Satelit Komunikasi: Dulu, Kini, dan Nanti
Satelit komunikasi pertama diluncurkan 60 tahun lalu. Sejak itu, teknologi satelit komunikasi dan peluncurannya makin berkembang. Ke depan, masifnya penggunaan internet akan membuat kebutuhan satelit makin besar.

Launch Vehicle Ariane 5 VA 235 saat mulai meluncur membawa Satelit Telkom 3S dari Guiana Space Center, Kourou, Guyana Perancis, Selasa (14/2).
Satelit komunikasi swasta pertama Telstar 1 diluncurkan ke luar angkasa pada 10 Juli 1962. Semula, satelit komunikasi banyak digunakan untuk kepentingan penyiaran maupun telekomunikasi jarak jauh, lintas pulau dan lintas benua. Kini seiring berkembangnya teknologi digital, satelit komunikasi banyak digunakan untuk menciptakan konektivitas melalui internet.
Pada 60 tahun lalu, satelit Telstar 1 diluncurkan menggunakan roket Delta dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat (AS). Satelit berbentuk mirip bola dengan diameter 90 sentimeter itu ditempatkan di orbit dengan ketinggian antara 948 kilometer (km) hingga 5.651,7 km dari permukaan Bumi. Satelit butuh 2,5 jam untuk satu kali mengelilingi Bumi.
Misi utama Telstar 1 adalah untuk menyiarkan siaran televisi lintas Samudera Atlantik, dari AS ke Eropa atau sebaliknya. Meski demikian, seperti dikutip dari Space, Minggu (10/7/2022), satelit juga dilengkapi dengan lebih dari 400 saluran telepon, faksimil, dan telegram.
Dua hari setelah diluncurkan, siaran televisi antarbenua pun dilakukan. Tayangan perdana siarang langsung televisi antarnegara itu terjadi sekitar 20 menit. Dalam siaran tersebut, AS menampilkan foto Presiden John F Kennedy, pertandingan olahraga dan kibaran bendera dari Mount Rushmore yang bisa dilihat langsung penonton di Perancis. Sementara dari Perancis, penyiar Yves Montand mengajak penonton di AS menikmati jalan-jalan di Paris.
Namun, satelit itu hanya bertahan beberapa bulan karena menjadi korban uji coba senjata nuklir AS. Sehari sebelum diluncurkan, The Universe, Jumat (8/7/2022) menyebut, AS memulai uji peledakan bom nuklir di barat daya Pulau Johnston di Samudera Pasifik, pada ketinggian 400 km. Tanpa diduga, ledakan itu memicu pelepasan elektron energi tinggi dalam jumlah besar yang berdampak pada piranti elektronik satelit di luar angkasa, termasuk Telstar 1.
Pada awalnya, kerusakan transistor satelit dapat di atasi hingga siaran internasional pun bisa terlaksana. Namun akumulasi kerusakan yang terus terjadi, seperti disebut Scientific American, 11 Juli 2012, membuat satelit mati pada Februari 1963.
Meski satelit pertama buatan manusia adalah Sputnik 1 buatan Uni Soviet (US) yang diluncurkan 4 Oktober 1957, namun Telstar 1 menjadi pendobrak penggunaan teknologi luar angkasa yang tak melulu untuk kepentingan militer atau negara, tetapi bisa juga untuk hiburan.
Simak juga: SpaceX Luncurkan 47 Satelit Internet Starlink ke Luar Angkasa

Roket SpaceX Falcon 9, dengan kapsul Crew Dragon yang sudah terpasang, berada di Launch Pad 39-A Kennedy Space Center di Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Rabu (15/9/ 2021).
Berkembang
Sejak ditemukannya satelit, penggunaan satelit komunikasi terus berkembang dan makin masif. Perkembangan teknologi roket jarak jauh dan bertenaga tinggi yang semula digunakan dalam perang dingin telah memungkinkan pengiriman satelit komunikasi ke orbit geostasioner yang ada di ketinggian 35.786 km dari Bumi. Penemuan panel surya juga membantu memberi daya gerak satelit, khususnya untuk menuju titik orbit tujuan.
Sedangkan penemuan transistor memungkinkan pembuatan komponen satelit dalam ukuran kecil dan kompak hingga berat satelit pun makin ringan dan mempermurah biaya peluncurannya. Sementara berkembangnya teknologi komputer memungkinkan dilakukannya penghitungan dan pelacakan orbit satelit dengan lebih cepat.
Lompatan berikutnya terjadi saat NASA dan Jepang membiayai satelit Syncom 3 yang menjadi satelit pertama di orbit geostasioner. Satelit yang diluncurkan pada 19 Agustus 1964 itu awalnya dirancang untuk jaringan telepon, tetapi kemudian ditingkatkan kemampuannya hingga bisa mengirim sinyal televisi. Akibatnya, siaran Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo bisa disaksikan di lebih sepertiga wilayah dunia.
Keberhasilan itu mendorong peluncuran satelit komunikasi geostasioner komersial pertama Comsat's Early Bird atau Intelsat I pada 6 April 1965. Menurut David Lopez dan Justus Kilian di Space Capital, 25 April 2022, satelit ini mendorong penggunaan satelit geostasioner secara berkelanjutan melalui pengiriman Intelsat II dan Intelsat III hingga memungkinkan lebih setengan miliar manusia menyaksikan pendaratan manusia pertama di Bulan pada 20 Juli 1969.
Baca juga: Jepang Kembangkan Satelit dari Kayu untuk Kurangi Sampah Antariksa
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F07%2F07%2F5108b67b-8196-47e9-8b82-7d9e0b0012bb_jpg.jpg)
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Indonesia menjadi negara keempat di dunia setelah US, Kanada, dan AS, sekaligus negara berkembang pertama yang menggunakan satelit komunikasi setelah satelit Palapa diluncurkan pada 9 Juli 1976. The New York Times, 8 Juli 1976 menyebut satelit itu digunakan untuk membangun komunikasi di negara kepulauan yang terentang lebih dari 5.000 km.
Harapan untuk pengiriman sinyal lebih besar, jarak jauh, dan bisa diakses oleh mesin dari manapun membuat para ahli juga mengembangkan satelit untuk pengiriman data yang menjadi cikal satelit internet modern saat ini. Sejak ditemukannya surat elektronik atau email pada 1972, komunikasi mode baru ini cepat diterima masyarakat.
Lahirnya internet mengilhami pembuatan satelit komunikasi yang mampu memberikan layanan konektivitas pita lebar. Satelit dengan nama Spaceway itu mulai dikembangkan pada 1993 dan menjadi satelit pertama dengan frekuesi Ka-band. Namun, Spaceway baru diluncurkan pada 2005.
Akhirnya, yang tercatat sebagai satelit komunikasi pertama yang memberikan layanan akses internet adalah e-Bird Eutelsat Communictaion yang diluncurkan pada 27 September 2003. Satelit ini mampu menyediakan layanan pita lebar dan siaran ke wilayah Eropa yang tidak terjangkau layanan pita lebar berbasis terestrial
Kini, layanan akses internet via satelit makin berkembang seiring hadirnya teknologi high throughput satellite (HTS). Teknologi ini membagi area cakupan menjadi beberapa titik pancaran sinyal hingga mampu menghadirkan kapasitas pita lebar lebih besar dibanding satelit konvensional untuk alokasi spektrum yang sama. Konsekuensinya, penggunaan frekuensi menjadi lebih efisien.
Bersamaan dengan pengembangan satelit internet dan teknologi HTS, ilmuwan dan insinyur juga mengembangkan satelit konstelasi yang diletakkan di orbit rendah Bumi, dengan ketinggian antara 200 km sampai 1.200 km. Posisi satelit yang dekat permukaan Bumi membuat latensi atau jeda waktu pengiriman sinyal dan saat sinyal diterima menjadi lebih singkat. Ketinggian yang rendah juga membuat biaya peluncuran pun makin rendah.
Namun, sebelum SpaceX dengan Starlink-nya menguasai pasar satelit internet di orbit rendah Bumi saat ini, banyak perusahaan besar telah membangun sistem serupa. Namun, kendala waktu dan biaya maupun dibutuhkannya banyak satelit untuk bisa mencakup sebagian besar permukaan Bumi membuat banyak usaha tersebut gagal.
Baca juga: Atasi Kesenjangan Digital, SES Kembangkan Konstelasi Satelit Orbit Menengah

Presiden Joko Widodo meninjau lokasi fasilitas produksi roket Space X bersama Elon Musk di pabrik produksi Space X, Boca Chica, Amerika Serikat, Sabtu (14/5/2022) waktu setempat.
SpaceX sejauh ini berhasil karena memiliki perusahaan peluncuran sendiri hingga mampu menekan biaya peluncuran. Namun apakah SpaceX akan berhasil dengan Starlink-nya masih butuh waktu karena banyak negara belum mengizinkan SpaceX memasarkan langsung produknya ke masyarakat atau harus melalui perusahaan lain sebagai pemegang hak labuh.
Kini, dengan semakin masifnya perkembangan teknologi digital, khususnya selama pandemi Covid-19 yang memaksa orang lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, kebutuhan akan layanan internet berkembang pesat. Karena itu, kebutuhan layanan internet via satelit komunikasi akan terus meningkat.
Basis data Union of Concerned Scientists (UCS) Satellite menyebut per 1 Januari 2022 terdapat 4.852 satelit yang mengorbit Bumi dengan 2.224 satelit atau 46 persen diantaranya adalah satelit komunikasi. Sisanya merupakan satelit observasi Bumi, navigasi, dan berbagai keperluan lain.
Industri satelit akan terus berkembang pesat. Euroconsult dalam Space Logistic Market yang dipublikasikan 19 Mei 2022 memperkirakan industri logistik ruang angkasa, termasuk industri satelit, akan menghasilkan pendapatan sebesar 4,4 miliar dollar AS atau Rp 61,6 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS pada 2031.
Peningkatan pasar logistik luar angkasa diperkirakan akan memacu 220 peluncuran per tahun yang mampu menempatkan lebih dari 1.700 satelit di orbit setiap tahunnya. Lonjakan kebutuhan ini setidaknya akan terjadi selama 10 tahun ke depan antara 2022-2031. Selain digerakkan kebutuhan pasar, berkembangnya pasar logistik luar angkasa juga ditopang oleh efisiensi dengan pemangkasan biaya peluncuran satelit, baik akibat ketatnya persaingan usaha maupun digunakannya roket peluncur yang bisa digunakan lagi.
Dalam perkembangan pasar logistik luar angkasa tersebut, Indonesia sebenarnya bisa menjadi pemain, bukan hanya penonton atas kemajuan teknologi yang dikembangkan bangsa lain. Namun hingga lebih dari 46 tahun memiliki satelit, Indonesia masih bergantung pada produk satelit negara lain.
Baca juga: Kontroversi Megakonstelasi Satelit Starlink
Indonesia sejatinya memiliki kemampuan membuat satelit, meski saat ini baru berupa satelit eksperimental. Pengembangan satelit eksperimental menjadi satelit operasional butuh dukungan besar negara dan industri. Tanpa adanya kebijakan afirmatif untuk penggunaan dan penguasaan teknologi satelit dalam negeri, Indonesia akan terus menjadi pasar bagi produk-produk teknologi bangsa lain.