Peneliti Buktikan Emisi Karbon Nasional Rugikan Negara Lain
Selain kerugian, penelitian ini juga menilai manfaat ekonomi yang diperoleh dari pemanasan yang disebabkan oleh emisi. Mereka menyoroti keuntungan besar yang secara tidak proporsional menguntungkan beberapa negara maju.
Tanggung jawab negara maju kepada negara miskin dan berkembang sebagai dampak perubahan iklim sudah terwacana sejak lama. Hal itu setidaknya tecermin pada Protokol Kyoto 1997 yang memberi penekanan tanggung jawab pada negara maju.
Dengan prinsip common but differentiated responsibilities atau tanggung jawab bersama tetapi berbeda, besaran nilai tanggung jawab saat itu seolah hanya dari kerelaan si negara maju dan keberterimaan dari negara miskin dan berkembang/terdampak. Belum ada dasar ilmiah terkait nilai tanggung jawab tersebut.
Kabar baiknya dan mungkin ini nanti bisa menjadi dasar diskusi menuju pertemuan Konferensi Perubahan Iklim di Mesir, November 2022, kini para peneliti sudah menemukan besaran nilai itu. Setidaknya negara maju terbukti telah memperoleh keuntungan dari pelepasan emisi gas rumah kaca tetapi dampaknya merugikan negara lain.
Saat negara maju itu menikmati pertumbuhan ekonomi, penghangatan iklim membawa dampak buruk bagi negara miskin-berkembang di tropis dan negara selatan. Studi yang diterbitkan di jurnal Climate Change, Selasa (12/7/2022), ini mengkaji data di 143 negara.
Kajian oleh Darthmouth College di Hanover, Amerika Serikat, tersebut diklaim sebagai riset pertama yang menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan setiap negara terhadap negara lain. Peneliti mengamati kontribusi kumulatif tingkat nasional terhadap pemanasan global. Penelitian ini menarik hubungan langsung antara emisi nasional gas rumah kaca dengan kerugian dan keuntungan dalam produk domestik bruto tiap negara.
Pemanasan ini telah mengakibatkan pengayaan beberapa negara kaya dengan mengorbankan orang-orang termiskin di dunia. (Justin Mankin)
Dalam situs internet Darthmouth College disebutkan bahwa hasil riset ini memberikan dasar penting bagi negara-negara untuk membuat klaim hukum atas kerugian ekonomi yang terkait dengan emisi dan pemanasan.
”Gas rumah kaca yang dipancarkan di satu negara menyebabkan pemanasan di negara lain dan pemanasan itu dapat menekan pertumbuhan ekonomi,” kata Justin Mankin, asisten profesor geografi di Dartmouth dan peneliti senior studi tersebut.
Ia melanjutkan bahwa hasil riset ini memberikan perkiraan yang berharga tentang dampak buruk pada finansial yang diderita oleh setiap negara karena kegiatan perubahan iklim negara lain.
Berdasarkan data yang mereka kumpulkan dan analisis, ada sejumlah kecil negara sebagai pengemisi utama gas rumah kaca menyebabkan kerugian 6 triliun dollar AS pada ekonomi global sebagai dampak penghangatan yang disebabkan emisi negara itu pada tahun 1990-2014.
Disebutkan dalam studi, emisi dari AS dan China bertanggung jawab pada kerugian pendapatan global masing-masing lebih dari 1,8 triliun dollar AS pada periode 25 tahun itu.
Kerugian ekonomi yang disebabkan Rusia, India, dan Brasil masing-masing sekitar 500 miliar dollar AS di periode yang sama. Kerugian 6 triliun dollar AS dari kelima negara ini setara 11 persen produk domestik bruto (PDB) global tahunan pada periode yang sama.
”Penelitian ini memberikan jawaban atas pertanyaan apakah ada dasar ilmiah untuk klaim kewajiban iklim, jawabannya adalah ya,” kata Christopher Callahan, penulis pertama studi dan kandidat PhD di Dartmouth.
Para peneliti mencatat kesalahan setiap negara atas perubahan pendapatan historis yang didorong oleh suhu di tiap negara lain. Suhu yang lebih hangat dapat menyebabkan kerugian ekonomi bagi suatu negara melalui banyak jalur, seperti menurunkan hasil pertanian, mengurangi produktivitas tenaga kerja, atau menurunkan output industri.
Selain kerugian, penelitian ini juga menilai manfaat ekonomi yang diperoleh dari pemanasan yang disebabkan oleh emisi. Mereka menyoroti bahwa keuntungan besar yang secara tidak proporsional menguntungkan beberapa negara tidak meniadakan kerugian yang diderita negara lain.
Studi ini berfokus pada dampak ekonomi dari perubahan suhu sebagai konsekuensi emisi, bukan efek lain dari emisi seperti pada kualitas udara (misal dampak kesehatan dan ikutannya).
Data yang disajikan dalam penelitian ini mengukur dampak ekonomi berdasarkan skema penghitungan emisi gas rumah kaca yang berbeda, dengan mempertimbangkan emisi yang terjadi di dalam wilayah suatu negara versus emisi dalam perdagangan internasional.
Baca juga: Perubahan Iklim Menghilangkan Seperlima Kekayaan Negara-negara Berkembang
Penelitian menunjukkan bahwa distribusi dampak pemanasan dari penghasil emisi sangat tidak merata, dengan 10 penghasil emisi global teratas menyebabkan lebih dari dua pertiga kerugian di seluruh dunia.
Negara-negara yang kehilangan pendapatan umumnya lebih hangat dan lebih miskin daripada rata-rata global serta terletak di daerah tropis dan selatan. Negara-negara yang memperoleh pendapatan lebih dingin dan lebih kaya daripada rata-rata global dan umumnya terletak di garis lintang tengah dan utara.
”Negara-negara yang hangat telah menghangat dan kehilangan pendapatan karenanya, sedangkan negara-negara yang lebih dingin telah menghangat tetapi menikmati keuntungan ekonomi,” kata Mankin.
Ia menegaskan bahwa tanggung jawab atas pemanasan terutama terletak pada segelintir penghasil emisi utama. ”Pemanasan ini telah mengakibatkan pengayaan beberapa negara kaya dengan mengorbankan orang-orang termiskin di dunia,” katanya.
Selama bertahun-tahun, para peneliti telah bekerja untuk membangun hubungan langsung antara kerugian ekonomi dan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida, metana, dan dinitrogen oksida.
Studi sebelumnya telah memberikan perkiraan total, tingkat kerugian ekonomi global, tetapi tidak dapat menentukan pemanasan yang disebabkan oleh setiap negara. Hal ini acapkali merusak upaya nasional untuk meminta pertanggungjawaban negara-negara penghasil emisi atas kerusakan lingkungan karena ketidakpastian yang terlibat.
Dengan menciptakan kerangka kerja analitis yang menghubungkan emisi dari setiap negara dengan kerugian dan keuntungan di setiap negara lain, tim peneliti Dartmouth berharap dapat membantu menyelesaikan pertanyaan tentang kewajiban iklim dan akuntabilitas nasional untuk menginformasikan kebijakan iklim.
”Untuk pertama kalinya, kami mampu menunjukkan hubungan yang jelas dan signifikan secara statistik antara emisi negara tertentu dan kerugian ekonomi historis yang dialami negara lain. Ini tentang kesalahan satu negara ke negara lain, bukan efek pemanasan global secara keseluruhan pada suatu negara,” kata Callahan.
Tim mengatakan bahwa studi tersebut mendiskreditkan gagasan bahwa mitigasi iklim hanyalah ”masalah tindakan kolektif”, di mana tidak ada satu negara yang bertindak sendiri yang dapat berdampak pada dampak pemanasan global.
Sampai sekarang, kompleksitas siklus karbon, variasi alami dalam iklim, dan ketidakpastian dalam permodelan telah menyebabkan penyangkalan yang masuk akal bagi emiten untuk klaim kerusakan individu. ”Tabir penyangkalan itu kini telah dicabut,” kata Mankin.
Menurut tim, setiap negara dapat memiliki dampak besar yang dapat diatribusikan dari pemanasan karena emisi mereka. Oleh karena itu, tindakan setiap negara penting dan mitigasi tingkat negara, bahkan jika dilakukan sendiri, akan membatasi kerugian terukur bagi orang lain.
Baca juga: Negara Miskin Desak Kompensasi Negara Kaya Terkait Dampak Perubahan Iklim
”Negara-negara perlu bekerja sama untuk menghentikan pemanasan, tetapi itu tidak berarti bahwa setiap negara tidak dapat mengambil tindakan yang mendorong perubahan,” kata Callahan
Dengan kata lain, penelitian ini membalikkan anggapan bahwa penyebab dan dampak pemanasan hanya terjadi di tingkat global. Tantangan utama untuk penelitian ini adalah untuk memperhitungkan ketidakpastian besar pada setiap langkah dalam rantai sebab akibat dari emisi hingga pemanasan global, dari pemanasan hingga perubahan suhu tingkat negara, dan dari perubahan suhu tingkat negara hingga dampak.
Studi ini mengambil sampel 2 juta kemungkinan nilai untuk setiap interaksi negara. Secara total, 11 triliun nilai dihitung pada superkomputer yang dioperasikan oleh Research Information, Technology and Consulting Dartmouth.
”Ini adalah penelitian pertama yang mengintegrasikan dan mengukur semua ketidakpastian di setiap langkah rantai antara emisi dan dampak ekonomi,” kata Callahan.
Penelitian ini tidak untuk menjawab pertanyaan apakah bahan bakar fosil baik atau buruk bagi pertumbuhan ekonomi. ”Tetapi bagaimana mengompensasi kerusakan yang disebabkan oleh pemanasan dari emisi tersebut,” tuturnya.
Menurut tim peneliti, pekerjaan di masa depan dapat menggunakan pendekatan analitis yang sama untuk menentukan kontribusi penghasil emisi tertentu, termasuk perusahaan individu, terhadap kerugian dan keuntungan ekonomi.