids Healthcare Foundation (AHF), Nepal, Deepak Dhunge, menuturkan, G20 telah mengesahkan pembentukan FIF di bawah Bank Dunia. FIF bertujuan meningkatkan investasi berkelanjutan terkait respons dan kesiapsiagaan pandemi global.
Pengelolaan FIF mesti mengedepankan kepentingan warga dunia. Oleh sebab itu, pengawasan menjadi faktor penting agar tujuan pembentukan dana perantara itu tidak berujung pada kegagalan.
”Jadi, pastikan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Dengan begitu, semua organisasi sipil bisa berkontribusi dalam perencanaan dan proses pengambilan keputusan,” katanya.
Periset The George Institute for Global Health, India, Pallab Maulik, mengatakan, tujuan pembangunan berkelanjutan, termasuk dalam aspek kesehatan, membutuhkan penelitian dan perencanaan yang matang. Kesenjangan pengobatan, dalam kesehatan mental, misalnya, masih belum teratasi.
”Kurangnya sumber daya manusia untuk pelayanan depresi dikarenakan sektor pendanaan yang sangat rendah. Hal ini juga dipengaruhi tidak tersedianya obat-obatan serta pemantauan dan evaluasi yang buruk,” ujarnya.