Menimbang Cuti Hamil 6 Bulan
Cuti melahirkan enam bulan bagi pekerja perempuan dan cuti 40 hari mendampingi istri melahirkan bagi suami adalah ide mulia. Namun, budaya Indonesia yang berbeda membuat penerapan kebijakan itu butuh kehati-hatian.
Gagasan memberikan cuti melahirkan enam bulan bagi perempuan pekerja dan cuti mendampingi istri melahirkan 40 hari bagi suami memang mulia. Kebijakan itu memang bisa menurunkan tingkat kematian ibu dan anak. Namun, ide itu juga bisa meningkatkan fertilitas dan kesenjangan kesejahteraan antarperempuan.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak ke pemerintah. Salah satu yang menjadi isu kontroversial dalam RUU tersebut adalah rencana pemberian cuti melahirkan selama enam bulan bagi ibu pekerja dan cuti mendampingi istri melahirkan selama 40 hari bagi ayah pekerja.
Usulan cuti melahirkan enam bulan itu langsung mendapat penolakan dari sebagian perempuan karena dianggap akan membuat mereka makin kalah bersaing dengan pekerja laki-laki. Sebagian pengusaha, termasuk perempuan pengusaha, pun keberatan membayar gaji enam bulan pekerja tanpa ada kontribusi apa pun untuk perusahaan.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang juga dokter spesialis kebidanan dan kandungan Hasto Wardoyo di Jakarta, Selasa (21/6/2022), menilai usulan itu sangat bermanfaat untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) serta angka kematian bayi (AKB) dan anak berumur kurang dari 5 tahun yang masih sangat tinggi di Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam Trends in Maternal Mortality: 2000-2017 yang terbit tahun 2019 menyebut AKI di Indonesia mencapai 177 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara United Nations Inter-agency Group for Child Mortality Estimation 2021 memperkirakan AKB di Indonesia mencapai 20 per 1.000 kelahiran dan angka kematian balita 23 per 1.000 kelahiran.
Padahal, target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Indonesia pada 2030 memiliki AKI 70 per 100.000 kelahiran hidup dan AKB 12 per 1.000 kelahiran. Adapun target angka kematian balita sebesar 25 per 1.000 kelahiran hidup atau sudah terlampaui.
Tingginya kematian ibu dan bayi itu bisa jadi dipicu peliknya kondisi ibu dan anak selama persalinan. Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan 29,5 persen bayi lahir prematur kurang dari 37 minggu, 6,2 persen bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram, dan 22,6 persen bayi lahir dengan panjang kurang dari 48 sentimeter.
Kondisi itu terjadi akibat kegagalan menjaga janin selama 1.000 hari pertama kehidupan. Dampaknya bukan hanya terhadap kematian, yang hidup pun rentan mengalami tengkes (stunting) yang berdampak panjang pada kualitas sumber daya manusia hingga mereka dewasa.
Sulit untuk memastikan suami yang mendapat cuti mendampingi istri melahirkan benar-benar memanfaatkan waktunya untuk membantu istri, bukan untuk bermain gim atau berkumpul bersama teman-teman, khususnya suami muda.
Karena itu, dari aspek kesehatan ibu dan anak itu, Hasto menilai cuti melahirkan enam bulan akan berdampak besar bagi peningkatan kesehatan ibu dan anak, termasuk menekan AKI dan AKB.
Pemulihan
Bukan hanya soal AKI atau AKB, cuti melahirkan enam bulan penting untuk pemulihan kesehatan ibu. Sesudah melahirkan, ibu harus melewati masa nifas selama 42 hari. Ini adalah masa penormalan kondisi ibu yang selama hamil mengalami hemodilusi atau pengenceran darah hingga rentan menderita anemia.
Agar pulih seperti sebelum hamil dan siap mengandung kembali, ibu setidaknya membutuhkan waktu enam bulan. ”Batasan waktu ini jelas karena ada ukuran waktu biologis yang tidak bisa ditawar,” kata Hasto.
Cuti melahirkan itu sebaiknya diambil sejak usia kehamilan memasuki 36 minggu atau sebulan sebelum perkiraan hari persalinan. Usia kehamilan 36 minggu-40 minggu merupakan masa genting karena bisa terjadi pecah ketuban atau melahirkan sewaktu-waktu. Di saat itu, aktivitas ibu perlu dibatasi dengan cuti bagi ibu pekerja untuk mengurangi risiko persalinan.
Setelah persalinan, perubahan hormon yang terjadi bisa memicu gangguan psikologis pada ibu. Gangguan itu umumnya berupa stres hingga depresi yang dikenal sebagai baby blues. Namun, kondisi itu biasanya sembuh dalam dua minggu.
Karena itu, Hasto menyarankan cuti menemani persalinan istri bagi suami minimal satu minggu sebelum hari perkiraan lahir dan dua minggu sesudah persalinan. Pendampingan suami itu penting, khususnya bagi ibu yang menghadapi persalinan pertama.
Rasa tidak nyaman, sakit, keluarnya sedikit cairan vagina, apalagi jika ada darahnya, hingga terjadi kontraksi, tetapi belum siap melahirkan, bisa membuat ibu gelisah dan cemas. Belum lagi, meski sudah memeriksakan diri ke bidan atau dokter, ibu juga belum disuruh mondok untuk menghadapi persalinan.
Baca juga : Ibu Hamil Bukan Peserta JKN Dapatkan Jaminan Persalinan
”Jika cuti mendampingi istri melahirkan 40 hari dianggap terlalu lama, maka cuti tiga minggu bagi ayah sudah sangat memadai,” tambahnya.
Hasto mengakui cuti melahirkan enam bulan bagi ibu pekerja dan mendampingi istri melahirkan 40 hari bagi ayah banyak dikeluhkan pekerja dan pengusaha. Namun, cuti itu memiliki pertimbangan medis dan juga sudah diterapkan di berbagai negara maju dengan skema beragam, seperti digaji penuh selama tiga bulan pertama dan dibayar sebagian untuk bulan sisanya.
”Ini adalah investasi sumber daya manusia jangka panjang. Jika pertimbangannya semata-mata ekonomi, maka persoalan pemberian ASI eksklusif, penurunan AKI dan AKB, hingga penurunan stunting tetap akan sulit dicapai,” katanya.
Manfaat dari kebijakan itu baru akan terasa pada generasi mendatang. Hasil yang diperoleh bukan hanya anak yang sehat dan produktif, melainkan juga memiliki kesehatan mental yang baik karena bertumbuh kembang dan mendapat stimulasi dari orangtua secara optimal. Mental yang sehat itu akan mengurangi banyak masalah sosial.
Sebagai jalan tengah, cuti melahirkan enam bulan seharusnya juga disertai pengaturan jarak antarkehamilan, misal minimal 36 bulan. Pemberian jarak antarkehamilan ini tidak hanya membantu pengusaha, tetapi juga berdampak besar pada kesejahteraan ibu dan anak serta pengurangan berbagai masalah kesehatan dasar terkait kesehatan ibu dan anak di Indonesia.
Hati-hati
Meski ide cuti melahirkan enam bulan dan mendampingi istri melahirkan 40 hari baik bermanfaat besar dari aspek kesehatan, peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) yang juga Direktur Institute for Advanced Studies in Economic and Business UI Turro S Wongkaren, Rabu (13/7/2022), mengingatkan untuk berhati-hati menyikapi usulan tersebut.
Kebijakan ini memang baik untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Ahli kesehatan pun mengatakan banyak manfaatnya. Namun, banyak ahli ekonomi berpendapat kebijakan ini tidak banyak manfaatnya bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Baca juga : RUU KIA dan Perempuan Pekerja
”Kebijakan yang baik di negara-negara lain sering kali bukan kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Indonesia karena kondisinya yang berbeda,” katanya.
Kebijakan cuti melahirkan enam bulan bahkan lebih berasal dari negara-negara maju yang memiliki tingkat fertilitas rendah. Perempuan enggan memiliki anak karena besarnya biaya mengandung, melahirkan, hingga membesarkan anak. Memiliki anak juga dianggap bisa menghambat karier, mengurangi pendapatan, hingga membebani mereka untuk waktu lama, minimal sampai anak berumur 18 tahun.
Kondisi itu dikhawatirkan akan membuat ekonomi melambat, bahkan memicu punahnya sebuah bangsa. Karena itu, dengan memberikan cuti melahirkan yang panjang, tetapi tetap digaji dan mendapat berbagai tunjangan dari negara, perempuan diharapkan mau melahirkan dan membesarkan anak. Di beberapa negara maju, kebijakan ini nyata meningkatkan fertilitas atau setidaknya menahan agar penurunan fertilitas tidak makin tajam.
Namun, jika diterapkan di Indonesia, lanjut Turro, kondisi itu juga bisa meningkatkan fertilitas masyarakat. Padahal, tingkat fertilitas di Indonesia masih tinggi, sebesar 2,4 anak per perempuan usia subur dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2018. Bahkan, pemerintah pun berusaha keras untuk bisa menurunkannya hingga 2,1 anak per perempuan usia subur agar penduduk tumbuh seimbang.
Selain itu, upaya penegakan dan pengawasan aturan itu dipastikan akan sulit. Jangankan aturan cuti melahirkan atau menemani istri melahirkan, peraturan pembayaran gaji sesuai upah minimum kabupaten/kota saja yang menjadi hak dasar pekerja banyak mengalami hambatan.
Belum lagi karakter pekerja di Indonesia juga beragam. Mereka yang memiliki status pekerja tetap di lembaga pemerintah atau perusahaan mapan kemungkinan besar akan mendapat hak-hak itu. Namun, bagaimana dengan nasib pekerja paruh waktu terbatas alias pekerja kontrak atau pekerja musiman yang hanya bekerja beberapa bulan?
Data Badan Pusat Statistik menyebut sekitar 60 persen pekerja Indonesia pada 2022 merupakan pekerja informal. Padahal, pekerja informal memiliki daya tawar rendah dan banyak hak mereka tidak terpenuhi. Repotnya lagi, sebagian besar pekerja informal itu adalah perempuan.
Karena itu, tanpa ada pelaksanaan dan penegakan aturan cuti melahirkan enam bulan dengan baik, hanya akan meningkatkan kesenjangan kesejahteraan pekerja perempuan. Perempuan yang mapan akan semakin hidup sehat dengan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka, tetapi pekerja perempuan miskin akan makin terpuruk.
”Kebijakan cuti melahirkan enam bulan itu akan memberikan privilese (hak istimewa sosial) pada perempuan yang sudah memiliki privilese,” kata Turro menegaskan.
Baca juga : RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak Perlu Pertegas Peran Laki-Laki
Di sisi lain, lanjut Turro, kebijakan cuti suami mendampingi istri melahirkan yang lama berasal dari negara-negara Skandinavia dengan tingkat kesetaraan jender tinggi. Pemberian cuti itu bukan semata menemani istri melahirkan, melainkan juga membuat ayah ikut mengurus anak dan mengurus rumah tangga selama istri harus banyak beristirahat untuk pemulihan kesehatannya.
Namun, di Indonesia, norma sosial suami bekerja dan istri mengurus pekerjaan rumah masih sangat kuat. Karena itu, sulit untuk memastikan suami yang mendapat cuti mendampingi istri melahirkan benar-benar memanfaatkan waktunya untuk membantu istri, bukan untuk bermain gim atau berkumpul bersama teman-teman, khususnya suami muda.
Belum lagi, biaya asisten rumah tangga atau pengasuh anak (baby sitter) di Indonesia relatif terjangkau. Selain itu, pola kekeluargaan yang masih cukup kuat membuat perawatan ibu melahirkan dan bayi baru lahir banyak dibantu oleh anggota keluarga lain, terutama orangtua atau mertua.
”Kebijakan itu perlu dikaji dan dibuat secara lengkap. Sebuah kebijakan akan berhasil dilaksanakan jika ekosistemnya sudah ada dan mendukung,” kata Turro menambahkan.
Menimbang berbagai persoalan tersebut, Turro menilai dalam konteks Indonesia lebih baik meningkatkan Program Keluarga Harapan (PKH) yang sudah berjalan sebagai dasar meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Di masa lalu, program ini dimaksudkan untuk menyelamatkan orang miskin dengan memutuskan kemiskinan antargenerasi sehingga bantuan terfokus pada ibu hamil dan anak sekolah.
Dengan bantuan uang tunai PKH yang konsepnya mirip dengan cuti melahirkan (maternity leave), ibu hamil memiliki uang yang cukup untuk membeli kebutuhannya tanpa dia bekerja. Namun, program ini bersyarat, artinya ada batas waktu tertentu mereka bisa mendapatkan bantuan.
Namun, sejak PKH juga diperuntukkan bagi keluarga dengan lansia dan disabilitas pada 2015-2016, efektivitas program ini berkurang karena untuk keluarga dengan lansia dan disabilitas menjadi lebih sulit diputus. Padahal, waktu bantuan itu penting agar tidak menciptakan ketergantungan dan makin banyak perempuan miskin yang bisa terbantu.
”Bantuan untuk keluarga lansia dan disabilitas tetap diperlukan, tetapi seharusnya dengan pola berbeda dengan PKH,” kata Turro.
Gagasan memberikan cuti melahirkan enam bulan untuk pekerja perempuan dan 40 hari bagi suami untuk mendampingi istri melahirkan memang cita-cita yang ideal. Namun, kebijakan seharusnya tetap membumi pada kondisi riil masyarakat Indonesia. Berbagai efek domino dari sebuah kebijakan perlu dicermati, sekaligus mencegah terjadinya penyalahgunaan hak tersebut.