Kompetensi, Jaga Napas Jurnalisme yang Berkualitas
Tak hanya industri media di negeri ini yang harus berbenah, termasuk menyusun rancangan peraturan untuk melindungi hak penerbit (publisher right), tetapi pekerja media juga harus membangun diri agar tak terlindas zaman.
Jadi wartawan juga harus seperti buku yang terus dicetak ulang pakai tambahan referensi. Harus aktual, dan kalau di buku kelihatan penulisnya rajin, lalu pembaca makin pintar. Kalau buku cetak ulang tanpa tambahan referensi, maka artinya penulisnya malas atau sudah meninggal. (H Rosihan Anwar (1922-2011), tokoh pers nasional)

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kamsong, didampingi Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nur Endang Abbas, Penanggung Jawab Hari Pers Nasional (HPN) 2022 Atal Depari, Wakil Ketua Dewan Pers Hendri Ch Bangun, dan pimpinan media lainnya, Minggu (30/1/2022) malam membuka rangkaian peringatan HPN 2022 dan pengumuman pemenang anugerah Adinegoro.
Baca Juga: Saya adalah Wartawan
Menghadirkan jurnalisme berkualitas menjadi tantangan media massa di tengah disrupsi digital. Dukungan masyarakat dalam mengakses informasi yang valid dari sumber terpercaya sangat penting demi keberlanjutan pers. Pelaku media, termasuk juga wartawan, harus berbenah diri agar tidak tergilas zaman.
Benang merah itu terungkap dalam diskusi peluncuran Hari Pers Nasional 2022 di Jakarta hari Minggu (30/1/2022). Menurut Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Usman Kansong, produk jurnalisme yang berkualitas akan mendapatkan kepercayaan publik yang tinggi. Pers tidak cukup hanya adaptif di tengah disrupsi digital, tetapi juga harus proaktif menghadapi perubahan yang sangat cepat.
“Media harus terlibat dalam arus besar disrupsi ini. Jadi subyek, bukan obyek. Media massa ke depan harus tetap sebagai media arus utama yang menjadi rujukan. Jangan mengekor media sosial. Jangan mengejar umpan klik atau clickbait,"pesan Usman. (Kompas, 31/1/2022).
Tak hanya industri media di negeri ini yang harus berbenah, termasuk bersama komunitas pers menyusun rancangan peraturan untuk melindungi hak penerbit (publisher right), tetapi pekerja media juga harus membangun diri agar tak terlindas perubahan pula. Selain industri pers terancam perkembangan industri digital dan perubahan cara khalayak bermedia, profesi jurnalis terancam pula oleh kreator konten dan aktivis media sosial, yang dapat membagikan informasi dengan cepat. Bukan wartawan itu cenderung tak peduli konfirmasi, verifikasi, keberimbangan, atau penyuntingan atas karyanya.
Jurnalis harus menempa diri, janganlah malas, aktual, serta menambah referensi. Jika tidak, wartawan itu sudah "mati".

Wartawan foto mengikuti uji kompetensi wartawan yang diselenggarakan oleh Pewarta Foto Indonesia (PFI) di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta, Kamis (10/3/2022). Uji kompetensi yang baru diadakan pertama kali oleh PFI itu diikuti oleh 12 peserta jenjang wartawan muda dan seorang peserta jenjang wartawan madya.
Baca Juga: Kesejahteraan Wartawan yang Masih Sering Terabaikan
Agar karya yang dihasilkannya bisa mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, bisa menjadi referensi, seperti dituliskan tokoh pers nasional H Rosihan Anwar dan dikutip dalam Buku Saku Wartawan (LPDS Dr Soetomo, Jakarta, 2018), jurnalis harus menempa diri, janganlah malas, aktual, serta menambah referensi. Jika tidak, wartawan itu sudah "mati".
Gerakan Reformasi 1998 juga mendorong lahirnya pers yang berkualitas, sebab ada keyakinan pers merupakan pilar keempat demokrasi. Nelson Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, yang juga aktivis hak asasi manusia (HAM) mengingatkan, "A free press is one of the pillars of democracy." Pemerintah dan DPR sepakat mengganti Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 1982 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Pers dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang lebih sesuai perkembangan masa.
Terkait peningkatan kualitas wartawan: jangan malas dan tak segera "mati", pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers menyatakan, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan. Namun, sejak diundangkan pada 23 September 1999, ketentuan ini nyaris tak pernah dilaksanakan. Tampaknya ada "kegamangan" dari Dewan Pers untuk melaksanakan salah satu fungsinya itu.
Deklarasi Palembang
Sesuai bunyi pasal 15 ayat (2) huruf (f) UU Pers itu, Dewan Pers cuma memfasilitasi organisasi pers, untuk menyusun peraturan bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi jurnalis. Hingga dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2010, jelas Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Ilham Bintang, lahirlah Deklarasi Palembang yang digagas PWI, serta diikuti berbagai organisasi pers saat itu. Sertifikasi kompetensi wartawan menjadi isu sentral Deklarasi Palembang, menjadi kehendak masyarakat pers, dan diberlakukan secara formal oleh Dewan Pers.

Sejumlah wartawan mengikuti uji kompetensi yang difasilitasi Dewan Pers di Pontianak, Kalimantan Barat, Jumat (3/6/2022). Dewan Pers memfasilitasi uji kompetensi wartawan di 34 provinsi pada tahun ini, dengan dana dari APBN.
Dewan Pers yang mempunyai legalitas formal untuk mengoperasionalkan Deklarasi Palembang 2010 mengenai sertifikasi kompetensi wartawan, verifikasi faktual media pers, dan fungsi lain sesuai UU Pers.
Baca Juga: Kompetensi, Wajah Kemerdekaan Pers
"Arsiteknya, kawan kita juga, Wina Armada,"ujar Ilham, yang sering membagikan pengetahuannya tentang sejarah perkembangan pers di Indonesia. Dia menjadi salah seorang penandatangan Deklarasi Palembang 2010, bersama 18 pimpinan media dan organisasi pers lainnya. Uji kompetensi wartawan hanya salah satu cara meningkatkan kualitas wartawan. Namun, lebih penting lagi, kualitas jurnalisme di Indonesia perlu terus ditingkatkan.
Dewan Pers tidak bisa sendirian menjaga kebebasan pers, termasuk menjaga kompetensi wartawan, sehingga harus bersama organisasi pers dan masyarakat pers. Selain dari No. 40/1999, mandat Dewan Pers yang paling kuat, adalah datang dari masyarakat pers nasional, terutama dari Deklarasi Palembang.
Tepatnya, Dewan Pers yang mempunyai legalitas formal untuk mengoperasionalkan Deklarasi Palembang 2010 mengenai sertifikasi kompetensi wartawan, verifikasi faktual media pers, dan fungsi lain sesuai UU Pers. Deklarasi Palembang itu ditandatangi oleh 19 pemimpin media atau organisasi pers.
Bahkan, organisasi pers serta perusahaan pers yang memiliki lembaga uji kompetensi jurnalis sebelum tahun 2010 pun tunduk pada kesepakatan Masyarakat Pers dan Dewan Pers, serta UU Pers. Harian Kompas misalnya, sejak tahun 1998/1999 sudah memiliki serta melaksanakan pelatihan dan uji kompetensi bagi wartawannya. Jenjang kompetensi wartawan Kompas ada tujuh tingkatan. Sejumlah lembaga media pun sudah menggelar uji kompetensi secara mandiri.
Namun, sejak 2010 perusahaan media dan organisasi pers yang sudah memiliki peraturan penjenjangan anggotanya, termasuk melalui uji kompetensi, mematuhi Deklarasi Palembang itu. Mereka sepakat menempatkan Dewan Pers sebagai lembaga yang berhak memberikan sertifikat kompetensi wartawan bersama lembaga uji yang diakui.
Dewan Pers, bersama organisasi pers menyusun standar kompetensi wartawan, dan jenjang yang disepakati hanya tiga, yaitu wartawan muda, wartawan madya, dan wartawan utama. Jenjang itu menunjukkan perkembangan keahlian, pengalaman, dan pengetahuan dari seorang jurnalis.

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong (mengangkat tangan) saat berkunjung ke Kantor Kompas di Jakarta, Senin (17/1/2022). Kehadiran Usman bersama jajarannya ini untuk bersilaturahim dan menjelaskan mengenai agenda pelaksanaan G-20.
Usman Kansong, dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Tangerang Selatan, Banten, pekan lalu menegaskan, sesuai UU Pers dan Deklarasi Palembang, hanya Dewan Pers yang bisa menerbitkan sertifikasi kompetensi wartawan. Uji kompetensi bisa dilakukan oleh lembaga uji, yang terdaftar di Dewan Pers.
Ia menyatakan tak pernah memberikan izin atau rekomendasi pada lembaga lain untuk melakukan sertifikasi pada insan pers. “Dewan Pers satu-satunya lembaga yang berhak melakukan sertifikasi wartawan. Tidak ada lembaga lain lagi,” ujarnya.
Pada pertemuan lanjutan dengan Dewan Pers di Jakarta, Selasa (28/6/2022), dia kembali menegaskan, dalam waktu dekat akan menyelesaikan pengakuan lembaga lain, selain Dewan Pers, yang dapat mendidik, menguji, dan memberikan sertifikasi kompetensi profesi jurnalistik. Lembaga uji yang diakui Dewan Pers berasal dari organisasi wartawan, lembaga pendidikan atau latihan pers, perusahaan media, atau perguruan tinggi. Dengan begitu, masyarakat pers di Indonesia bisa segera bergerak mengembangkan diri, menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, berkembang, dan turut mengembangkan masyarakat.
Utamakan jurnalistik
Siapapun yang mengaku bagian dari masyarakat pers Indonesia bisa saling menghormati dan melaksanakan perintah UU Pers, serta kesepakatan masyarakat pers nasional tahun 2010. Janganlah ada organisasi yang lahir belakangan, atau seseorang yang baru belakangan berusaha di bidang media, ingin mengatur dan merombak kesepakatan sebelumnya, atas kemauannya sendiri.
Apalagi, berdasarkan UU No. 40/1999, Dewan Pers dibentuk untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Sesuai adagium hukum, lex specialis derogat legi generali (hukum yang bersifat khusus itu mengesampingkan hukum yang bersifat umum). Jadi, dari asas ini, jelas hanya Dewan Pers yang diberikan wewenang oleh negara, yang berdasarkan hukum, mengatur kehidupan pers dalam segala aspeknya.
Baca Juga: Kemerdekaan Pers Tak Buat Nyaman

Infografik indeks kemerdekaan pers Indonesia
Walaupun wartawan berbeda-beda pendirian, tujuan, dan tempat bekerjanya, tetapi ada syarat wajib yang sama-sama harus dipunyai, dalam pengertian satu cita-cita, yaitu pengabdian pada masyarakat, cinta kepada bangsa, dan Tanah Air.
Dewan Pers, bersama organisasi pers dan lembaga uji, kini tengah meningkatkan kompetensi jurnalis, dengan menggelar uji kompetensi yang didukung negara di 34 provinsi. Dari uji kompetensi ini diharapkan sekitar 1.800 wartawan bisa tersertifikasi atau naik jenjang, menambah sekitar 19.500-an wartawan lain yang sudah disertifikasi sebelumnya.
Memang tak mudah bagi Dewan Pers bersama Masyarakat Pers Nasional untuk mendidik, menguji, dan memberikan sertifikasi wartawan di Indonesia, sebab jumlahnya memang tidak tercatat dengan pasti. Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Penerbit Pers (SPS) -- dahulu Serikat Penerbit Suratkabar -- Asmono Wikan, dari 810 media cetak yang tercatat pada 2016, ternyata tahun 2020 lalu tinggal 593 nama media yang masih terbit. Diperkirakan tahun ini jumlah itu semakin menurun lagi. Sejumlah stasiun radio dan televisi pun, akibat disrupsi digital dan pandemi Covid-19, melepas sejumlah jurnalisnya. Data media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers juga tak lebih dari 1.900-an media.
Tak ada data pasti juga jumlah media dalam jaringan (daring). Namun, Dewan Pers tahun 2018 memperkirakan jumlahnya sekitar 43.000 unit, tersebar di seluruh Nusantara. Jika satu media daring ini mempunyai lima orang wartawan, termasuk pemimpin redaksi, jumlahnya sekitar 215.000 wartawan, belum termasuk jurnalis di media cetak, radio, dan televisi. Jumlah yang amat besar.
"Wartawan mengutamakan jurnalistik tidak mau menjadi topeng, melainkan memuliakan pertimbangan yang benar, walaupun tidak menyenangkan kepada partai ini atau itu, walaupun menjengkelkan beberapa pembacanya yang fanatik," tulis tokoh pers nasional, Adinegoro (1904-1967) dalam buku Falsafah Ratu Dunia, terbitan Balai Pustaka tahun 1949, yang dikutip dalam Buku Saku Wartawan.
Walaupun wartawan berbeda-beda pendirian, tujuan, dan tempat bekerjanya, tetapi Adinegoro mencatat, ada syarat wajib yang sama-sama harus dipunyai, dalam pengertian satu cita-cita, yaitu pengabdian pada masyarakat, cinta kepada bangsa, dan Tanah Air. Ini dapat terwujud, jika wartawan itu memiliki kompetensi.