Kendalikan Wisatawan demi Konservasi Warisan Dunia Berkelanjutan
Warisan dunia berupa situs budaya dan alam di Indonesia menjadi magnet wisata untuk menarik pengunjung. Meski membantu perekonomian daerah, wisata massal sekaligus menjadi ancaman bagi kelestarian warisan dunia itu.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warisan dunia berupa situs budaya dan alam di Indonesia menjadi magnet wisata untuk menarik pengunjung. Meski membantu perekonomian daerah, wisata massal sekaligus menjadi ancaman bagi kelestarian warisan dunia itu. Pengendalian wisatawan mendesak dilakukan demi konservasi berkelanjutan.
Salah satu warisan dunia yang paling diminati wisatawan adalah Taman Nasional (TN) Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelum pandemi Covid-19, pengunjung di lokasi itu mencapai 221.000 orang pada 2019. Jumlah itu meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan 2016 dengan 100.000 pengunjung.
Jika tidak dibatasi, jumlah wisatawan diperkirakan akan terus naik setiap tahun sehingga berpotensi mengganggu ekosistem komodo, reptil purba yang hanya hidup di alam liar di Indonesia. Pembatasan kuota wisatawan menjadi salah satu kunci untuk mengurangi dampak negatif kegiatan wisata terhadap ruang hidup satwa tersebut.
”Dalam mengembangkan pariwisata ikonik, seperti (TN) Komodo, tujuannya tidak hanya memuaskan mata pengunjung. Namun, yang perlu dipikirkan adalah keberlanjutan ekosistem komodo. Bayangkan kalau komodo musnah karena overcrowded,” ujar Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong pada konferensi pers ‘Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Ekosistem di Taman Nasional Komodo’, di Gedung Manggala Wanabakti KLHK, Jakarta, Senin (27/6/2022).
Menurut Alue, pengembangan pariwisata di TN Komodo idealnya tidak bersifat antroposentris semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekosentris. Oleh karenanya, kelestarian ekosistem tidak boleh diabaikan demi mengejar dampak ekonomi.
”Kalau kita cenderung ke mass tourism (pariwisata massal), akan mengganggu alamnya. Sangat penting untuk mendengarkan kajian daya dukung dan daya tampung sehingga bisa digunakan dalam merumuskan kebijakan ke depan,” jelasnya.
KLHK bersama Pemerintah Provinsi NTT menjalankan program penguatan fungsi TN Komodo sebagai upaya mempertahankan nilai jasa ekosistem demi konservasi berkelanjutan. Hasil kajian itu merekomendasikan jumlah pengunjung ideal ke Pulau Komodo sekitar 219.000 orang dan ke Pulau Padar berjumlah 39.420 orang per tahun.
Wakil Gubernur NTT Josef Nae Soi menganggap pembatasan pengunjung dibutuhkan demi melindungi biodiversitas TN Komodo. Oleh karena itu, rekomendasi ahli, baik aspek konservasi dan pariwisata, harus dijadikan dasar membuat kebijakan di setiap tingkatan.
”Jika tidak, beberapa tahun kemudian, saya yakin komodo ini akan punah. Mari berkolaborasi, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi, dan pihak-pihak lainnya,” katanya.
Menurut Josef, kelestarian komodo juga bergantung pada dukungan alam di sekitarnya, termasuk pepohonan. Apalagi, komodo dewasa sering memangsa anak komodo. Oleh karena itu, pohon sangat penting sebagai tempat berlindung bagi anak komodo.
”Pada 1960-an, hutan di sana masih sangat bagus, hutannya lebat. Jadi, anak komodo yang baru menetas bisa leluasa lari dan memanjat pohon. Namun, sekarang mereka (anak komodo) susah cari pohon,” ucapnya.
Kepala Balai Taman Nasional Komodo Lukita Awang Nistyantara menuturkan, tren peningkatan pengunjung sudah terlihat sejak 2010. Pada 2016, pihaknya meneliti perilaku komodo terhadap wisatawan.
Pengembangan pariwisata di TN Komodo idealnya tidak bersifat antroposentris semata, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekosentris. Oleh karena itu, kelestarian ekosistem tidak boleh diabaikan demi mengejar dampak ekonomi
”Ternyata komodo di tempat wisata perilakunya berubah. Kewaspadaannya berkurang, cenderung dekat dengan manusia. Sementara di tempat nonwisata, akan menjauh saat melihat manusia,” ujarnya.
Ketua Tim Ahli Kajian Daya Dukung Daya Tampung Berbasis Jasa Ekosistem di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Kawasan Air di Sekitarnya, Irman Firmansyah, mengatakan, pembatasan pengunjung dapat menekan potensi kehilangan nilai jasa ekosistem dan manfaat sosial ekonomi. Namun, jika tidak dibatasi, kehilangan jasa ekosistem diperkirakan mencapai Rp 11,1 triliun.
Reservasi kunjungan secara daring akan diterapkan mulai Agustus 2022 untuk mengendalikan jumlah wisatawan. Kompensasi biaya konservasi rencananya diterapkan secara kolektif sebesar Rp 3,75 juta per orang setiap tahun.
Gempuran wisatawan juga mengancam warisan dunia lainnya, salah satunya Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kerusakan di candi ini di antaranya berupa keausan pada bagian batu tangga naik, khususnya pada sisi timur dan sisi utara.
Hal ini diakibatkan oleh gesekan alas kaki para pengunjung ketika naik dan turun candi. Keausan sangat terlihat jelas dengan kondisi permukaan batu tangga yang cekung karena sudah tergerus.
Selain itu, pada dinding relief banyak mengalami kebocoran. Imbasnya, saat musim hujan, terjadi rembesan air yang mengakibatkan bagian dinding selalu basah dan lembab. Kondisi ini membuat tumbuhan dan jasad renik (lumut dan alga) dapat tumbuh subur sehingga berpotensi mengancam kelestarian dalam jangka panjang.
”Ancaman serius lainnya adalah penggaraman dan sementasi pada dinding relief akibat rembesan air hujan dan evaporasi (penguapan) air yang masuk ke dalam batuan candi. Hal ini dapat merusak kulit batu candi. Belum lagi proses pelapukan batu karena ageing (penuaan) bisa memperparah kerusakan kulit batu, terutama pada bagian relief yang dipahat secara rumit dan detail,” ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Marsis Sutopo.
Pembahasan mengenai Candi Borobudur sempat menyita perhatian publik saat pemerintah berencana menaikkan harga tiket untuk naik ke bangunan candi. Meskipun ditunda, tetapi wacana ini sempat menuai polemik.
Sebab, penetapan tarif masuk hanya salah satu faktor pengendali pembatasan pengunjung di Borobudur. Namun, upaya konservasi juga membutuhkan peran pengunjung untuk ikut menjaga cagar budaya itu.
Menurut Marsis, pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan warisan dunia membutuhkan perhatian serius agar dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Selain itu, masih banyak calon warisan dunia yang sudah masuk daftar sementara (tentative list) Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang juga harus dilestarikan.
”Perlu dipersiapkan agar masyarakat di sekitarnya siap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari warisan dunia itu,” ujarnya.