Sebanyak 24 Provinsi di Indonesia Memiliki Aturan Atribut Keagamaan
Laporan Human Rights menyatakan, 24 provinsi memiliki peraturan daerah yang mewajibkan atribut keagamaan tertentu pada perempuan. Hal itu dinilai diskriminatif serta mengancam semangat keberagaman dan kebangsaan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
YOLA SASTRA
Suasana belajar di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah. Sebelumnya, orangtua salah seorang siswa non-Muslim di SMK 2 Padang dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan karena putrinya tidak bersedia mengenakan jilbab.
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian besar provinsi di Indonesia menerbitkan dan memberlakukan aturan daerah yang mewajibkan penggunaan atribusi keagamaan tertentu dua dekade terakhir. Akibatnya, jutaan perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial serta ancaman sanksi jika tidak mematuhi aturan tersebut.
Pemerintah daerah mengeluarkan keputusan diskriminatif sebagai perintah eksekutif mulai tahun 2001 di tiga kabupaten, yakni Indramayu dan Tasikmalaya (Jawa Barat) serta Tanah Datar (Sumatera Barat). Peraturan daerah tersebut muncul dan menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir, memaksa jutaan perempuan dan anak perempuan di Indonesia mulai mengenakan atribusi keagamaan tertentu.
Hal itu mengemuka dari laporan Human Rights Watch tentang pelanggaran dalam berbagai peraturan wajib jilbab di Indonesia pada Jumat (22/7/2022). Laporan ini merupakan kelanjutan laporan serupa pada April 2021, I Wanted to Run Away. Kali ini berfokus pada berbagai keputusan gubernur, wali kota dan bupati, yang mewajibkan penggunaan atribut keagamaan tertentu. Peraturan ini berlaku di 24 dari total 34 provinsi di Indonesia.
Direktur Human Rights Watch untuk Asia Elaine Pearson mengatakan, dampak merugikan dari peraturan-peraturan daerah terlihat dalam akun pribadi perempuan Indonesia, seperti siswi, guru, dokter, dan sejenisnya.
Perempuan dan anak perempuan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi jika tak mematuhi aturan. Human Rights Watch mewawancarai lebih dari 100 perempuan yang pernah mengalami pelecehan dan kerap ada konsekuensi jangka panjang karena menolak memakai atribusi keagamaan tertentu. Human Rights Watch mengumpulkan teks peraturan dan memasukkannya sebagai lampiran laporan tahun 2021.
”Keputusan ini merugikan dan sebagai masalah praktis hanya akan diakhiri dengan tindakan pemerintah pusat,” kata Elaine.
Human Rights Watch menilai Kementerian Dalam Negeri Indonesia, yang mengawasi pemerintah daerah, harus membatalkan keputusan daerah tersebut. Lebih dari 60 di antaranya berlaku di seluruh negeri.
Hampir 150.000 sekolah di 24 provinsi di Indonesia kini memberlakukan aturan wajib memakai atribusi keagamaan tertentu berdasarkan peraturan lokal dan nasional. Di beberapa daerah, seperti Aceh dan Sumatera Barat, bahkan gadis non-Muslim pun dipaksa memakai busana muslim.
Para pejabat yang mengeluarkan keputusan itu berpendapat, pemakaian busana muslim merupakan kewajiban bagi perempuan Muslim untuk menutupi bagian tubuh yang intim, yang oleh pejabat dianggap termasuk rambut, lengan, dan kaki, dan kadang juga bentuk tubuh perempuan.
Di setidaknya 24 dari 34 provinsi di negara itu, anak perempuan yang tidak patuh dipaksa meninggalkan sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan. Sementara sejumlah perempuan pegawai negeri sipil, termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen universitas, kehilangan pekerjaan atau merasa terpaksa berhenti karena dinilai tak mematuhi aturan tersebut.
Terkait hal itu, Elaine menyatakan, Pemerintah Indonesia harus mengambil tindakan segera untuk mengakhiri perundungan, intimidasi, dan kekerasan terhadap masyarakat Indonesia yang berani membahas masalah pemaksaan pemakaian atribusi keagamaan tertentu di ruang publik dan menyuarakan keprihatinan bahwa peraturan daerah ini melanggar hak.
”Pemerintah harus menyelidiki setiap insiden dan meminta pertanggungjawaban otoritas yang berwenang agar setiap perempuan dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan,” kata Elaine.
Hukum hak asasi manusia (HAM) internasional menjamin hak untuk secara bebas memanifestasikan keyakinan agama seseorang, kebebasan berekspresi, dan pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan dan anak perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki dan anak laki-laki, termasuk untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan atas hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.
Politisasi agama
Direktur Maarif Institute Abdul Rohim Ghazali menilai, banyaknya peraturan daerah yang mewajibkan perempuan mengenakan atribusi keagamaan tertentu sebagai dampak maraknya politisasi agama. Daerah dengan agama mayoritas, baik Islam, Kristen, maupun agama lain, tidak boleh mendiskriminasi perempuan dengan kewajiban berpakaian sesuai agama mayoritas.
Pemerintah harus menyelidiki setiap insiden dan meminta pertanggungjawaban otoritas yang berwenang agar setiap perempuan dan anak perempuan di Indonesia merasa nyaman untuk berpakaian seperti yang mereka inginkan tanpa takut akan pembalasan.
”Kalau agama masuk dalam kebijakan politik, ya, menimbulkan diskriminasi. Indonesia itu majemuk, satu agama tidak bisa mewakili agama lain. Jangan demokrasi dianggap sebagai suara mayoritas yang harus diutamakan dan diikuti. Tapi, demokrasi harus mengacu pada keadilan dan hak asasi manusia,” kata Abdul.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Buruh gendong tampil dalam kegiatan peragaan busana dengan pakaian kebaya di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Rabu (20/4/2022). Kegiatan yang diikuti 41 perempuan buruh gendong tersebut digelar oleh komunitas Perempuan Berkebaya Yogyakarta untuk menyambut Hari Kartini. Kegiatan ini juga untuk mengampanyekan pelestarian kebaya sebagai salah satu pakaian yang menggambarkan jati diri perempuan Indonesia.
Terkait mewajibkan penggunaan atribusi keagamaan tertentu di banyak sekolah, Ketua Yayasan Cahaya Guru (YCG) Henny Supolo mengatakan, laporan Human Rights Watch tersebut memperlihatkan bahwa tekanan itu sedemikan besar dan luasnya.
”Pertanyaannya, seberapa jauh insan pendidikan menyadari tekanan itu? Mewajibkan, menganjurkan bisa dilihat sebagai pengutamaan agama tertentu yang merupakan sikap diskriminatif. Lebih jauh lagi, imbauan atau anjuran, jika dilakukan oleh kepala sekolah atau guru terhadap siswa, memiliki makna berbeda karena jelas adanya relasi kuasa yang tidak setara,” kata Henny.
Terkait hal itu, YCG yang menjadi teman belajar guru dalam memperkuat pendidikan dengan semangat keberagaman, kemanusiaan, dan kebangsaan, menyikap isu atribusi keagamaan ini secara konsisten.
Sekolah negeri mesti berfungsi sebagai penyemai keragaman bangsa yang utama. Berlainan dengan sekolah swasta yang memiliki target murid tertentu, sekolah negeri terbuka bagi semua anak bangsa. Artinya, peluang untuk belajar dari keragaman selayaknya mudah ditemukan.
Namun, kenyataan di lapangan berbeda. Kebijakan mengenai seragam yang condong pada agama tertentu tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang tertera pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 yang seharusnya tidak diskriminatif, menjunjung HAM, dan kemajemukan bangsa.
Ditolaknya Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri soal seragam/atribut agama di sekolah negeri semestinya tidak perlu membuat niat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi surut, tetapi justru perlu lebih tegas bersikap untuk keragaman bangsa Indonesia. Bisa dimulai dari menyisir ulang seberapa jauh sikap itu tecermin dari berbagai dokumen yang mengikat guru.
Kompetensi dasar di SMA/SMK Pendidikan Agama Islam menyumbang pengutamaan tersebut. Sebagai contoh, pada kompetensi sikap spiritual disebutkan ”terbiasa berpakaian sesuai syariat Islam”, sedangkan pada kompetensi dasar sosial tertulis ”Menunjukkan perilaku berpakaian sesuai syariat Islam”. Sementara pada keterampilan disebutkan ”Menyajikan keutamaan tata cara berpakaian sesuai syariat Islam”.
YOLA SASTRA
Suasana belajar di salah satu kelas SMK 2 Padang, Sumatera Barat, Selasa (26/1/2021). Mulai Selasa, siswa perempuan non-Muslim di sekolah ini i tidak berjilbab ke sekolah karena ada penegasan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa tidak boleh ada pemaksaan siswa mengenakan atribut keagamaan tertentu di sekolah. Sebelumnya, orangtua salah seorang siswa non-Muslim di SMK 2 Padang dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat pernyataan karena putrinya tidak bersedia mengenakan jilbab.
Henny menuturkan, jika ketentuan telah berbunyi sebagaimana tertera di atas, bagaimana mungkin seorang siswa bisa berpikir kritis saat diminta menganalisis ketentuan berpakaian sesuai syariat Islam.
”Padahal, kita tahu bahwa untuk memasuki masa depan, berpikir merdeka dan sikap kritis akan menjadi modal utama. Menghapuskan dokumen yang mudah disalahartikan dan menyempitkan keragaman tafsir sangat penting dilakukan,” kata Henny.
Membaca laporan Human Rigths Watch, lanjut Henny, semua pihak berharap Kemendikbudristek meneruskan langkah yang tepat mengembalikan kemandirian murid perempuan untuk memilih model seragamnya, sebagai bagian dari latihan mengekspresikan kemerdekaannya.