Pancasila, Jalan Pulih dari Pukulan Pandemi
Pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir menjadi pukulan telak bagi banyak aspek. Kini, saat pandemi relatif lebih terkendali, jalan pemulihan dirintis menuju kehidupan lebih baik.
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 dalam dua tahun terakhir menjadi pukulan telak bagi banyak aspek. Kini, saat pandemi relatif lebih terkendali, jalan pemulihan dirintis menuju kehidupan lebih baik.
Pandemi mendatangkan berbagai keterbatasan yang menjadi kendala aktivitas manusia. Tidak hanya memengaruhi sektor kesehatan dan ekonomi, interaksi sosial masyarakat juga terganggu.
Menurut ekonom senior yang juga tokoh lingkungan hidup, Emil Salim, kondisi itu menyebabkan desosialisasi, dereligiositas, dan dehumanisasi. Ketika indikator pandemi berangsur-angsur membaik, kehidupan seolah kembali normal, tetapi tidak semudah seperti kondisi sebelumnya.
”Bisakah kita merangkai kembali peri kehidupan masyarakat bangsa atas pulihnya dari penyakit Covid-19? Dari dereligiositas ke religiositas, dari dehumanisasi ke humanisasi, dari desosialisasi ke sosialisasi. Kita kembali pada akar!,” ujarnya saat menerima penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2022 dari harian Kompas secara daring, Selasa (28/6/2022). Penghargaan ini menjadi bagian dari peringatan HUT Ke-57 Kompas.
Baca juga: Presiden: Jaga Momentum Pemulihan dari Pandemi Covid-19
Semua pihak perlu merefleksikan diri untuk apa bangsa ini dibangun. Cita-cita bangsa mewujudkan keadilan sosial harus tetap dijadikan pegangan dalam kehidupan pascapandemi.
”Sekarang telah ada jalan pemulihan. Pemulihan ke mana? Bagaimana caranya? Apa substansinya? Kembali ke Pancasila,” ujarnya.
Menurut Emil, pemecahan beragam persoalan bangsa tidak boleh menyimpang dari Pancasila. Mengedepankan semangat gotong royong untuk pulih bersama dari berbagai krisis akibat pandemi.
”Oleh karena itu, bagaimana kita memulihkan ketuhanan yang Maha Esa, kerukunan beragama yang kita sepakati, dan mengisinya dengan yang lebih bermakna,” katanya.
Di usia 92 tahun, Emil masih aktif menanggapi berbagai persoalan bangsa. Tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga mengingatkan ancaman krisis lingkungan akibat perubahan iklim. Dalam beberapa kesempatan, ia menekankan pentingnya peningkatan mutu pendidikan dalam menyiapkan sumber daya manusia berkualitas pada masa mendatang.
Baca juga: Emil Salim, Ekonom yang Meneropong Persoalan Bangsa
Buah pemikirannya dituangkan ke dalam banyak tulisan, termasuk diterbitkan di Kompas. Bahkan, ia masih mengingat tulisan pertamanya di Kompas tentang sistem ekonomi Pancasila yang diterbitkan Kompas pada Juni 1966.
”Kembali di tahun 1966 itu, agar Indonesia kembali ke cita-cita semula membangun Indonesia. Keluar dari penyakit Covid-19, kembali ke jalan lurus, Pancasila,” ucapnya.
Baca juga: Jalan Pemberantasan Korupsi Meuthia Ganie
Selain kepada Emil, penghargaan Cendekiawan Berdedikasi 2022 juga diberikan kepada sosiolog organisasi dari Universitas Indonesia, Meuthia Ganie-Rochman. Sejak pandemi melanda Tanah Air pada awal 2020, Meuthia telah memprediksi akan terjadi perubahan pada banyak institusi.
”Dengan melihat kapasitas kerja sama lembaga-lembaga internasional dan negara-negara dalam penanganan bencana yang tidak begitu baik, dapat diduga akan muncul semacam paradoks antara mencegah pandemi dan kegiatan ekonomi manusia,” ujarnya.
Cendekiawan yang terkadang bekerja dalam sunyi, bekerja dalam sepi, tetapi menyebarluaskan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik.
Pandemi juga membuat tantangan negara berubah, salah satunya dalam mempertahankan perekonomian. Rantai pasok berubah sehingga mengubah alur produksi dan distribusi.
Dalam digitalisasi, Meuthia menyoroti timbulnya kekuatan sentrifugal dalam masyarakat akibat meluasnya penggunaan internet dan media sosial. ”Artinya, masyarakat terlalu sibuk mencari informasi berbagai hal yang begitu banyak, tetapi tidak tahu bagaimana merekonstruksinya untuk memecahkan masalah yang relevan untuk kehidupannya,” ujarnya.
Menurut Meuthia, perkembangan teknologi selalu membutuhkan kapasitas tertentu dari masyarakat dan institusi publik. Hal ini agar teknologi itu bermanfaat serta tidak menimbulkan kerugian dan ketidakadilan.
”Kita perlu berhenti sejenak. Bukan teknologinya, tetapi secara serius, mendalam, dan sistematis, bukan diwacanakan secara sembarangan agar populer. Bagaimana mengendalikan teknologi informasi agar akuntabel bagi kesejahteraan masyarakat luas dan tidak menimbulkan ketimpangan baru,” ucapnya.
Meuthia konsisten menelurkan gagasan-gagasan akademis dalam berbagai artikel di media massa, termasuk Kompas. Selain menyebarkan pengetahuan, ia juga terus mencari referensi dan riset sebagai bekal ilmu untuk dibagikan kepada mahasiswa dan forum-forum diskusi.
”Selama bertahun-tahun, saya menganggap Kompas sebagai rekan dalam mencerdaskan publik. Kompas saya anggap sangat tepat sebagai wadah menyuarakan konsentrasi saya tentang masalah pengelolaan sumber daya publik, penguatan sistem kenegaraan, dan kemasyarakatan lainnya,” ujarnya.
Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo menuturkan, penghargaan Cendekiawan Berdedikasi merupakan gagasan besar dari pendiri Kompas, Jakob Oetama. Pemberian penghargaan itu sudah bergulir sejak 2008 untuk mengapresiasi pemikiran para cendekiawan melalui berbagai platform.
”Cendekiawan yang terkadang bekerja dalam sunyi, bekerja dalam sepi, tetapi menyebarluaskan gagasan untuk Indonesia yang lebih baik,” katanya.
Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra menyebutkan, HUT Ke-57 Kompas mengambil tema”Rekoneksi”. Cendekiawan diharapkan juga merekatkan relasi para penghuni bumi, tidak saja antarwarga dunia, tetapi juga dengan lingkungan.
”Semoga anugerah (penghargaan) ini menjadi kontribusi Kompas dalam memberikan semangat kepada cendekiawan untuk terus berjuang menyumbangkan pikiran dan karyanya,” ucapnya.
Baca juga: Konten Berkualitas, Daya Hidup Media Massa
Pandemi mengalihkan banyak aktivitas masyarakat ke platform digital sehingga memicu arus informasi bergerak sangat cepat dalam dua tahun terakhir. Secara terpisah, anggota Dewan Pers, Asmono Wikan, menilai, pada saat bersamaan, penyebaran kabar bohong atau hoaks juga menggila.
Menurut Asmono, kondisi ini menjadi momentum bagi media arus utama untuk menjadi panduan informasi bagi masyarakat lewat karya-karya jurnalistik bermutu. ”Pengalaman selama pandemi, media arus utama justru mampu memberikan terobosan lebih akurat. Ini adalah momentum reborn untuk mendapatkan atensi publik,” ucapnya.