Perang Ukraina-Rusia Ganggu Pengembangan Satelit Satria-1
Perang Ukraina-Rusia menghambat produksi komponen dan pengiriman satelit Satria-1. Namun, produsen satelit dan pemerintah optimistis satelit bisa meluncur pada pertengahan 2023 dan beroperasi pada akhir 2023.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
THALES ALENIA SPACE
Ilustrasi Satelit Republik Indonesia (Satria) 1 yang diproduksi oleh Thales Alenia Space dan menurut rencana akan diluncurkan dengan roket SpaceX pada pertengahan 2023.
LOS ANGELES, KOMPAS — Perang antara Rusia dan Ukraina berdampak luas pada banyak hal, termasuk proses produksi dan pengiriman Satelit Republik Indonesia atau Satria-1. Meski demikian, pemerintah tetap yakin satelit khusus internet terbesar kelima di dunia itu bisa diluncurkan pada pertengahan 2023 dan bisa beroperasi pada akhir 2023.
Perang Ukraina-Rusia memicu kelangkaan pasokan energi di Jerman. Akibatnya, produksi sejumlah komponen satelit yang diproduksi pabrik elektronik di negara tersebut ikut terganggu. Persoalan ini merembet pada terganggunya penyediaan komponen satelit secara keseluruhan. Alhasil, proses produksi satelit turut tersendat.
”Komponen pembuatan satelit tidak dihasilkan oleh satu negara saja. Banyak negara Eropa terlibat, termasuk Rusia dan Ukraina,” kata Direktur Utama Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informatika (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Anang Achmad Latif di Konsulat Jenderal RI di Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (24/7/2022) jelang tengah malam waktu setempat atau Senin (25/7/2022) siang waktu Jakarta.
Akibatnya, saat salah satu pabrik elektronik penyumbang komponen satelit tidak berproduksi, hal ini mengakibatkan proses produksi satelit yang terjadwal dengan ketat ikut terganggu.
Kalau mundur satu minggu saja dari jadwal yang ditetapkan untuk peluncuran, maka harus mengantre lagi dari awal. (Anang Achmad Latif)
Selain itu, perang Ukraina-Rusia juga mengganggu proses pengiriman satelit Satria 1 dari pabrik Thales Alenia Space (TAS) di Perancis selatan untuk digabungkan dengan satelit peluncurnya di Cape Canaveral, Florida, AS. Integrasi harus dilakukan di AS karena pemerintah telah memilih SpaceX sebagai perusahaan yang akan meluncurkan Satria-1 ke orbitnya.
Proses pengiriman satelit dengan orbit geostasioner yang berukuran besar itu biasanya menggunakan pesawat Antonov. Pemilik pesawat jenis ini yaitu Rusia dan Ukraina. Namun, perang membuat pesawat Antonov yang dimiliki kedua negara tersebut tidak dapat beroperasi.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pesawat Antonov An-124-100 dibuka moncongnya untuk memasukkan barang yang akan diangkut di Bandara Internasional Yogyakarta, Temon, Kulon Progo, DI Yogyakarta, Rabu (10/3/2021). Pesawat itu mendarat di bandara tersebut untuk mengangkut komoditas ekspor berupa kabel sebanyak 216 koli dengan berat total 61.828 kilogram untuk dikirim ke Amerika Serikat.
Untuk itu, pemerintah dan TAS berupaya mencari pengiriman alternatif, salah satunya dengan menggunakan kapal laut. Proses pengiriman via laut itu akan memakan waktu sekitar tiga minggu, jauh lebih lambat jika menggunakan Antonov yang hanya perlu sekitar satu minggu. Meski lebih lama, kedua pihak bersepakat untuk mengirimkan satelit tersebut sesuai waktu peluncuran yang dijadwalkan.
”Ada antrean panjang peluncuran satelit. Kalau mundur satu minggu saja dari jadwal yang ditetapkan untuk peluncuran, maka harus mengantre lagi dari awal,” ucap Anang. Sebab, untuk setiap jadwal peluncuran sudah ditetapkan satelit-satelit apa saja yang akan diluncurkan. Karena itu, terhambatnya jadwal peluncuran satu satelit bisa berdampak panjang bagi peluncuran satelit tersebut di masa depan.
Persoalan cuaca juga bisa menjadi hambatan peluncuran. Perubahan sedikit kekencangan angin saat satelit akan diluncurkan bisa membuat peluncuran satelit tertunda untuk waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Jika dipaksa diluncurkan, satelit bisa melenceng dari posisi yang sudah ditentukan dan berdampak panjang pada berkurangnya masa hidup satelit, bahkan hilangnya satelit.
Kebutuhan
Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemenkominfo Ismail mengatakan, satelit Satria 1 merupakan bagian dari ikhtiar Indonesia untuk memenuhi kebutuhan kapasitas pita lebar nasional yang mencapai 1 terabit per detik (Tbps). Namun, saat ini baru 50-60 persen kebutuhan itu yang terpenuhi.
Sebagai negara kepulauan dengan penduduk yang terpencar dan wilayah luas, kebutuhan pita lebar nasional itu tidak mungkin hanya dipenuhi melalui jaringan serat optik yang ada. Ke depan, wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) juga harus terjangkau internet dengan konektivitas memadai, bukan sekadar ada internet.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemerintah mengandalkan pada sejumlah satelit yang menyediakan layanan internet. Satelit yang akan digunakan itu, antara lain, Satria-1 dan Satria-2 yang masing-masing berkapasitas 150 gigabit per detik (Gbps). Satelit Satria-2 diperkirakan meluncur pada 2025 dan akan menjadi penopang Satria-1 jika bermasalah.
Selain itu, pemerintah juga telah memperoleh komitmen penyediaan kapasitas pita lebar sebesar 50 Gbps dari sembilan satelit asing. Ada juga pita lebar yang disediakan sejumlah perusahaan satelit nasional, seperti PT Telkomsat dan PT Pasifik Satelit Nusantara.
”Pemenuhuan kebutuhan kapasitas broadband (pita lebar) membutuhkan anggaran yang besar. Karena anggaran terbatas, maka kekurangan kapasitas broadband itu akan dipenuhi secara bertahap,” kata Ismail.
Pengembangan Satria-1, tambah Anang, mulai dilakukan pada awal pandemi 2020. Saat ini, proses produksinya sudah mencapai 65 persen dari target yang ditentukan. Kapasitas satelit yang mencapai 150 Gbps itu diklaim sebagai satelit pertama di Asia dan kelima di dunia yang memiliki kapasitas pita lebar sangat besar.
”Satelit ini akan menjadi percontohan banyak negara bagaimana Pemerintah Indonesia menyelesaikan persoalan konektivitas di negara kepulauan,” katanya.
Satelit ini ditargetkan mampu menjangkau 150.000 titik layanan publik pemerintah di seluruh Indonesia. Layanan publik itu, antara lain, 93.900 sekolah dan pesantren; 47.900 kantor desa, kelurahan, kecamatan dan kantor pemerintah daerah lain; 3.700 puskesmas dan rumah sakit; 3.900 layanan keamanan di daerah 3T; serta 600 titik layanan publik lainnya.
Proyek Satria-1 dan Satria-2 ini akan melengkapi infrastruktur komunikasi pemerintah. Upaya ini juga merupakan langkah pemerintah melakukan transformasi digital secara besar-besaran hingga mampu menghubungkan masyarakat yang selama ini tidak terhubung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.