Definisi Seni Kabur, Pemda Diminta Evaluasi Perbedaan Pajak Hiburan
Pemerintah diminta mengevaluasi perbedaan angka pajak hiburan terhadap berbagai bentuk kesenian di daerah. Tujuannya agar seni bisa berkelanjutan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset Koalisi Seni mendapati bahwa seni didefinisikan secara berbeda di sejumlah daerah sehingga berdampak pada pengenaan pajak hiburan yang berbeda pula. Karena itu, pemerintah diminta untuk mengevaluasi perbedaan pajak tersebut berikut definisi seni.
Menurut hasil riset, pemerintah daerah cenderung melihat seni sebagai obyek pajak daripada obyek pemajuan kebudayaan. Padahal, belum ada standar pajak hiburan yang secara jelas mengatur kategori seni sebagai obyek pajak, begitu pula persentase pajaknya.
Adapun riset dilakukan pada 2019 terhadap 508 kabupaten/kota di Indonesia. Sebanyak 367 kabupaten/kota di antaranya memiliki peraturan daerah tentang pajak hiburan.
Dari seluruh kabupaten/kota, hanya 105 di antaranya yang memiliki perda tentang pemajuan kebudayaan dengan 72 kabupaten/kota di antaranya merujuk ke Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
”Belum adanya standardisasi membuat bentuk seni tertentu rentan mengalami kemunduran. Di sisi lain, ada potensi pemda bisa sewenang-wenang menentukan bentuk seni tertentu yang ingin mereka majukan,” kata Koordinator Riset Koalisi Seni Ratri Ninditya secara tertulis, Rabu (13/7/2022).
Persentase dan kategori pajak hiburan diatur pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, kemudian diperbarui dalam UU No 1/2022. Dalam aturan baru, semua jasa hiburan dan kesenian termasuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu dengan tarif maksimal 10 persen. Sementara itu, hiburan malam, seperti kelab malam, diskotek, dan bar, dikenakan pajak 40-75 persen.
Riset juga menemukan bahwa dari seluruh peraturan yang ada, hiburan malam dan pergelaran musik subkategori musik internasional dikenakan pajak tertinggi, yaitu 75 persen. Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, misalnya, mengenakan pajak 75 persen terhadap pergelaran musik internasional. Ajang musik nasional di sana dikenakan pajak 35 persen.
Belum adanya standardisasi membuat bentuk seni tertentu rentan mengalami kemunduran. Di sisi lain, ada potensi pemda bisa sewenang-wenang menentukan bentuk seni tertentu yang ingin mereka majukan.
Adapun hiburan malam dikenakan pajak yang berbeda di sejumlah daerah. Sebanyak 37 kabupaten/kota mengenakan pajak hingga 75 persen, sementara 40 kabupaten kota lain 50 persen.
Kategorisasi berbeda
Selain pajak yang berbeda, kategorisasi hiburan malam di daerah pun berbeda-beda. Misalnya, pertunjukan musik langsung atau live music dikategorikan sebagai hiburan malam di DKI Jakarta; Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur; dan Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Adapun kategori pergelaran musik dikenakan persentase pajak berbeda dengan live music. Sementara itu, film, tari, dan musik di Kabupaten Bombana dan Kabupaten Kutai Kartanegara tidak termasuk dalam kategori pertunjukan kesenian sehingga pajak yang dikenakan berbeda.
Di sisi lain, ada pula daerah yang meringankan hingga membebaskan pajak pada seni tradisi. Alasannya karena seni tradisi dinilai melestarikan kebudayaan, memiliki motif sosial, dan merupakan bagian ritual adat atau agama masyarakat.
Ada 48 kabupaten/kota dan satu provinsi yang membebaskan pajak hiburan untuk seni tradisi. Sebanyak 92 kabupaten/kota lain mengenakan pajak 5 persen untuk seni tradisi.
”Ini positif, tetapi akan menjadi masalah jika definisi tradisi hanya merujuk ke ekspresi budaya kelompok tertentu. Padahal, seni sebagai bagian dari kebudayaan adalah hal yang hidup dan terus berubah,” ujar Ratri. Ia juga mempertanyakan kategorisasi seni kontemporer serta seni kosmopolitan yang mencampur banyak budaya.
Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah menilai, persentase pajak hiburan cenderung diskriminatif sehingga bakal memengaruhi keberlangsungan bentuk seni tertentu. ”Pengenaan pajak yang tinggi juga membuat seni tertentu tidak menarik bagi pelaku usaha. Akibatnya, akses masyarakat terhadap seni jadi terbatas,” katanya.
Sebelumnya, Wali Kota Medan Bobby A Nasution mengatakan, ada banyak keluhan warga terkait standardisasi tarif musisi, termasuk musisi yang karyanya diputar pengusaha restoran tanpa memberi royalti.
Isu tersebut berkaitan dengan pajak karena pajak hiburan berbeda jauh dengan pajak restoran. Ia berharap ada diskusi lebih jauh antara pemkot bersama pengusaha kafe dan musisi (Kompas, 18/4/2022).