Penyerapan kosakata asing harus terus didukung, tetapi perlu mempertimbangkan khazanah negeri sendiri. Tak ada salahnya mengoreksi penyerapan kosakata asing asal sesuai aturan.
Oleh
WAHYU AYUNINGSIH
·3 menit baca
Kosakata bahasa Indonesia merupakan hal yang peka terhadap perkembangan zaman. Namun, kedinamisan ini tidak lantas membuat kosakata berbahasa Inggris dengan mudahnya diserap. Ada pertimbangan-pertimbangan budaya dan politik guna merawat keeratan dengan bahasa-bahasa nusantara.
Dalam hal ini, bahasa nusantara termasuk khazanah budaya bangsa yang sebaiknya diutamakan dalam mencari padanan kata. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) akan menjadi rujukan secara akademis ataupun praktis dalam penggunaan bahasa Indonesia baku sehingga perlu mempertimbangkan pengutamaan serapan kosakata.
Banyak padanan yang diserap dari bahasa asing dan menenggelamkan kosakata yang sebenarnya sudah ada dalam bahasa Indonesia, seperti presenter dan pewara. Keduanya telah baku sesuai KBBI V, tetapi kata presenter lebih banyak digunakan daripada pewara.
Sama halnya dengan kata mangkus dan sangkil yang tenggelam oleh efektif dan efisien, serta lembayung yang terlupakan karena kehadiran violet.
Tidak terasa pula muncul persaingan antara kata biaya dan bujet, menyerap dan mengabsorb, jingga dan oranye, peladen dan server, pemampat dan pengompres, sambungan dan koneksi, sunting dan edit, indah dan estetis, berkas dan fail, kue dan keik, serta kue kering dan kukis.
Mengutip pernyataan pakar bahasa Ahmad Sahidah, ”saya Indonesia” itu dimulai dari menata kata. Secara prosedural hal ini menjadi wewenang pemangku kebijakan bahasa untuk menertibkan serapan kosakata. Jika kosakata asing telah diserap, kosakata tersebut akan menjadi bagian dari khazanah bahasa Indonesia dan dari bahasa, sebut Saphir Whorf, muncul cara kita memandang dunia.
Andaikan sebagian besar kata serapan berasal dari bahasa Inggris, mungkinkah cara pandang kita akan bergeser pada cara pandang kebarat-baratan?
Bisa saja dari bahasa muncul pergeseran paradigma sehingga lambat laun mengikis rasa kebanggaan bahwa kita adalah Indonesia. Sebut saja kebiasaan berbahasa remaja yang nginggris tidak menampik anggapan bahwa gaya Barat lebih modern, kekinian, dan layak ditiru.
Tulisan ini tidak bermaksud melarang pengayaan kosakata bahasa Indonesia dan bersifat konservatif. Penyerapan kosakata asing harus terus didukung, tetapi perlu mempertimbangkan khazanah negeri sendiri.
Saya sangat menyayangkan penyerapan file dalam KBBI V menjadi fail, sedangkan dalam bahasa Indonesia sendiri sudah ada kata berkas. Kosakata lain yang bernasib sama ialah cake menjadi keik dan cookies menjadi kukis. Bukankah cake mempunyai konsep yang sama dengan kue/jajan dan cookies dengan kue kering? Ataukah jajan terdengar kurang modern daripada keik?
Alangkah baiknya mengoreksi penyerapan kosakata asing sehingga tak abai terhadap khazanah sendiri. Bahasa daerah menyediakan banyak kosakata yang bisa didayagunakan agar tetap mengukuhkan rumpun bahasa Indonesia dengan bahasa nusantara.
Kekerabatan bahasa harus tetap dijalin melalui pemadanan istilah asing dengan memberdayakan kosakata daerah. Jika tidak ditemukan konsep yang pas, barulah menyerap kosakata asing sesuai aturan. Selain dapat merawat akar rumpun bahasa, pemberdayaan kosakata daerah juga dapat mengukuhkan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia melalui bahasa karena bahasa menunjukkan bangsa.
Wahyu Ayuningsih, Alumnus Magister Linguistik Universitas Gadjah Mada