Jangan Lelah Suarakan Kebenaran...
Selain menyampaikan kebenaran, seorang jurnalis juga mempergunakan hati dalam menyampaikan informasi yang diperolehnya. Kebenaran bisa diungkapkan dengan menguji informasi dari mana pun dan disajikan kepada publik.
Baca Juga :Menanti Keadilan bagi Brigadir J
There can be no higher law in journalism than to tell the truth, and to shame the devil.... (Walter Lipman (1889-1974), penulis asal Amerika Serikat)
Sebuah buku dengan judul yang memancing rasa penasaran diterbitkan awal Juli ini oleh Penerbit Buku Kompas. Budaya Pancasila Merevolusi Perilaku ”Budaya” Bohong ditulis oleh Ansel Alaman, seorang praktisi politik.
Dalam pengantarnya, penulis menyatakan, buku ini cermin pergulatan moralitas demokrasi dan kesucian politik Indonesia. Ditulis sejak tahun 2015, tetapi mengalami penundaan, karena tokoh yang setuju membubuhkan sambutan akhirnya tidak terealisasi. Bisa jadi karena judulnya agak nakal, yakni awalnya Kuasa Itu Wajib Bohong?, lalu berubah menjadi Kekuasaan dan Legalisasi Kebohongan, lalu Budaya Pancasila Merevolusi Perilaku ”Budaya” Bohong.
Substansialisme demokrasi seharusnya berdiri di atas fondasi kejujuran, kebenaran, inklusivitas, integritas diri, keberagaman, kemajemukan, serta toleransi sebagai pendorong dan motivasi mewujudkan keadaban demokrasi.
Ada yang tersirat di balik perubahan judul itu. Pengalaman akan manipulasi, kekuasaan menindas, menghardik kebebasan saat itu, kini setelah 20 tahun perjalanan reformasi, nyatanya manipulasi, penindasan, dan menghardik kebebasan itu seakan bermetamorfosis dalam rupa kebohongan (hoaks), narasi kebencian, fitnah, politik identitas, kampanye SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), dan lain-lain. Substansialisme demokrasi seharusnya berdiri di atas fondasi kejujuran, kebenaran, inklusivitas, integritas diri, keberagaman, kemajemukan, serta toleransi sebagai pendorong dan motivasi mewujudkan keadaban demokrasi.
Pancasila bukan hanya ideologi bangsa, melainkan sekaligus falsafah hidup rakyat Indonesia. Dan, meskipun tak membahas media massa atau jurnalisme, buku yang diberikan kata sambutan oleh anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR, Andreas Hugo Pareira, ini sejalan dengan prinsip dasar yang dikembangkan dalam dunia kewartawanan atau jurnalistik. Wartawan tak boleh berbohong dan harus bisa mengungkapkan kebenaran.
Baca juga : Kapolri Nonaktifkan Kadiv Propam
Posisi wartawan yang tidak boleh berbohong itu, misalnya, jelas disampaikan dalam konsideran menimbang Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, kemerdekaan menyatakan pikiran dan pendapat sesuai hati nurani dan hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia (HAM) yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pasal 1 UU Pers juga menegaskan, ”(1) Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa, yang melaksanakan kegiatan jurnalistik, meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”.
Sesuai pernyataan Lipman, pers bergerak dalam bidang jurnalisme. Dan, tak ada hukum yang tertinggi dalam bidang jurnalistik, kecuali menyampaikan kebenaran.
Banyak sekali ahli dan praktisi yang menegaskan, hal yang paling penting dan mendasar dalam kerja jurnalistik adalah menghasilkan kebenaran. Guru jurnalistik Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2015) menegaskan, kewajiban utama jurnalisme adalah pada kebenaran. Kebenaran yang dimaksud dalam jurnalisme tentu saja berbeda dengan kebenaran dalam hukum, sesuai putusan pengadilan. Apalagi kebenaran sesuai agama yang dianut, melainkan lebih pada kebenaran fungsional yang sehari-hari diperlukan masyarakat.
Ahli filsafat Dr GP Sindhunata mengingatkan pula, wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. Kita hadir di lapangan dan memanfaatkan momen di lapangan, di mana kita harus berhadapan dengan fakta, ketika fakta itu belum tersentuh oleh campur tangan kita, apa pun jua. ”Jujur terhadap fakta, itulah sebenarnya moralitas jurnalistik…” (Belajar Jurnalistik dari Humanisme Harian Kompas: Harga Sebuah Visi, PT Gramedia Pustaka Utama, 2019). Jujur, menyampaikan kebenaran, tidak bohong, dan tidak mencampuradukkan fakta dan opini menjadi pesan kuat yang harus dijalani oleh seseorang yang ingin menjadi jurnalis.
Baca juga : Privasi Terganggu, Keluarga Kadiv Propam Polri Temui Dewan Pers
Wartawan senior Goenawan Mohammad (2003) menegaskan, ”Menulis atau menyampaikan berita sesungguhnya adalah sebuah laku moral. Laku moral itulah yang membedakan wartawan dengan pencerita lainnya.” Jakob Oetama (2001), salah seorang pendiri harian Kompas, menambahkan, ”Merumuskan berita (fakta dan kebenaran) yang ditulis seorang wartawan seharusnya tetap disandarkan pada nilai kemanusiaan.”
Bahkan, praktisi kehumasan Agung Laksamana mengingatkan, robot tidak mempunyai hati, tetapi penutur cerita, termasuk wartawan, mempunyai hati. Oleh karena itu, selain menyampaikan kebenaran, seorang jurnalis juga mempergunakan hati dalam menyampaikan informasi yang diperolehnya. Berbeda dengan pembuat konten, atau aktivis media sosial, yang bisa saja tak menggunakan hati, moralitas, rasa kemanusiaan, dan hukum saat menyebarkan informasi yang bisa saja menimbulkan kegaduhan dalam masyarakat.
Merumuskan berita (fakta dan kebenaran) yang ditulis seorang wartawan seharusnya tetap disandarkan pada nilai kemanusiaan.
Suarakan kebenaran
Mengutip pendapat Haryatmoko, pakar filsafat politik dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dalam bukunya Ansel menuliskan, kebohongan berat yang diartikan sebagai tindakan licik, sengaja melakukan perbuatan yang merugikan orang lain atau rakyat banyak untuk menguntungkan diri atau kelompok. Modusnya dengan memanipulasi fakta, mengubah realitas sesungguhnya dengan data rekaan, data manipulasi, dan lain-lain. Kebohongan semacam ini sebagai ”imajinasi politik”.
Pers adalah pilar keempat demokrasi. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis sekalipun, tak jarang kebohongan seperti yang dituliskan Ansel terjadi pula. Di Indonesia, tidak sedikit pula kasus dalam masyarakat yang dibelit dengan ”imajinasi politik”. Jika tak boleh dikatakan diwarnai kebohongan, tak sedikit kasus atau persoalan kemasyarakatan di negeri ini diwarnai berbagai kepentingan yang tidak sepenuhnya terbuka. Bukan kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Dugaan itu paling baru adalah kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (nonaktif) Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022), tetapi baru dibuka pada Senin (11/7/2022). Kematian itu disebutkan diawali dengan tembak-menembak antar-anggota kepolisian, tetapi ada dugaan kejanggalan. Selain itu, ada sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang belum terungkap, kasus pelarian pelaku korupsi, dan kasus lain.
Baca juga : Komnas HAM Mintai Keterangan Keluarga Brigadir J
Pasal 3 UU No 40/1999 jelas menyebutkan, pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban, dan perannya, pers menghormati HAM setiap orang. Karena itu, dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat. Pers tak bisa semaunya dalam menjalankan fungsinya.
Selain diamanatkan oleh UU Pers untuk menjalankan fungsi kontrol sosial, serta harus mewujudkan kebenaran dalam laporannya, pers di negeri ini pun tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Pasal 4 KEJ menegaskan, wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pasal 3 KEJ mengatur pula, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Saat ini jurnalisme semakin berkembang, seperti tumbuhnya jurnalisme investigasi, jurnalisme data, atau jurnalisme presisi. Masyarakat pun makin matang dalam berkomunikasi sehingga ingin mendapatkan informasi yang terbuka. Apalagi, semakin banyak alternatif untuk mendapatkan informasi, selain dari media arus utama. Kondisi ini mendorong pekerja media, khususnya jurnalis, harus bisa memenuhi keingintahuan masyarakat itu dengan berusaha menyajikan informasi yang terbuka. Kebenaran, dari mana pun sumbernya, setelah diuji dan diyakini.
Tentu di negeri ini, KEJ dan UU Pers menjadi acuan utama, selain ”tradisi” jurnalisme yang mengedepankan kemanusiaan dan moralitas. Itulah yang bisa membedakan antara produk jurnalistik dan sekadar informasi yang tak terverifikasi.
Pasti akan banyak tantangan dan godaan saat berusaha menyajikan kebenaran kepada publik, sebagai ”tuan” dari kegiatan jurnalistik. Tantangan itu bisa mulai yang halus: godaan yang bisa membius nurani; hingga yang kasar, mengancam jiwa. Hanya wartawan yang kompeten yang bisa menghadirkan kebenaran, tanpa harus menyakiti orang lain. Kode Perilaku Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menegaskan, tak ada berita sebesar apa pun yang bisa mengalahkan keselamatan jiwa.
Jadi, teruslah berupaya menghadirkan kebenaran bagi publik. Namun, tetap berhati-hati dan menggunakan hati....