Komitmen semua pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengelola situs-situs warisan dunia secara berkualitas dan berkelanjutan.
Oleh
Tim Kompas
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen melindungi warisan dunia tercantum di Konvensi Warisan Dunia 1972. Konvensi tersebut mendorong identifikasi, perlindungan, dan pelestarian warisan budaya dan alam di seluruh dunia yang dianggap memiliki nilai luar biasa bagi kemanusiaan.
Penetapan status warisan dunia dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Suatu situs dapat diakui sebagai warisan dunia jika memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV). OUV menakar signifikansi budaya dan/atau alam suatu situs terhadap peradaban manusia.
Menurut Ketua Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia, Soehardi Hartono, status warisan dunia menaikkan prestise suatu situs dan memunculkan daya tarik pariwisata. ”Masalahnya, kita sering lupa mengelola pengunjung sehingga yang terjadi malah eksploitasi berlebih. Situs menjadi "tambang emas atau batubara". Di sisi lain, tanggung jawab memelihara warisan dunia diabaikan,” kata Soehardi, Kamis (23/6/2022).
Menurut dia, tidak semua situs mesti ”dijual” untuk pariwisata massal. Selama ini, pelayanan pariwisata berkualitas dilupakan, yakni saat pengunjung dapat betul-betul menikmati situs dan menyerap nilai-nilai yang dimiliki warisan dunia.
Ancaman serius
Fenomena lonjakan wisatawan menjadi ancaman serius situs-situs warisan dunia di Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah, rata-rata didatangi 10.000-an pengunjung per hari. Banyaknya turis yang naik ke candi membuat batuan tangga candi aus.
Kerumunan pengunjung juga sulit diawasi. Akibatnya, vandalisme tak terhindarkan.
Taman Nasional (TN) Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), juga disorot karena rencana pengembangan kawasan strategis pariwisata nasionalnya. Pulau Rinca yang menjadi bagian dari TN Komodo akan dijadikan ”Jurrasic Park”. Pembangunan ini bisa berdampak negatif ke OUV TN Komodo.
”Dalam mengembangkan pariwisata ikonik seperti TN Komodo, tujuannya tidak hanya memuaskan mata pengunjung. Namun, yang perlu dipikirkan adalah keberlanjutan ekosistem komodo. Bayangkan, kalau komodo musnah karena overcrowded,” ujar Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong pada konferensi pers ”Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Ekosistem di Taman Nasional Komodo”, di Jakarta, Senin (27/6).
Menurut Alue, pengembangan pariwisata di TN Komodo idealnya tidak bersifat antroposentris semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekosentris. Oleh karenanya, kelestarian ekosistem tidak boleh diabaikan demi mengejar nilai ekonomi.
”Kalau kita cenderung ke mass tourism (pariwisata massal), akan mengganggu alamnya. Sangat penting untuk mendengarkan kajian daya dukung dan daya tampung sehingga bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan ke depan,” jelasnya.
konservasi dan pariwisata di warisan dunia bisa berjalan seimbang jika ada pengelolaan pengunjung. Pengelolaan ini termasuk membatasi jumlah pengunjung sesuai kapasitas ideal situs, mengatur perilaku pengunjung, hingga rencana sirkulasi pengunjung. (Marsis Sutopo)
KLHK bersama Pemprov NTT menjalankan program penguatan fungsi TN Komodo untuk mempertahankan nilai jasa ekosistem demi konservasi berkelanjutan. Hasil kajian itu merekomendasikan jumlah pengunjung ideal ke Pulau Komodo sekitar 219.000 orang dan ke Pulau Padar 39.420 orang per tahun.
Doni Parera, pegiat wisata di Labuan Bajo, berharap, komitmen pemerintah untuk menjaga ekosistem komodo tidak hanya retorika belaka. Sebagai contoh, pemerintah mengizinkan tiga perusahaan melakukan investasi di kawasan itu. Ia beranggapan, investasi yang sekadar berorientasi pada keuntungan berpotensi menabrak prinsip konservasi.
Menurut Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Marsis Sutopo, konservasi dan pariwisata di warisan dunia bisa berjalan seimbang jika ada pengelolaan pengunjung. Pengelolaan ini termasuk membatasi jumlah pengunjung sesuai kapasitas ideal situs, mengatur perilaku pengunjung, hingga rencana sirkulasi pengunjung.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU), Itje Chodidjah mengatakan, begitu ada penetapan warisan dunia, seluruh dunia wajib menjaga. ”Yang sering terjadi, pemda maupun kementerian/lembaga punya kepentingan lain. Mereka sering kali tidak terinformasikan tentang situs dan kewajiban menjaga situs. Akhirnya, terjadi miskonsepsi. Ini daerah kami, kok mau membangun tidak boleh? Ini yang menjadi pekerjaan rumah bersama. Ada kewajiban untuk menjaga warisan dunia,” ucapnya. (SKA/FRN/TAM/EGI/ELN/JOL/HRS/ABK)