Puasa Intermiten Membantu Menyembuhkan Kerusakan Saraf
Penelitian terbaru yang diterbitkan di Nature menunjukkan bagaimana puasa dapat membantu penyembuhan saraf.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Puasa intermiten mengubah aktivitas bakteri usus dan meningkatkan kemampuan mereka untuk pulih dari kerusakan saraf. Eksperimen menggunakan hewan percobaan tikus ini memberi informasi penting mengenai manfaat puasa intermiten sebagai pengobatan bagi manusia.
Penelitian baru ini diterbitkan di Nature edisi 22 Juni 2022. Elisabeth Serger dari Department of Brain Sciences, Imperial College London (ICL), menjadi penulis pertama kajian ini.
Para peneliti mengamati bagaimana puasa menyebabkan bakteri usus meningkatkan produksi metabolit yang dikenal sebagai 3-Indolepropionic acid (IPA), yang diperlukan untuk regenerasi serabut saraf yang disebut akson. Struktur seperti benang ini terdapat di ujung sel saraf yang mengirimkan elektrokimia sinyal ke sel lain dalam tubuh.
Mekanisme baru ini ditemukan pada tikus dan diharapkan juga berlaku untuk percobaan manusia di masa depan. Tim menyatakan bahwa bakteri yang menghasilkan IPA, Clostridium sporogenesis, ditemukan secara alami di usus manusia serta tikus. IPA juga ada dalam aliran darah manusia.
”Saat ini tidak ada pengobatan untuk orang dengan kerusakan saraf di luar rekonstruksi bedah, yang hanya efektif dalam persentase kecil kasus, mendorong kami untuk menyelidiki apakah perubahan gaya hidup dapat membantu pemulihan,” kata penulis senior studi, Simone Di Giovanni, profesor dari Imperial's Department of Brain Sciences, dalam keterangan tertulis yang dirilis (ICL), pekan lalu.
”Puasa intermiten sebelumnya telah dikaitkan oleh penelitian lain dengan perbaikan luka dan pertumbuhan neuron baru, tetapi penelitian kami adalah yang pertama menjelaskan dengan tepat bagaimana puasa dapat membantu menyembuhkan saraf,” sebut Giovanni.
Serger dan tim menulis, studi ini menilai regenerasi saraf tikus di mana saraf sciatic, saraf terpanjang yang berjalan dari tulang belakang ke bawah kaki, dihancurkan. Setengah dari tikus menjalani puasa intermiten, yaitu makan sebanyak yang mereka suka diikuti dengan tidak makan sama sekali pada hari-hari alternatif.
Adapun setengah lainnya bebas makan tanpa batasan sama sekali. Diet ini berlanjut selama 10 hari atau 30 hari sebelum operasi mereka dan pemulihan tikus dipantau 24 hingga 72 jam setelah saraf terputus.
Hasilnya ditemukan, panjang akson yang tumbuh kembali diukur dan sekitar 50 persen lebih besar pada tikus yang telah berpuasa. Di Giovanni mengatakan, ”Saya pikir kekuatan ini adalah yang membuka bidang baru di mana kita harus bertanya-tanya: apakah ini puncak gunung es? Apakah akan ada bakteri atau metabolit bakteri lain yang dapat mendorong perbaikan?"
Para peneliti kemudian mempelajari bagaimana puasa menyebabkan regenerasi saraf ini. Mereka menemukan bahwa ada tingkat metabolit spesifik yang secara signifikan lebih tinggi, termasuk IPA, dalam darah tikus yang dibatasi dietnya.
Untuk mengonfirmasi apakah IPA menyebabkan perbaikan saraf, tikus diobati dengan antibiotik untuk membersihkan usus mereka dari bakteri apa pun. Mereka kemudian diberi strain sporogenesis Clostridium yang dimodifikasi secara genetik yang dapat atau tidak dapat menghasilkan IPA.
”Ketika IPA tidak dapat diproduksi oleh bakteri ini dan hampir tidak ada dalam serum, regenerasi terganggu. Ini menunjukkan bahwa IPA yang dihasilkan oleh bakteri ini memiliki kemampuan untuk menyembuhkan dan meregenerasi saraf yang rusak,” kata Di Giovanni.
Diharapkan hal ini ke depan bisa memberikan perspektif baru mengenai kemanjuran IPA dan puasa intermiten sebagai pengobatan potensial pada manusia.
Yang penting, ketika IPA diberikan kepada tikus secara oral setelah cedera saraf siatik, regenerasi dan peningkatan pemulihan diamati antara dua dan tiga minggu setelah cedera.
Tahap selanjutnya untuk penelitian ini adalah menguji mekanisme cedera tulang belakang pada tikus serta menguji apakah pemberian IPA lebih sering akan memaksimalkan kemanjurannya.
”Salah satu tujuan kami sekarang adalah menyelidiki secara sistematis peran terapi metabolit bakteri,” kata Di Giovanni.
Studi lebih lanjut perlu menyelidiki apakah IPA meningkat setelah puasa pada manusia. Diharapkan hal ini ke depan bisa memberikan perspektif baru mengenai kemanjuran IPA dan puasa intermiten sebagai pengobatan potensial pada manusia.