Kesadaran deteksi faktor risiko penyakit jantung sejak usia dini yang masih minim dinilai menjadi penyebab tingginya kematian akibat penyakit tersebut di Indonesia. Padahal, deteksi bisa dilakukan mulai usia anak.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit jantung menjadi penyebab kematian utama di dunia. Di Indonesia, penyakit tersebut bahkan menjadi penyakit yang menimbulkan beban pembiayaan tertinggi. Upaya pengendalian penyakit jantung harus dilakukan sejak dini, antara lain, dengan penapisan pada usia anak dan remaja.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, prevalensi penyakit jantung berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 1,5 persen. Artinya, 15 dari 1.000 orang atau sekitar 2,7 juta penduduk Indonesia didiagnosis menderita penyakit jantung.
Dari Sample Registration System Indonesia 2014, penyakit jantung koroner menjadi penyebab kematian tertinggi kedua setelah stroke. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan pada tahun 2020 mencatat, penyakit jantung menjadi penyakit dengan beban biaya terbesar yang mencapai Rp 10,3 triliun.
Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Sukman Tulus Putra mengatakan, penyakit jantung biasanya ditemukan pada usia tua. Namun, manifestasi penyakit tersebut sebenarnya sudah terjadi pada usia dewasa dan lanjut sebelum usia 60 tahun.
Proses patogenesis aterosklerosis atau penyumbatan pada dinding pembuluh darah akibat penumpukan plak kolesterol yang menjadi penyakit kardiovaskular juga bisa terjadi sejak usia dini, terutama pada masa anak dan remaja. Oleh sebab itu, faktor risiko kardiovaskular termasuk penyakit jantung sudah bisa dideteksi pada usia anak dan remaja.
”Deteksi faktor risiko kardiovaskular secara individual dan intervensi pada masa anak dan remaja merupakan strategi yang amat penting untuk menurunkan risiko penyakit kardiovaskular pada usia dewasa,” katanya, di Jakarta, Senin (11/7/2022).
Sejumlah penelitian yang dilakukan pada anak-anak usia sekolah menunjukkan tingginya faktor risiko kardiovaskular pada anak. Dengan identifikasi dan intervensi faktor risiko kardiovaskular pada anak dan remaja diharapkan kejadian penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner pada usia dewasa bisa dicegah.
Faktor risiko kardiovaskular, termasuk penyakit jantung, sudah bisa dideteksi pada usia anak dan remaja.
Sukman menambahkan, setidaknya ada tiga faktor risiko dari penyakit kardiovaskular, yakni faktor risiko yang dapat diubah, faktor risiko intrinsik, dan faktor risiko yang baru muncul. Faktor risiko yang dapat diubah, antara lain, obesitas, diabetes, perilaku sedentari atau kurang gerak, merokok, dan hipertensi.
Sementara faktor risiko intrinsik meliputi genetik, lingkungan, dan kerentanan (susceptibility). Faktor risiko yang baru muncul dapat berupa inflamasi atau infeksi sistemik, sitokin, dan homosistein. Faktor risiko tersebut menyebabkan disfungsi endotel vaskular sehingga terjadi penurunan produksi NO (nitrogen monoksida), peningkatan respons inflamasi endotel, dan hiperplasia intima.
”Kondisi tersebut berisiko membentuk lesi aterosklerotik yang menyebabkan terjadinya penyakit jantung koroner. Proses tersebut terjadi perlahan dan menahun namun pasti dalam beberapa dekade kehidupan,” kata Sukman.
Upaya mencegah faktor risiko penyakit kardiovaskular pada anak dan remaja dapat dilakukan dengan memperhatikan nutrisi, aktivitas fisik, dan paparan asap rokok. Nutrisi dapat diberikan melalui pemberian air susu ibu atau ASI secara eksklusif sejak bayi lahir setidaknya sampai usia enam bulan.
Aktivitas fisik juga perlu ditingkatkan. Sebab, aktivitas anak yang kurang ditambah dengan paparan tembakau yang berlebihan dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, khususnya penyakit jantung koroner.
”Deteksi faktor risiko kardiovaskular melalui uji tapis pada usia anak dan remaja serta strategi untuk melakukan intervensi merupakan kunci utama dalam menurunkan angka kejadian penyakit kardiovaskular di usia dewasa dan lanjut,” kata Sukman.
Minimnya kesadaran untuk mendeteksi dan mengintervensi faktor risiko kardiovaskular sejak dini dinilai menjadi penyebab masih tingginya angka kematian akibat penyakit tersebut di Indonesia. Karena itu, perlu strategi dan langkah yang konkret dengan melibatkan semua sektor terkait, mulai dari sektor kesehatan, pendidikan, organisasi profesi, dan masyarakat.
Sementara dokter spesialis kardiologi anak yang juga Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso menuturkan, kesehatan jantung bisa dijaga sejak usia dini melalui beberapa upaya. Sebagai contoh, mengajak anak untuk aktif bergerak, selalu bersikap positif, membatasi waktu menonton, dan menjalani pemeriksaan rutin sejak usia dini.
Selain itu, upaya lain bisa dilakukan dengan mengatur menu makan sehat untuk anak, memeriksa asupan garam dan MSG, serta bersikap realistis. ”Langkah-langkah kecil dan perubahan bertahap dapat membuat perbedaan besar dalam kesehatan anak dari waktu ke waktu. Jadi, mulailah dari yang kecil dan tingkatkan,” tuturnya.