Misool Utara Juga Ingin Menjaga “Bapak” Raja Ampat
Perairan di Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat bakal ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Penetapan itu diharapkan terlaksana tahun ini.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
Tabuhan tifa dan suara suling menggema di salah satu sudut Kabupaten Raja Ampat dari pagi, kadang hingga dini hari. Kesenian seruling tambur itu penanda konsolidasi lima kampung yang sepakat menjadikan lingkungan mereka sebagai kawasan konservasi perairan.
Akhir Juni 2022, sinar matahari menyengat Salafen, sebuah kampung di tepi laut di Distrik Misool Utara, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Namun, sekelompok pemuda tampak tidak terganggu kala kaki telanjang mereka menapaki aspal panas. Dengan punggung berkilat karena keringat, mereka memanggul dan menggebuk tifa, serta meniup suling keliling kampung. Penonton menari-nari di pinggir jalan.
Pawai suling tambur ini melibatkan lima kelompok yang mewakili kampung Salafen, Waigama, Solal, Aduwei, dan Atkari. Kelimanya berada di Misool Utara.
Kelihaian mereka memainkan seruling tambur itu sebenarnya dilombakan. Selain suling tambur, ada lagi lomba mendayung, memanah, menghias kapal, hingga tarik tambang antarkampung. Lomba tersebut menyemarakkan festival budaya pertama di Misool Utara yang berlangsung pada 28-29 Juni 2022.
Yang menjadi tuan rumah festival ini adalah Kampung Salafen. Panitia sudah menyiapkan penginapan dan dapur umum buat peserta dari kampung-kampung lain yang datang sebelum festival dimulai.
Festival budaya sejatinya digelar untuk merekatkan solidaritas lima kampung untuk satu tujuan: konservasi perairan. Budaya menjadi media pengingat jati diri orang di tanah Papua yang hidupnya tidak bisa dipisahkan dari laut dan tanah. Laut diyakini sebagai bapak, sementara darat adalah mama. Keduanya mesti dijaga karena telah menghidupi anak-anaknya.
Ketua Dewan Adat Suku Maya Kristian Thebu pada Rabu (29/6/2022) mengatakan, 70 persen kehidupan masyarakat adat di tanah Papua tergantung dari laut. Namun, kelestarian laut terancam sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Orang-orang datang ke perairan Papua Barat, lantas mengeruk hasil laut antara lain dengan racun atau bom ikan.
Bom merusak terumbu karang yang menjadi habitat biota laut. Jika terumbu karang rusak, rusak pula ekosistem laut.
Sepanjang 2021 hingga awal 2022, Direktorat Polisi Perairan dan Udara Polda Papua Barat menetapkan 21 tersangka pengeboman ikan. Rata-rata tersangka adalah nelayan yang berdomisili di Kota Sorong (Kompas.id, 18/1/2022).
Adapun Raja Ampat disebut sebagai jantung Segitiga Karang Dunia. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 69,21 persen karang dunia. Ditemukan 533 jenis karang dan dua di antaranya jenis endemik Raja Ampat.
Perairan Raja Ampat juga menjadi rumah bagi 699 jenis moluska, lima jenis penyu, setidaknya 1.580 jenis ikan karang, serta 15 jenis mamalia laut yang terdiri dari paus, lumba-lumba, dan duyung. Kekayaan laut ini disebabkan oleh keragaman habitat di Raja Ampat, mulai dari lamun, terumbu karang, mangrove, hingga celah dalam di pulau-pulau.
Bird’s Head Seascape Senior Manager Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Lukas Rumetna mengatakan, perusak laut ada yang datang dari pulau atau provinsi lain. Dulu, penduduk lokal sulit melawan karena diancam para perusak.
Pada akhirnya, penduduk lokal yang merugi. Kerusakan laut membuat ikan sulit didapat. Penduduk mesti melaut ke tempat yang jauh. Biaya yang dikeluarkan untuk bahan bakar perahu pun semakin besar.
Demi menjaga laut, masyarakat di lima kampung Misool Utara sepakat menjadikan perairan mereka sebagai kawasan konservasi.
“Kami (The Nature Conservancy Indonesia) pernah melakukan survei pada 2007-2011. Hasilnya, 95 persen penduduk lokal melaut untuk keperluan sehari-hari, namun hanya menikmati 5 persen hasil laut. Sementara itu, ada 5 persen orang luar yang melaut di sini, tapi memanfaatkan 95 persen hasil alam,” ujar Lukas.
Kawasan konservasi
Perairan Misool Utara pun tak lepas dari kekayaan laut, seperti teripang, duyung, pari manta, dan hiu paus. Demi menjaga laut, masyarakat di lima kampung Misool Utara sepakat menjadikan perairan mereka sebagai kawasan konservasi.
Pada Maret 2018, kelima kampung menyatakan perairan mereka sebagai kawasan konservasi adat melalui deklarasi adat di Pulau Muslat, Misool Utara. Luas kawasan konservasi adat ialah 313.708 hektar (ha). Sebelumnya lagi, masyarakat telah memiliki dan menjalankan tradisi sasi untuk menjaga laut.
Kini, masyarakat bersama dewan adat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan Pemprov Papua Barat sepakat menjadikan Misool Utara sebagai kawasan konservasi perairan. Festival budaya yang dilakukan di Kampung Salafen dilanjutkan dengan konsultasi publik yang diikuti warga dari lima kampung.
Konsultasi publik ini untuk sosialisasi hasil kajian Tim Kelompok Kerja Penyusun Rencana Zonasi Kawasan Konservasi Daerah Misool Utara. Tim ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Papua Barat. Menurut kajian tim pokja, luas kawasan konservasi perairan yang diusulkan adalah 308.853 ha.
Kawasan konservasi perairan ini rencananya dibagi menjadi beberapa zona. Pertama, zona inti yang melarang siapa pun untuk melintas dan menangkap ikan. Kedua, zona pemanfaatan terbatas yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata, penelitian, pendidikan, atau jalur pelayaran. Namun, siapa pun dilarang mengambil ikan atau biota laut lain di situ.
Ketiga, zona pemanfaatan terbatas yang mendukung penangkapan ikan dan budidaya ramah lingkungan. Keempat, zona lain yang mendukung konservasi dengan kearifan lokal seperti sasi.
Menurut Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut dan Pengelolaan Ruang Laut dan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Papua Barat, Jefry Heumasse, Misool Utara akan diusulkan sebagai kawasan konservasi perairan secepatnya. Penetapan kawasan konservasi perairan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan diharapkan terlaksana tahun ini.
Raja Ampat telah memiliki enam kawasan konservasi perairan, yakni Kepulauan Ayau-Asia, Teluk Mayalibit, Selat Dampier, Kepulauan Misool (Misool Selatan), Kofiau, dan Kepulauan Fam. Adapun Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan 32,5 juta ha kawasan konservasi perairan pada 2030.
“Menurut rencana zonasi wilayah pesisir di Papua Barat, ada 4,2 juta (ha kawasan konservasi) yang sudah dan akan ditetapkan. Angkanya 15-16 persen dari angka nasional,” ucapnya.
Raja Ampat memang memikat. Ia menghidupkan masyarakat sekaligus memuaskan dahaga orang-orang yang rindu asrinya alam. Mari jaga tong pu laut, supaya mama-mama tidak risau dengan masa depan anak-cucu.