Mama-mama di Misool, Papua Barat, akan melakukan ”sasi” yang hanya dilakukan oleh perempuan. Mereka berharap bisa menjadi perempuan berdaya dengan menjaga alamnya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Mama-mama di tanah Papua patut bersanding dengan aktris Gal Gadot di poster film Wonder Woman. Betapa tidak? Mereka bisa menarik perahu, mendayung, melaut, membuka kebun, apalagi mengurus rumah tangga. Kemandirian mama-mama mendapat perhatian. Kini, mereka diberi ruang untuk melaksanakan sasi di kampung.
Sasi adalah tradisi membuka dan menutup sebagian wilayah perairan dalam periode waktu tertentu. Tujuannya untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam. Saat buka sasi, warga diperkenankan mengambil sumber daya laut secukupnya. Sebaliknya, masa tutup sasi melarang warga mengambil hasil laut. Pelanggar bakal dihukum secara adat.
Sasi umumnya melibatkan laki-laki. Itu sebabnya sasi yang didominasi perempuan termasuk langka.
Di Kampung Aduwei, Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, sasi mama-mama akan dilaksanakan. Kegiatan ini difasilitasi oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) yang sebelumnya mendampingi sasi oleh perempuan-perempuan di Kampung Kapatcol, Misool Barat.
Wacana sasi perempuan di Kampung Aduwei disambut antusias. Pada Rabu (29/6/2022), para perempuan kampung bercerita dengan semangat bahwa mereka telah melakukan survei perairan beberapa pekan lalu. Namun, survei terkendala cuaca buruk. Hujan membuat air laut keruh. Mereka pun urung menyelam untuk mendata potensi laut di lokasi survei.
Dian Fatot (30) masih ingat betul keseruan survei saat itu. Anggota tim survei kala itu semuanya perempuan. Ada pula yang sudah memiliki anak. Setelah memastikan pekerjaan rumah selesai, mereka berkumpul dan melaut bersama.
”Kemarin kami perempuan-perempuan motor race (melaut dengan kapal) sendiri dengan johnson (motor tempel). Seharusnya kami menyelam untuk cek ada ikan-ikan apa saja di laut, tetapi tidak jadi,” kata Dian saat ditemui di Kampung Salafen, Misool Utara.
Para perempuan Kampung Aduwei lain mendengarkan Dian sambil mengangguk-angguk. Walau diam saja, senyum tipis di bibir mereka seolah menunjukkan betapa bangganya mereka karena terlibat pekerjaan penting di kampung.
Dian mengatakan, mama-mama di kampung sesungguhnya perempuan yang serba bisa. Namun, pelibatan perempuan selama ini kebanyakan hanya untuk urusan ”belakang” alias domestik. Padahal, mereka mendamba agar bisa berperan lebih untuk keluarga dan kampung.
”Mama-mama ini tangguh. Kami pergi melaut bisa, membuka kebun bisa, memancing pun bisa. Perempuan bisa maju dan berdaya, tidak hanya di dapur saja,” ujar Dian.
Replikasi
Sasi mama-mama di Kampung Aduwei sesungguhnya adalah upaya mereplikasi kegiatan serupa di Kampung Kapatcol yang berlangsung beberapa tahun lalu. Sasi mama-mama di Kapatcol tergolong sukses. Ini tampak dari meluasnya wilayah sasi mama-mama di sana.
Jika gereja atau adat sudah terlibat, orang akan takut (berbuat pelanggaran) karena akan berhubungan dengan nyawa, (Kristian Thebu)
Bird’s Head Seascape Senior Manager YKAN Lukas Rumetna mengatakan, sebelumnya masyarakat adat atau pemilik hak ulayat mesti memberi izin agar mama-mama bisa melakukan sasi. Akhirnya masyarakat mengizinkan mama-mama melakukan sasi di wilayah perairan 100 meter x 100 meter.
”Karena sasi berhasil, warga memberi kepercayaan lebih dan wilayah sasi mama-mama diperluas menjadi 200 meter x 200 meter,” tutur Lukas.
Kompas mencatat bahwa sasi pada tahun 2014 di Kapatcol menghasilkan pendapatan Rp 6 juta yang diperoleh dari penjualan teripang, lobster, dan lola. Hasil sasi digunakan untuk berbagai hal, termasuk menyekolahkan seorang pemuda kampung yang kala itu ingin menjadi polisi.
YKAN lantas mempertemukan mama-mama Kampung Kapatcol dengan mama-mama Kampung Aduwei untuk berbagi cerita. Mama-mama Kapatcol pun memotivasi para perempuan Aduwei. Sebab, menurut Lukas, para perempuan di Aduwei sempat khawatir pemilik hak ulayat tidak memberi izin untuk sasi. Dorongan mama-mama Kapatcol akhirnya mengangkat semangat mama-mama Aduwei.
Warga Kampung Aduwei, Imelda Elwot (52), menambahkan, sasi sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu oleh pihak gereja. Sasi ini melibatkan keluarga-keluarga penghuni kampung. Namun, baru kali ini ada sasi perempuan.
Ketua Dewan Adat Suku Maya Kristian Thebu menambahkan, ada tiga pihak yang mesti diajak terlibat jika mau berbuat sesuatu di tanah Papua. Ketiganya adalah pemerintah kampung, tokoh agama, dan tokoh adat. Sasi termasuk kegiatan yang mesti mendapat restu dari tiga pihak tersebut.
”Gereja terlibat karena nanti gereja yang akan doakan tempat itu (wilayah sasi). Kalau tidak lewat adat atau gereja, orang bisa sengaja masuk (wilayah sasi). Namun, jika gereja atau adat sudah terlibat, orang akan takut (berbuat pelanggaran) karena akan berhubungan dengan nyawa,” kata Kristian yang juga Program Manager Yayasan Konservasi Indonesia Raja Ampat.
Harapan
Perempuan Kampung Aduwei saat ini berencana melakukan survei lagi secepatnya untuk mendata potensi laut untuk sasi. Potensi yang tercatat sejauh ini antara lain lobster, teripang, dan ikan batu laga. Mereka berharap agar sasi bakal membuat laut tetap lestari dan pada akhirnya menghidupkan warga.
”Dulu, ada banyak sekali ikan sampai berserakan di pantai. Walau ikan masih banyak, kondisi sudah tidak seperti dulu,” kata Dian.
Sementara itu, Imelda berharap agar sasi pada akhirnya membuat ia menjadi perempuan berdaya dan ”menghasilkan” bagi keluarga. Ia berharap agar ketujuh anaknya bisa mengenyam pendidikan hingga tuntas. Semoga laut mendengar doamu, wahai mama-mama tangguh.