Nilai-nilai yang ditanamkan Frans Seda dalam kehidupan sehari-hari menjadi keteladanan yang masih relevan diterapkan saat ini. Saat menduduki jabatan pemerintahan, ia tegas membedakan milik negara dan pribadi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Franciscus Xaverius Seda atau Frans Seda tidak hanya berjasa lewat kiprah politik dan berbagai jabatan pemerintahan yang pernah diembannya. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari juga menjadi keteladanan yang masih relevan diterapkan saat ini.
Frans Seda lahir pada 4 Oktober 1926 di Desa Bhera, Kecamatan Mego, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT). Semasa hidupnya, ia pernah menjabat Menteri Perkebunan, Menteri Keuangan, dan Menteri Perhubungan.
Dalam bidang politik, ia pernah menjadi Ketua Umum Partai Katolik serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Kisah kehidupan Frans diceritakan dalam buku berjudul ”Putra Nusa Bunga & Wastra NTT, Mengenang Sosok Frans Seda”.
Buku setebal 368 halaman itu ditulis oleh Sri Sintasari Iskandar, Diana Damayanti, dan Benny Gratha. Buku yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas tersebut dilengkapi puluhan gambar wastra asal NTT. Wastra tersebut merupakan koleksi istri Frans Seda, Johanna Maria Pattinaja Seda.
Sri Sintasari Iskandar mengatakan, selain membahas kisah Frans Seda ketika menduduki jabatan pemerintahan dan politik, buku itu juga ditulis melalui pendekatan keluarga. Jadi, buku itu menceritakan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.
”Kami menelusuri cerita Frans Seda secara pribadi, bukan sebatas sebagai menteri, tetapi juga cara berpikirnya dan perilakunya dalam keluarga. Beliau orang jujur. Keteladanannya masih relevan hingga sekarang,” ujarnya dalam peluncuran buku tersebut di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Selasa (5/7/2022).
Sri menuturkan, rencana penulisan buku ini dimulai pada 2019. Pengerjaannya terkendala pandemi Covid-19 sehingga buku itu baru rampung dua tahun kemudian.
Selain membahas kisah Frans Seda ketika menduduki jabatan pemerintahan dan politik, buku itu juga ditulis melalui pendekatan keluarga. Jadi, buku itu menceritakan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari
Menurut Sri, gambar dan cerita tentang wastra menjadi pembeda buku tersebut dari buku-buku tentang Frans Seda sebelumnya. Wastra-wastra itu bukan sekadar koleksi Johanna, tetapi merupakan upayanya dalam membantu perekonomian para penenun lokal di NTT.
”Penenun bisa menyekolahkan anaknya dari menjual wastra. Koleksi Ibu (Johanna) sangat banyak, mayoritas dari Flores dan daerah lain di NTT,” ujarnya.
Benny Gratha menuturkan, salah satu tantangan penulisan buku itu adalah mengkurasi gambar wastra yang akan dimuat. Keterbatasan halaman membuat hanya 82 gambar wastra yang diakomodasi. Padahal, koleksi kain tenun Johanna mencapai 2.500 helai.
”Jadi, kami pilih yang paling menarik untuk ditampilkan di buku. Motif, teknik pembuatan, dan kegunaannya sangat beragam,” ujarnya.
Sejarawan Asvi Warman Adam menuturkan, selain di bidang politik, Frans juga berkontribusi dalam bidang pendidikan dan pers. Ia turut mendirikan Universitas Katolik Atma Jaya dan harian Kompas.
Asvi menyebutkan, ketika menduduki jabatan pemerintahan, Frans sangat tegas membedakan milik negara dan pribadi. Ia pernah menolak saat putrinya, Francisia Saveria Sika Ery Seda, diantar menggunakan mobil dinas.
“Bagi beliau, cukup diantar pembantu karena bensin mobil dinas itu dibiayai oleh negara. Keteladanan seperti ini jelas masih aktual dan relevan. Kita tahu, saat ini, banyak mobil dinas digunakan untuk kepentingan pribadi,” jelasnya.
Wakil Pemimpin Redaksi Kompas Paulus Tri Agung Kristanto, mengatakan, Frans Seda merupakan salah satu pendiri harian Kompas. Jenderal Ahmad Yani berkomunikasi dengan Frans yang sedang menjabat sebagai Ketua Umum Partai Katolik untuk membuat media guna membendung berita dari media beraliran komunis.
”Pada akhirnya, bukan melahirkan koran untuk Partai Katolik, tetapi harian umum. Itulah mengapa Kompas berbicara mengenai keindonesiaan dan humanisme,” katanya.
Ery Seda berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan dan peluncuran buku itu. Ia berharap, buku tersebut dibaca oleh generasi muda untuk melihat Indonesia dari perspektif berbeda.
”Indonesia punya banyak keberagaman, termasuk dari wastranya. Saya berharap, keberagaman itu bisa dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan bersama,” ujarnya.