Ke Borobudur, yang Penting Ya Foto...

Pariwisata di Candi Borobudur telah disiapkan dengan konsep wisata edukasi. Namun, kebanyakan wisatawan yang datang lebih memilih asyik berfoto tanpa memperhatikan nilai sejarah candi.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Wisatawan asyik berfoto-foto di depan tangga naik menuju pelataran Candi Borobudur, Senin (4/7/2022).

Begitu menjejakkan kaki di pelataran Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Icha (29), wisatawan asal Maluku, langsung mengambil telepon seluler dari balik kantongnya, Senin (4/7/2022). Ia sebenarnya bisa berjalan berkeliling sembari menikmati kemegahan dan keindahan candi dari kejauhan, tetapi swafoto dan kebutuhan membuat reels di Instagram tetap menjadi kepentingan yang harus didahulukan.

Icha datang bersama dua kakaknya. Pada kunjungan pertamanya ini, ia tidak bisa naik ke atas candi karena akses ke atas bangunan candi masih ditutup untuk wisatawan.

Kunjungannya pun relatif singkat. Jika rombongan lain setidaknya memutar satu kali mengelilingi bangunan candi, dia memilih hanya menempuh separuh jalur dan menyudahinya dengan berfoto di depan prasasti penanda pemugaran Candi Borobudur yang ditandatangani Presiden ke-2 RI Soeharto. Setelah itu, dia turun menuju jalur keluar.

Ketika ditanya apakah ingin berjalan-jalan lagi dan menuntaskan rute melingkari candi, dia menggelengkan kepala. ”Sudah cukup,” ujarnya.

Pentingnya kebutuhan swafoto juga diperlihatkan oleh rombongan wisatawan lainnya. Satu keluarga asal Surabaya, Jawa Timur, misalnya, mereka menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk berfoto-foto di sepanjang jalan, mulai dari loket hingga di depan tangga masuk menuju pelataran Candi Borobudur.

Sekitar 15 menit, mereka berpose dan saling memotret dari satu titik ke titik lain di tangga pelataran candi. Setelah sampai di halaman candi, rombongan ini justru kelelahan.

Mereka duduk di bangku yang telah disediakan, berteduh, beristirahat, dan meminum bekal air yang dibawa. Tak lama, mereka pun kembali ”tergoda” untuk berfoto di depan jalan masuk menuju bangunan candi yang kini ditutup oleh pita penghalang.

Tak lama, setelah panas matahari kian menyengat, rombongan ini pun bergeser turun. Walhasil, kunjungan selama sekitar satu jam ini pun hanya diisi dengan aktivitas berfoto.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Rombongan wisatawan asal Spanyol mendengarkan penjelasan pemandu wisata perihal sejarah Candi Borobudur, Senin (4/7/2022)

Vanessa (16), salah seorang pengunjung asal Pekanbaru, Riau, juga mengungkapkan bahwa kunjungannya ke Candi Borobudur cukup dimanfaatkan dengan berfoto-foto di halaman candi saja. Ketika nantinya bangunan candi kembali dibuka, dia tidak memastikan akan tertarik untuk naik.

”Pikir-pikir dulu. Tapi kalau mungkin di atas ada spot selfie (swafoto) yang oke, saya pasti naik,” ujarnya.

Sementara itu, Karsidi (30), pengunjung lainnya, merasa jengkel begitu mengetahui bahwa akses ke bangunan Candi Borobudur ditutup. ”Rasanya kurang puas karena tidak bisa memegang batu candi, tidak bisa berfoto-foto, duduk, dan bersandar di depan stupa,” ujar warga Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jateng, tersebut.

Sekalipun waktu tempuh antara tempat tinggalnya dan candi hanya sekitar 1,5 jam, Karsidi mengaku baru empat kali datang ke Borobudur. Sebelumnya, setiap kali berkunjung ke Borobudur, dia selalu naik hingga ke lantai 10.

Saat berwisata ke Borobudur, dia mengajak neneknya, Painem (70), yang baru pertama kali mengunjungi candi. Mengetahui tidak bisa naik ke bangunan candi, dia pun berusaha menghibur neneknya dengan tiga kali berkeliling dan berfoto-foto di halaman candi.

Juariyah (52), wisatawan asal Purworejo lainnya, mengaku senang dulu masih bisa menikmati masa-masa di mana wisatawan bisa berjalan-jalan di bangunan candi.

Tidak sekadar memanfaatkan segala sudut untuk berfoto, ketika itu, dia pun sempat mencoba menyentuh patung yang ada dalam stupa berongga di Candi Borobudur.

”Entah apa maksudnya dan tujuannya. Namun, karena banyak orang menyarankan hal itu dan banyak wisatawan juga melakukannya, maka saya pun ingin ikut-ikutan melakukan hal yang sama,” ujarnya sembari tertawa.

KOMPAS/REGINA RUKMORINI

Rombongan wisatawan asal Spanyol berpose dan berfoto di depan Candi Borobudur, Senin (4/7/2022). Pengambilan foto dilakukan oleh pemandu wisata yang mendampingi mereka.

Baca juga: Status Warisan Dunia Bukan Pembenaran Pariwisata Massal

Sementara itu, Nadia (35), wisatawan asal Bandung, Jawa Barat, mengatakan, selain berfoto-foto, kunjungan ke Candi Borobudur sebenarnya bisa menjadi wisata bernilai edukasi. Oleh karena itu, sekalipun tidak bisa naik ke bangunan candi, dia merasa tetap perlu menyewa jasa seorang pemandu wisata yang bisa menerangkan perihal sejarah candi kepada dua anaknya.

”Berkunjung ke bangunan candi sebesar ini harus memberikan pesan, muatan pembelajaran bagi anak-anak,” ujarnya.

Nadia, yang berprofesi sebagai pelaku usaha di bidang mode, mengatakan, dirinya sudah berkunjung ke 23 negara. Sebagian dari destinasi yang dikunjungi di luar negeri adalah situs dan cagar budaya.

Namun, aktivitas wisata di tempat-tempat tersebut, terutama di situs, terlihat sangat berbeda, di mana wisatawan dibatasi dengan beragam aturan. Saat berkunjung ke kerajaan di Turki, misalnya, wisatawan tidak diizinkan memotret. Turis yang datang pun wajib mengenakan pakaian sopan dan diminta berkerudung.

Oleh karena itu, dia pun mengaku prihatin ketika di situs warisan dunia Candi Borobudur, pengunjung dibebaskan untuk bertingkah sesukanya. ”Sepertinya, cuma aktivitas wisata di sinilah yang bisa dilakukan dengan sedemikian santainya,” ujarnya.

FERGANATA INDRA RIATMOKO

Wisatawan menaiki obyek wisata Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (30/8/2019). Candi Borobudur merupakan salah satu dari empat destinasi wisata prioritas pemerintah.

Dia juga prihatin mendengar berita tentang perilaku wisatawan yang sering kali sembarangan membuang sampah dan melakukan aksi vandalisme merusak batu candi. Agar kejadian semacam tidak kembali terulang, menurut dia, harus ada aturan yang lebih tegas bagi pengunjung.

”Ketegasan aturan tersebut antara lain bisa dilakukan dengan menetapkan sanksi denda bagi wisatawan yang ketahuan membuang sampah sembarangan di candi,” ujarnya.

Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB) Wiwit Kasiyati mengatakan, faktor dominan pemicu kerusakan Candi Borobudur adalan mass tourism atau kunjungan wisatawan secara massal, yang sebelum pandemi berlangsung tanpa kendali.

Tidak hanya sekadar gesekan alas kaki yang memicu batuan, kerusakan pun terjadi karena kunjungan wisatawan secara massal ini yang dibarengi dengan perilaku mereka melakukan aksi vandalisme dan membuang sampah sembarangan. Wisatawan juga tak segan naik ke atas stupa dan melakukan apa saja asalkan bisa berfoto dengan sudut terbaik di atas bangunan candi.

”Rata-rata kunjungan wisatawan sama sekali tidak memiliki nilai atau tujuan edukasi. Mereka hanya beramai-ramai datang, buru-buru naik ke atas stupa, hanya untuk tujuan foto belaka,” ujarnya.

Koordinator Perlindungan BKB, M Taufik, mengatakan, setiap tahun, BKB mendapatkan alokasi dana pemeliharaan Candi Borobudur sekitar Rp 140 juta. Anggaran itu biasanya habis untuk pengadaan bahan-bahan konservan, seperti obat-obatan penghilang lumut, kerak, serta bahan kimia aseton atau alkohol yang biasanya dipakai untuk menghilangkan bekas coretan-coretan spidol atau sisa permen karet yang ditempelkan di batu candi.

”Anggaran bernilai besar lebih dari Rp 1 miliar biasanya hanya kami dapatkan jika ada kegiatan penanganan kebocoran di candi,” ujarnya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Petugas Balai Konservasi Borobudur bersiap menyemprotkan minyak asiri pada Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, Rabu (22/6/2022). Selama sepekan, minyak asiri disemprotkan ke batuan di Candi Borobudur untuk menghilangkan lumut, kerak, dan jamur. Campuran minyak asiri, surfaktan, dan air dipakai sebagai bahan pembersih yang bersifat ramah lingkungan bagi Candi Borobudur.

Selain karena harus ditangani dalam jangka waktu lama, penanganan kebocoran juga membutuhkan dana besar karena untuk pengadaan bahan-bahan seperti araldit dan lempengan timah hitam yang berfungsi sebagai lapisan kedap air.

Sekalipun tersedia anggaran dan ada kegiatan pemeliharaan untuk menangani setiap dampak kerusakan, tidak semua dampak perilaku pengunjung bisa diatasi dengan mudah dan cepat. Werdi (69), steller atau penyusun batuan candi yang pernah bekerja di BKB, mengatakan, salah satu kesulitan yang sempat dialaminya adalah membersihkan tempelan permen karet. ”Pokoknya, bersihkan terus, sampai bosan,” ujarnya sembari tertawa.

Berbagai ragam kerusakan akan terus terjadi jika aliran wisatawan terus dibiarkan tanpa kendali. Berdasarkan data tahun 2016, total jumlah pengunjung Candi Borobudur terdata mencapai 3.795.300 orang. Jumlah ini terus naik, hingga sebelum pandemi, jumlah pengunjung di tahun 2019, terdata mencapai 3.989.839 orang, di mana sekitar 90 persen di antaranya wisatawan domestik.

Mengikuti peningkatan jumlah pengunjung tersebut, harga tiket masuk pun terus naik. Di tahun 2016, harga tiket masuk untuk wisatawan umum domestik Rp 30.000 per orang, lalu tahun 2017 naik menjadi Rp 40.000 per orang, dan saat ini menjadi Rp 50.000 per orang. Terakhir, publik pun dikejutkan oleh rencana kenaikan harga tiket sebesar Rp 750.000 per orang, yang kemudian dibatalkan.

Baca juga: Konservasi Candi Borobudur

Seiring dengan rencana pembatasan pengunjung, BKB telah melakukan kajian dan menghitung bahwa batasan ideal jumlah pengunjung Candi Borobudur dalam satu hari maksimal sebanyak 1.259 orang. Selain demi alasan kelestarian candi dengan mempertimbangkan daya tampung bangunan candi, angka ini juga ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor kenyamanan kunjungan, di mana pada kondisi itu wisatawan bisa benar-benar belajar tentang nilai-nilai luhur dari Candi Borobudur.

Melihat dari harga tiket dan jumlah wisatawan saja, tidak diragukan, Candi Borobudur memberikan pemasukan wisata yang sungguh besar. Namun, kendali, pembatasan pengunjung, tetap harus dilakukan karena dampak kerusakan yang ditimbulkan tidak bisa dinilai dengan nilai rupiah berapa pun.