Konser musik di Kebun Raya Bogor menjadi sorotan publik. Meski pengelola mengklaim tak ada tanaman yang rusak, wisata massal perlu dievaluasi untuk meminimalkan dampak negatif bagi kawasan konservasi tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·6 menit baca
Pusat konservasi tumbuhan Kebun Raya Bogor (KRB) kembali mendapat sorotan di media sosial setelah menjadi lokasi konser musik Swaraya selama tiga hari pada 24-26 Juni 2022. Beberapa akun di media sosial mengunggah kondisi rumput di area Ecodome KRB rusak dan berlumpur karena diinjak oleh penonton konser ataupun pihak penyelenggara.
Selama dua hari terakhir berlangsungnya acara tersebut, cuaca di Bogor memang diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat sejak sore sampai malam hari. Meski penonton diwajibkan duduk dan dilarang berdiri saat acara berlangsung, kondisi hujan deras tetap berdampak terhadap lokasi konser yang merupakan ruangan terbuka.
Pantauan langsung pada Sabtu (2/7/2022) atau satu minggu setelah acara, area Ecodome sudah bersih dari lumpur dan kondisi tanah mulai mengeras. Meski belum menghijau secara keseluruhan, rumput di area tersebut kini sudah mulai tumbuh dan tertata kembali. Pengelola juga masih memberikan batas larangan masuk bagi pengunjung ke area Ecodome.
Tiga bulan terakhir menyusul melandainya Covid-19, pihak swasta pengelola KRB, yakni PT Mitra Natuna Raya (MNR), beberapa kali mengadakan acara musik, seni, budaya, hingga festival dan bazar. Namun, acara konser musik yang bertajuk ”Sewaktu Bermusik” dan ”Sunset di Kebun” diselenggarakan dengan jumlah penonton yang terbatas.
Saat masih dikelola sepenuhnya oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang sekarang melebur ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), acara non-konservasi atau penelitian juga sering digelar di KRB. Bahkan, sebelum pandemi Covid-19, KRB selalu menjadi tempat berlangsungnya kegiatan keagamaan seperti shalat Id saat hari raya Idul Fitri.
Catatan ini menunjukkan KRB kerap menjadi lokasi berlangsungnya acara musik, seni, budaya, dan keagamaan yang diselenggarakan pengelola ataupun pihak luar. Acara tersebut dimungkinkan digelar di KRB mengingat rekreasi merupakan salah satu fungsi utama kebun raya di Indonesia selain tempat konservasi, penelitian, dan edukasi.
General Manager Corporate Communication and Security PT Mitra Natuna Raya Zaenal Arifin memastikan kondisi KRB seusai jalannya konser tidak seburuk yang beredar di media sosial. Titik kerusakan bukan di semua area konser, melainkan hanya di akses masuk dan keluar penonton. Ia pun beralasan kondisi becek dan berlumpur wajar terjadi karena hujan deras yang mengguyur Bogor selama dua hari terakhir acara.
”Jadi, tanah itu jika hujan dan becek kemudian diinjak pasti akan naik ke permukaan menutupi rumput. Pakar perawatan tanaman di KRB menyebut kondisi ini secara alami akan rapi kembali bila terkena hujan deras selama dua hari,” ujarnya.
Zaenal juga memastikan bahwa tidak ada satu pun tanaman koleksi yang rusak seusai konser musik Swaraya selama tiga hari di KRB. Sebab, pihak pengelola KRB dan penyelenggara acara telah memberikan pagar pembatas dan sekat khusus untuk tanaman koleksi tersebut.
”Upaya preventif dan perawatan selalu dilakukan setiap selesai acara pada malam hari. Ada sekitar 50 sampai 100 orang untuk menyiram rumput dan membersihkan lumpur atau sampah. Semua harus sudah bersih pada pagi hari karena area tersebut menjadi jalur keluar masuk Presiden ke Istana Bogor,” ucapnya.
Upaya preventif dan perawatan di semua kawasan KRB ini tidak hanya dilakukan saat ada acara khusus, tetapi juga ketika hari-hari biasa. Perawatan ini sangat penting karena beberapa pengunjung khususnya anak-anak terkadang belum mengetahui larangan saat mengunjungi KRB seperti merusak fasilitas, termasuk mencongkel tanah dan rumput.
Evaluasi
Terlepas dari sorotan masyarakat di berbagai media, Zaenal menyatakan bahwa PT MNR yang baru dua tahun mengelola KRB akan tetap mengevaluasi acara musik tersebut. Evaluasi akan menitikberatkan pada jumlah pengunjung yang saat itu mencapai 3.000 penonton.
”Acara kemarin menjadi evaluasi bagi kami terkait kapasitas maksimal dan sepertinya 3.000 penonton terlalu penuh. Area Ecodom sendiri berkapasitas 20.000 orang bila berdiri. Ke depan mungkin akan lebih dibatasi jika diizinkan menyelenggarakan acara serupa,” ucapnya.
Penyelenggara acara seni di KRB dipastikan harus mematuhi prosedur standar operasi (SOP) yang berlaku. Salah satu aturan utama ialah lokasi berlangsungnya acara bukan di area tanaman koleksi. Area yang biasa digunakan untuk acara dan bebas dari tanaman koleksi meliputi Taman Capelan, Taman Astrid, Taman Sujana, dan area Ecodom.
Agar fungsi utama KRB tetap terjaga, pengelola juga akan meminta pengisi acara seni atau musik untuk memasukkan aspek edukasi dan konservasi. Hal ini juga sudah dilakukan saat konser musik Swaraya dengan memberikan bibit pohon kepada pengisi acara dan menyampaikan pesan konservasi kepada para penonton.
Menurut Zaenal, seluruh upaya ini bagian dari promosi sekaligus ajakan untuk mengunjungi kebun raya kepada masyarakat khususnya generasi milenial. Kunjungan masyarakat dari golongan milenial diakui semakin meningkat setelah pengelola meningkatkan kualitas fasilitas dan promosi.
”Pada dasarnya tujuan acara musik Swaraya ialah ingin mengajak anak muda untuk mencintai kebun raya dan tumbuhan. Mereka perlu mengetahui bahwa di kebun raya banyak sekali pengetahuan tentang tumbuhan hayati,” katanya.
Wisata khusus
Guru Besar Bidang Rekreasi Alam dan Ekowisata IPB University Hariani Muntasibmemandang bahwa kerusakan rumput akibat konser musik di KRB merupakan imbas dari pengelolaan aspek rekreasi yang mengarah ke wisata massal. Padahal, sebagai tempat konservasi di luar habitat asli atau eksitu, pengelolaan aspek rekreasi di KRB harus diarahkan ke wisata khusus dengan jumlah pengunjung yang terbatas.
Selama ini pola pikir pengelolaan rekreasi selalu tentang wisata massal. Padahal, kawasan konservasi eksitu sebenarnya memiliki keunggulan dan keunikan sendiri yang bisa dikemas dengan sumber daya utama, yakni keanekaragaman tumbuhan.
Tujuan utama pendirian KRB lebih dari 200 tahun lalu ialah sebagai tempat koleksi tumbuhan dari seluruh dunia. Oleh karena itu, menurut Hariani, ruang lingkup pengembangan aspek lainnya seperti penelitian, edukasi, wisata, hingga jasa lingkungan juga tidak boleh lepas dari tujuan utama pendirian KRB.
”Selama ini pola pikir pengelolaan rekreasi selalu tentang wisata massal. Padahal, kawasan konservasi eksitu sebenarnya memiliki keunggulan dan keunikan sendiri yang bisa dikemas dengan sumber daya utama, yakni keanekaragaman tumbuhan,” tuturnya.
Ia pun menekankan agar pengembangan aspek rekreasi di seluruh kebun raya di Indonesia tidak disandingkan dengan praktik di luar negeri. Sebab, kebun raya di luar negara memiliki karakteristik yang didukung dengan kondisi empat musim. Indonesia sebagai negara dua musim juga harus mengembangkan keunikan dan karakteristiknya sendiri.
Hariani menyebut bahwa upaya menarik masyarakat untuk mengunjungi KRB, tetapi dengan kegiatan wisata massal tidak akan berpengaruh signifikan terhadap pemahaman konservasi. Cara terbaik adalah dengan membuat eksklusivitas wisata yang menargetkan kelompok-kelompok tertentu sehingga mereka yang mengunjungi kebun raya benar-benar sudah memiliki kesadaran dan pemahan tersendiri terkait aspek konservasi.
Agar KRB kembali ke marwah utamanya, perubahan pola pikir dalam pengembangan aspek rekreasi mutlak dilakukan. Semua pihak harus mengembangkan wisata khusus dan terbatas yang benar-benar mengedepankan aspek konservasi agar kebun raya terbesar dan tertua di Asia Tenggara ini tetap terjaga hingga puluhan atau bahkan ratusan tahun ke depan.