Membangun Solidaritas Melawan Kekerasan Seksual
Penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi butuh komitmen nyata. Kasus di Universitas Riau mesti dikawal agar keputusan kasasi Mahkamah Agung benar-benar mendukung terwujudnya kampus aman.
Perjuangan untuk mendapatkan keadilan secara hukum dan hak pemulihan bagi korban kekerasan seksual menyatukan berbagai jaringan untuk membangun solidaritas. Momen penting ini menjadi preseden baik bagi penanganan dan pencegahan kekerasan di perguruan tinggi, yang banyak terjadi karena relasi kuasa.
Salah satu kasus kekerasan seksual di Universitasi Riau berhasil menggalang solidaritas bersama untuk memperjuangkan keadilan bagi korban L dan korban-korban lain. Kekerasan seksual di perguruan tinggi (PT) merupakan fenomena gunung es.
SH, terdakwa pelecehan seksual terhadap L yang juga Dekan FISIP Universitas Riau, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Maret 2022. Meski demikian, pembelaan terhadap L tak terhenti.
Solidaritas dari mahasiswa di kampus Universitas Riau, lembaga hukum, organisasi, hingga institusi negara yang melindungi perempuan dan anak bersatu untuk mendukung kasasi ke Mahkamah Agung (MA).
Kasasi di MA ini diharapkan keadilan berperspektif korban. Putusan yang adil dan hak pemulihan korban mesti diwujudkan. Pembelajaran dari kasus kekerasan seksual di Universitas Riau menjadi bukti bahwa kampus yang aman sungguh-sungguh menjadi komitmen bersama seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.
Keberpihakan dan ketegasan dari Kemendikbudristek serta Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (KKS) Universitas Riau dinantikan untuk mengatasi salah satu dari tiga dosa pendidikan ini, selain perundungan (bullying) dan intoleransi.
Dalam konferensi pers bertajuk Perkembangan Kasus Kekerasan Seksual di Universitas Riau yang digelar International NonGovernment Organization on Indonesian Development (INFID), Selasa (28/6/2022), Rizka Antika selaku moderator menyampaikan, vonis bebas terhadap terdakwa pelaku kekerasan seksual di Universitas Riau oleh pengadilan merupakan sebuah ironi di tengah momen pengesahan Permendikbudristek tentang PPKS di Perguruan Tinggi dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Keberanian korban untuk bersuara atas pelecehan seksual yang dialami saat bimbingan skripsi dengan terdakwa merupakan sebuah sikap luar biasa. Dampak trauma atas kejadian tersebut membuat korban L harus mendapat pendampingan psikologis.
Memicu keberanian bersuara
Menurut Agil Fadlan dari Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (Komahi) FISIP Universitas Riau, berawal dari laporan korban kemudian muncul banyak kesaksian dari mahasiswi-mahasiswi lain yang juga pernah mengalami pelecehan seksual. Ada dua dosen lain yang disebutkan juga melakukan pelecehan kepada mahasiswi.
”Setelah kasus korban L viral, kami membuka layanan pengaduan di jurusan Hubungan Internasional untuk mengetahui apakah ada korban lain. Setelah dibuka, ada data dan informasi yang membuat sangat shock. Aduan datang dari banyak korban yang mendapat kekerasan seksual oleh dosen lainnya. Laporan ini sudah kami sampaikan ke kampus dan Kemendikbudristek,” kata Agil.
Menurut Agil, darurat kekerasan seksual di PT memang terjadi. ”Padahal, kasus di Universitas Riau ini yang pertama di pengadilan setelah Permendikbudristek PPKS di PT dikeluarkan. Sayangnya, penyelesaiannya lama dan tidak memberikan kejelasan. Pihak kampus terlihat tidak memberikan perhatian khusus kepada korban. Satgas PPKS di Universitas Riau juga melemparkan ke Kemendikbudristek dan sampai saat ini tidak ada sanksi administratif kepada terdakwa yang divonis bebas oleh pengadilan,” kata Agil.
Komahi pun membentuk koalisi gerakan anti-kekerasan seksual yang melibatkan banyak lembaga/organisasi. Tujuannya untuk mendesak Kemendikbudristek mengeluarkan sanksi dan mengawal proses kasasi di MA agar berpihak kepada korban dalam keputusannya.
Terjadinya kekerasan seksual masih dilihat sebagai salah korban, semisal perempuan dituding menjadi penyebab karena pakaian dan tubuh seksi yang dianggap mengundang pelaku berbuat pelecehan atau kekerasan seksual.
Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan, Komnas Perempuan mendukung langkah korban yang kukuh untuk mengakses keadilan dan hak pemulihan. ”Apa yang dialami korban L juga dialami banyak korban lain. Kasus di Universitas Riau ini menjadi pintu masuk untuk penegakan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Kami berharap MA melihat perjuangan korban bukan untuk dirinya sendiri, tapi juga bagi banyak korban yang tidak berani bersuara dan tidak menempuh peradilan pidana. Keputusan MA kami harap mempertimbangkan dengan menggunakan pertimbangan perspektif korban, jangan (menggunakan) stereotipe dan mitos,” kata Siti.
Bagi Kemendikbudristek, kata Siti, kasus di Universitas Riau juga menjadi evaluasi sejauh mana pemahaman kampus dalam menjalankan Permendikbudristek tentang PPKS di PT. Ketika terjadi kekerasan seksual, apakah permendikbudristek sudah bisa menjadi acuan internal di kampus untuk mengambil keputusan atau apakah masih perlu ke Kemendikbudristek, dalam hal ini inspektorat jenderal.
Meraih keadilan
Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Margareth Robin mengatakan, hak untuk mendapat penanganan dan pemulihan harus bisa didapat sesuai kebutuhan korban. Kekerasan seksual pada perempuan bukan karena tubuhnya seksi, berpakaian minim, atau alasan lainnya, tapi akibat otak pelaku kekerasan. Karena itu, tidak ada toleransi untuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang merupakan kejahatan luar biasa, yang merampas harkat dan martabat perempuan.
Keputusan vonis bebas pada terdakwa, ujar Margareth, tentunya mengagetkan. Namun, upaya meraih keadilan masih ada dengan kasasi yang dilakukan jaksa penuntut umum. Kemen PPPA pun mengawal bersama Komisi Kejaksaan agar isi dari kasasi sudah sesuai dan berpihak kepada korban.
”Korban kekerasan seksual oleh pelaku dengan pendidikan tinggi, mempunyai jabatan, sesungguhnya mencoreng nama baik sivitas akademika. Jika tidak ada keadilan dalam kasus ini, tidak ada pembelajaran untuk menciptakan kampus yang aman, apalagi ini perguruan tinggi negeri yang diburu banyak anak muda,” kata Margareth.
Margareth mengatakan, dukungan pada kasasi untuk memastikan perempuan korban kekerasan seksual mendapat hak secara paripurna. Kasasi ini memberikan harapan kepada hakim untuk melihat perkara berdasarkan fakta-fakta yang ada dan relasi kuasa yang timpang.
Selain itu, perlu juga sikap tegas Ditjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, untuk memastikan seseorang yang amoral tidak menjadi dosen karena akan merusak generasi penerus bangsa. ”Kita harus speak up untuk mencari perhatian dalam proses kasasi agar menjadi catatan penting di kemudian hari. Jika kita terus bersuara, dalam penegakan hukum bisa melihat situasi dan kondisi korban sesungguhnya,” ujar Margareth.
Baca juga: Korban Pelecehan Seksual di UNRI Berharap Pelaku Ditahan
Lidwina Inge Nurtjahyo, akademisi dari Universitas Indonesia yang juga salah satu eksaminator dalam eksaminasi kasus pelecehan seksual mahasiswi Universitas Riau yang diserahkan kepada MA, mengatakan, jika tidak ada penegakan hukum yang sesungguhnya, maka aturan Permendikbudristek PPKS di PT bisa jadi hanya dianggap berkas yang menambah aturan. Untuk kasus kekerasan seksual di kampus sebenarnya bisa mengacu pada permendikbudristek ini.
Sayangnya, lanjut Lidwina, masih ada sesat pikir dan stereotipe dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual masih dianggap masalah privat, padahal ini menjadi masalah bersama.
Terjadinya kekerasan seksual masih dilihat sebagai salah korban, semisal perempuan dituding menjadi penyebab karena pakaian dan tubuh seksi yang dianggap mengundang pelaku berbuat pelecehan atau kekerasan seksual.
Masyarakat juga masih melihat kasus kekerasan seksual ini dapat diselesaikan dengan damai, seperti memberikan ganti rugi atau mengawini korban. Kekerasan seksual dianggap tidak ada jika bukan kekerasan fisik, padahal cakupan kekerasan seksual kini sudah luas. Selain itu, kekerasan seksual dianggap tidak ada aturannya, padahal sudah ada Permendikbudristek PPKS dan UU TPKS.
”Pemberian sanksi kepada pelaku itu supaya tidak mengulangi perbuatan dan menjadi pelajaran bagi orang lain untuk tidak berbuat hal yang sama,” kata Lidwina.
Mendengarkan
Margareth menambahkan, perlawanan pada kekerasan seksual membutuhkan para korban yang bersuara. Namun, tidak mudah bagi korban untuk berani memperjuangkan keadilan dan hak pemulihan untuk dirinya.
Menurut dia, banyak korban belum paham adanya lex spesialis yang melindungi perempuan atau juga karena perempuan merasa bahwa kasus yang menimpa dirinya adalah aib, terkendala stereotipe, takut didiskriminasi, dan banyak hal lain yang menjadi pertimbangan untuk menceritakan kasus.
”Kalau ada korban yang menceritakan kasusnya, dengarkan secara cermat. Kalau korban mau menangis, ya, biarkan meluapkan kesedihan, ketakutan, dan kekecewaan. Petugas layanan jangan menatap mata langsung, dan menepuk punggung pun tidak boleh. Biarkan korban bercerita,” kata Margareth.
Baca juga: Dekan FISIP UNRI Nonaktif Divonis Bebas atas Kasus Pelecehan Seksual
Jika korban sudah percaya, untuk tahap awal cerita secukupnya dan beri masukan secukupnya. Jika mendapatkan laporan dari perempuan korban kekerasan seksual, butuh kesabaran yang tinggi dan memakan waktu lama.
Dukungan untuk penyembuhan trauma memang harus diberikan. Layanan ini disediakan Kemen PPPA bekerja sama dengan himpunan psikolog Indonesia. Di daerah ada unit pelaksana teknis daerah yang juga bisa memberikan rekomendasi.