Transpuan, Tak Sejiwa Raga
Transpuan adalah orang yang punya jenis kelamin laki-laki, tetapi identitas jendernya perempuan. Kondisi itu menimbulkan tekanan psikologis besar sehingga transpuan perlu dibantu agar bisa menemukan identitas jendernya.
Tidak ada orang yang ingin lahir sebagai transpuan, orang yang memiliki jenis kelamin laki-laki, tetapi mengidentifikasikan dirinya sebagai perempuan. Ketidaksesuaian antara kondisi jiwa dan raga itu membuat mereka tidak hanya tak nyaman dan menghadapi berbagai persoalan mental, tetapi juga sering distigmatisasi dan didiskriminasi masyarakat.
Sejak lama, transpuan ada di sekitar kita. Mereka biasanya ada di jalanan, perkampungan, atau acara-acara hiburan. Mereka ada, tetapi sering dianggap tidak ada. Tampilan visual mereka yang kentara dibanding umum masyarakat, baik dalam dandanan maupun tingkah laku, membuat mereka mudah disorot dan mendapat perlakuan tidak adil.
Transpuan adalah bagian dari transjender, yaitu orang yang identitas jender, ekspresi jender dan perilakunya tidak sama dengan jenis kelaminnya saat lahir. Mereka yang jenis kelaminnya laki-laki tetapi identitas jendernya perempuan disebut sebagai transpuan. Sebaliknya, yang berkelamin perempuan tetapi identitas jendernya laki-laki disebut transpria.
Studi terhadap sejumlah transpuan berumur 55-67 tahun oleh psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Lita Widyo Hastuti, menunjukkan, transpuan umumnya sudah merasakan dirinya berbeda sejak masih kecil saat dia sudah bisa mengingat.
Penjelasan tentang penyebab itu tidak bisa didapat hanya berdasar testimoni atau pendapat subyektif beberapa transjender saja karena tidak setiap orang sungguh-sungguh mengenali dirinya. (Lita Widyo Hastuti)
Di masa kanak-kanak itu, mereka lebih suka bermain dengan teman perempuan, menyenangi aktivitas yang biasa dilakukan anak perempuan, serta lebih gemar dengan permainan yang lembut. Tekanan lingkungan umumnya belum terlalu muncul. Menjelang remaja, cara mereka mengekspresikan diri makin feminin dan umumnya tertarik secara seksual kepada laki-laki.
Saat masih balita, tekanan lingkungan terhadap mereka hampir tidak ada. Menjelang usia remaja, resistensi dan penolakan mulai bermunculan dari teman, guru, lingkungan, bahkan orangtua. Sebagian orangtua mencoba menerima anaknya. Namun, terbatasnya pemahaman membuat upaya itu tidak mudah.
”Mereka yang tidak mendapat penolakan adalah yang memiliki prestasi, baik akademik maupun non-akademik, atau memiliki talenta khusus, sehingga dibutuhkan teman atau sekolah. Mereka yang memiliki potensi itu umumnya aman dari perundungan,” katanya, Senin (18/7/2022).
Masa remaja adalah masa berat bagi remaja transjender dibanding teman-teman mereka yang cisjender, yaitu tidak ada beda antara jenis kelamin dan identitas jendernya. Bukan hanya soal mencari jati diri, remaja transjender juga mengalami pergolakan hebat dengan identitas jendernya atau mengapa mereka tidak tertarik dengan lawan jenisnya.
Bingung, malu, marah, dan berbagai perasaan tidak nyaman lain membuat masa remaja mereka menjadi penuh tekanan. Akibatnya, fase remaja transjender itu umumnya berakhir pada usia 20 tahun, lebih lambat dibanding fase remaja cisjender yang selesai pada umur 17 tahun.
Di sisi lain, kekerasan, stigma, dan diskriminasi dari lingkungan sudah mereka rasakan. Keunikan dan identitas ketubuhannya membuat mereka, terutama yang tidak berprestasi, sering mendapat perlakuan tidak sepantasnya dari lingkungan. Tekanan dan penolakan itu akhirnya membuat banyak remaja transpuan lari dari rumah dan sekolah.
Pendidikan rendah, tidak punya keterampilan, dan lemahnya dukungan keluarga membuat banyak transpuan harus bertahan hidup di jalanan, terutama mengamen dan menjadi pekerja seks. Pekerjaan yang tak memiliki jaminan dan perlindungan membuat kesejahteraan mereka rendah. Hari tua pun mereka lalui dalam kemiskinan, kesepian, dan deraan berbagai penyakit.
Lita menjelaskan, tidak mudah menentukan penyebab yang membuat seseorang menjadi transjender. Yang pasti, tidak ada penyebab tunggal yang membuat seseorang memiliki identitas jender berbeda dengan jenis kelaminnya. American Psychiatric Association menyebut, penjelasan sederhana atau penyatuan penyebab tersebut tidak akan cukup menjelaskan beragamnya ekspresi dan pengalaman transjender.
Banyak ahli percaya faktor biologis seperti pengaruh genetik dan kadar hormon selama dalam kandungan memengaruhi identitas jender mereka. Ada juga studi tentang pengalaman masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa yang bisa membuat seseorang menjadi transjender. Demikian pula soal pola asuh.
Namun, pengalaman traumatis yang sering dijadikan alasan seseorang menjadi transjender, seperti kurang kasih sayang ayah, semua saudara perempuan, atau suka memakai pakaian perempuan saat anak-anak, sejatinya juga dialami cisjender. Namun, mereka tetap bisa memiliki identitas jender sesuai kelaminnya, tidak seperti yang dialami transjender.
Baca juga : Melawan Diskriminasi, Memberdayakan Transpuan dengan Salon Kecantikan
”Semua upaya menjelaskan penyebab transjender itu masih mengandung banyak pertanyaan. Penjelasan tentang penyebab itu tidak bisa didapat hanya berdasar testimoni atau pendapat subyektif beberapa transjender saja karena tidak setiap orang sungguh-sungguh mengenali dirinya,” katanya.
Bukan penyakit
Penjelasan yang kompleks itu tentu sulit diterima masyarakat yang terbiasa memandang segala sesuatu dari dua kutub, benar dan salah. Menjelaskan bahwa transjender itu adalah soal identitas jender, bukan tentang gangguan atau penyimpangan seksual pun masih sulit. Bahkan, pembuat peraturan daerah juga masih rancu soal tersebut.
Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual masih mengelompokkan transpuan sebagai perilaku penyimpangan seksual. Transpuan yang dalam aturan itu disebut waria disamakan dengan perilaku seksual tidak normal atau parafilia, seperti ekshibisionisme, fetisisme, pedofilia, sadisme seksual, dan nekrofilia.
Parafilia tidak hanya penyimpangan perilaku seksual, tetapi juga tindakan kriminal. Karena itu, menjadikan penderita parafilia dalam satu kelompok dengan orang yang memiliki identitas jender dan orientasi seksual berbeda seolah menjadikan transpuan sebagai perilaku kriminal. Tindakan ini justru kontraproduktif dengan salah satu tujuan perda yang ingin merehabilitasi transpuan serta bisa tumpang tindih dengan aturan hukum pidana untuk penderita parafilia.
”Transpuan itu soal identitas jender, bukan tentang gangguan atau penyakit,” tegas Lita. Karena bukan gangguan atau penyakit, tidak perlu disembuhkan.
Peneliti psikologi forensik dan dosen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Margaretha, mengatakan, transjender sudah tidak lagi dimasukkan sebagai penyimpangan seksual dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disordes 5 (DSM-5). Berbagai studi menunjukkan transjender tidak bisa lagi dipandang sebagai gangguan.
Hal sama berlaku dalam International Classification of Diseases 11 (ICD-11). Ketidaksesuaian jender juga sudah dipindahkan dari kelompok gangguan mental dan perilaku ke kelompok kondisi yang terkait kesehatan seksual. Memasukkan transjender ke dalam gangguan mental dan perilaku justru meningkatkan stigmatisasi yang akhirnya memperbesar diskriminasi.
Baik DSM yang disusun oleh APA maupun ICD oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sama-sama menjadi acuan dalam penanganan kesehatan jiwa di seluruh dunia, baik psikiater, psikolog, perawat jiwa, maupun pekerja sosial.
Kesehatan mental
Meski tidak termasuk gangguan dan penyakit, DSM-5 dan ICD-11 sama-sama menekankan pentingnya memastikan transjender untuk mengakses layanan kesehatan mental. Transjender umumnya mengalami disforia jender yang membuat mereka tertekan, tidak nyaman, dan tidak puas akibat tidak bisa menerima identitas jender lahirnya. Karena itu, mereka perlu dibantu untuk menemukan jendernya.
”Layanan kesehatan mental bagi transjender itu untuk menurunkan stres atau disforia jender yang dihadapi dan membantu mereka menemukan jendernya, bukan untuk ’menyembuhkannya’ atau mengubah identitas jendernya,” kata Margaretha.
Namun, Margaretha mengakui lemahnya pemahaman masyarakat, termasuk praktisi kesehatan mental, soal orientasi seksual, identitas jender, ekspresi, dan karakteristik seksual (SOGIESC). Membahas isu seksual saja masih tabu di masyarakat, apalagi membahas SOGIESC. Padahal, ilmu pengetahuan tentang seksualitas dan jender makin meluas.
Baca juga : Polisi Tangkap Tiga Pembakar Transpuan di Cilincing
Di sisi lain, menguatnya konservatisme beragama makin meminggirkan usaha-usaha untuk menumbuhkan pemahaman soal seksualitas dan jender. Akibatnya, transpuan yang sejatinya memiliki akar dalam budaya sejumlah suku di Nusantara, sama seperti di kawasan Asia Pasifik lainnya, justru makin terpinggirkan dan terabaikan.
Kuatnya stigmatisasi dan diskriminasi itu membuat transpuan makin menghindar. Akibatnya, transpuan bukan hanya sulit menemukan identitas jendernya, melainkan juga mengalami tekanan mental hebat, tetapi tidak bisa mengakses layanan kesehatan mental. DSM-5 menyebut 30-80 persen transjender memiliki pikiran dan pernah mencoba bunuh diri.
Di sisi lain, transpuan pun perlu beradaptasi dengan norma-norma yang ada di masyarakat. Selama ini, cara sebagian transpuan berdandan dengan segala tingkahnya yang sensual, khususnya transpuan di jalanan, justru mengundang antipati masyarakat. Bahkan, sejumlah orang memiliki ketakutan dan trauma saat berhadapan dengan transpuan.
”Persoalan transpuan perlu didekati secara kolaboratif,” kata Margaretha.
Pemerintah perlu merangkul transpuan karena banyak di antara mereka termasuk penduduk usia produktif yang bisa diberdayakan. Masyarakat pun perlu membuka diri dan menumbuhkan pemahaman yang benar tentang transpuan. Sementara transpuan pun perlu beradaptasi dengan nilai-nilai di masyarakat dan menunjukkan bahwa mereka juga memiliki potensi yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.