Setelah UU TPKS diundangkan, kesadaran masyarakat untuk melawan kekerasan seksual terus tumbuh. Berbagai kasus yang muncul langsung menjadi sorotan dan berhasil didorong proses hukumnya.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
Bagaikan laron yang mengerumuni cahaya lampu di musim hujan. Demikian para aktivis perempuan jaringan pembela korban kekerasan seksual menggambarkan situasi dan kondisi kasus kekerasan seksual belakangan ini. Satu demi satu kasus kekerasan seksual terungkap dan mencuat ke publik. Beberapa kasus bahkan memancing kemarahan publik.
”Kita dibuat seolah tak berdaya dalam amarah, menyaksikan kasus-kasus tindak pidana kekerasan seksual dari berbagai penjuru wilayah Indonesia bermunculan,” ujar Anis Hidayah dari Migrant Care, pekan lalu.
Awal Juli 2022, setidaknya dua kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis asrama menjadi sorotan. Pertama, kekerasan seksual oleh MSA (42) di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Jombang, Jawa Timur. Kepolisian Daerah Jawa Timur menangkap MSA yang juga wakil rektor di ponpes itu. Setelah sekitar empat tahun perkara ini dilaporkan, MSA kini mendekam di penjara.
Kasus kedua adalah kekerasan seksual terhadap sejumlah murid Sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Jatim, dengan tersangka JE, pemimpin sekolah tersebut. Kasus tersebut sebenarnya sudah dalam tahap persidangan, tetapi baru mencuat ke publik ketika beberapa korban diwawancarai dan dimuat di media sosial.
Mencuatnya kedua kasus tersebut mengundang empati publik. Dukungan kepada para korban pun meluas. Bersamaan dengan itu, desakan kepada penegak hukum untuk menghukum pelaku seberat-beratnya pun menguat. Bahkan, ketika mengetahui terdakwa JE tidak ditahan, publik bersuara kencang, hingga akhirnya keluar perintah majelis hakim agar terdakwa ditahan di Lapas Kelas 1 Lowokwaru, Malang.
Dua kasus di atas hanyalah contoh. Banyak kasus serupa terjadi di tempat lain. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati meminta aparat penegak hukum untuk menindak tegas siapa pun pelaku kejahatan seksual. Tidak boleh ada toleransi. Hukum harus ditegakkan dan keadilan diberikan kepada para korban.
Derasnya kasus kekerasan seksual seusai diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menunjukkan semakin besar perhatian publik terhadap kasus TPKS. Jika dulu orang masih acuh tak acuh dan menganggap kasus kekerasan seksual sebagai isu privat, belakangan kesadaran publik untuk mengawal kasus-kasus kekerasan seksual tumbuh lebih besar. Tuntutan kepada penegak hukum untuk serius menangani kasus kekerasan seksual juga semakin menguat.
Seiring dengan itu, keberanian para korban pun bangkit. Suara yang bungkam perlahan-lahan terbuka. Sedikit demi sedikit (meskipun membutuhkan energi dan pengorbanan) kabut yang menyelimuti gunung es kasus kekerasan seksual kini mulai tersibak. Genderang perlawanan atas kasus kekerasan seksual pun mulai ditabuh.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Siti Aminah Tardi, mengungkapkan, kasus-kasus yang mencuat ke permukaan belakangan ini adalah kasus-kasus yang terjadi sebelum disahkan dan diundangkannya UU TPKS.
”Substansi UU TPKS berupaya menjawab hambatan-hambatan keadilan dan pemulihan korban, seperti hambatan pembuktian, penundaan berlarut, cara pemeriksaan, sampai pada hak-hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan” ujarnya di Jakarta, Senin (19/7/2022).
Suara yang bungkam perlahan-lahan terbuka. Sedikit demi sedikit (meskipun membutuhkan energi dan pengorbanan) kabut yang menyelimuti gunung es kasus kekerasan seksual kini mulai tersibak.
Kendati demikian, soal optimalisasi pelayanan terhadap korban, UU TPKS yang disahkan 9 Mei 2022 lalu membutuhkan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres).
Selain terbitnya aturan turunan, saat ini tantangan pelaksanaan UU TPKS adalah bagaimana menyosialisasikannya kepada semua aparat penegak hukum dan lembaga layanan korban kekerasan seksual. ”Secara khusus, kami mengharapkan pengalaman-pengalaman korban seperti kasus ini diakomodasi dalam perumusannya,” kata Aminah.
Sosialisasi harus masif
Untuk mendukung implementasi UU TPKS, reformasi institusi baik di lembaga layanan maupun aparat penegak hukum untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan internal, cara kerja penanganan TPKS dengan UU TPKS, peningkatan sumber daya manusia, serta infrastruktur layanan dan anggaran mendesak dilakukan.
Karena itulah, gema alarm stop kekerasan seksual dan sosialisasi UU TPKS harus diperdengarkan secara masif. ”UU TPKS merupakan UU yang dinanti masyarakat. Selama ini korban tidak mau melapor karena substansi hukum acara dan layanan yang tidak memadai memberikan perlindungan korban,” ujar Sri Nurherwati, Ketua Yayasan Sukma (Sekretariat untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia).
UU No 12/2022 akan mendorong para korban untuk berani melaporkan kasus-kasus kekerasan seksual, termasuk kasus yang terjadi sebelum UU TPKS lahir. Di sisi lain, UU TPKS juga diharapkan memompa semangat aparat penegak hukum untuk serius dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Untuk mewujudkan hal tersebut, semua pihak harus betul-betul memahami UU TPKS sehingga tidak ada lagi ruang bagi kekerasan seksual. Tidak ada lagi penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual di luar pengadilan, apalagi korban dinikahkan dengan pelaku.
Semua langkah tersebut menjadi penting untuk memastikan UU TPKS tidak hanya bagus di atas kertas, tetapi juga dalam pelaksanaannya. Maka, semua pihak berperan untuk membunyikan alarm atau tanda bahaya kekerasan seksual agar nyaring terdengar dan menggema di seluruh pelosok negeri.