Pembahasan RKHUP diharapkan membuka ruang seluas-luasnya bagi partisipasi publik. Salah satunya, mengakomodasi aspirasi masyarakat sipil agar harmonisasi RKUHP dengan UU TPKS diwujudkan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah perlu memastikan proses legislasi Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana berlangsung transparan dan partisipatif bagi masyarakat. Selain membuka partisipasi publik, harmonisasi Rancangan KUHP dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru saja disahkan mesti dilakukan.
”Harmonisasi sangat penting, agar tindak pidana kekerasan seksual yang dirumuskan dalam Rancangan KUHP dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Dengan demikian, hak-hak korban dan hukum acara pidananya tunduk pada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), di Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Pemerintah dan DPR juga diharapkan menelaah dan mengakomodasi rekomendasi Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang tertuang dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Tanggapan Komnas Perempuan per 7 Juni 2021 sebagai Tanggapan terhadap Rancangan KUHP (RKUHP) per 18 September 2019. Rekomendasi tersebut telah disampaikan secara tertulis kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Ketua Komisi III DPR.
Kami berharap tim pemerintah melakukan sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU TPKS dan DPR tidak membatasi pembahasan RKUHP hanya pada 14 isu saja.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani bersama para komisioner Siti Aminah Tardi, Theresia Iswarini, Rainy Hutabarat, dan Dewi Kanti, Selasa (28/6), Komnas Perempuan menyatakan, hingga kini draf terbaru RKUHP belum dapat diakses oleh publik karena pemerintah belum menyerahkan draf kepada Komisi III DPR.
Padahal, pada Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Pemerintah pada 25 Mei 2022 lalu menyebutkan bahwa RKUHP, menurut rencana, akan disahkan menjadi undang-undang pada Juli 2022.
Sejumlah Pasal Krusial di RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS)
Oleh karena itu, Komnas Perempuan meminta pemerintah, yakni Kementerian Hukum dan HAM, segera menyampaikan draf RKUHP terbaru kepada DPR. Sebelum rangkaian pembahasan dan pengesahan, Kemenkumham dan DPR diharapkan memberikan akses draf RKUHP sebagai acuan pembahasan kepada publik.
Andy Yentriyani menyatakan, harmonisasi RKUHP dengan UU No 12/2022 tentang TPKS penting untuk menegaskan bahwa enam jenis kekerasan seksual, yakni pemerkosaan, pencabulan dan persetubuhan, tindak pidana terhadap perkawinan, melarikan anak dan perempuan untuk tujuan perkawinan, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan pelacuran merupakan TPKS.
Pemerintah dan DPR hendaknya mengharmonisasikan RKUHP dengan Pasal 4 Ayat (2) UU TPKS dengan memasukkan ke dalam Bab XXXIV tentang Tindak Pidana Khusus Bagian Keenam RKUHP dan menegaskannya dalam Ketentuan Peralihan RKUHP.
Hal itu bertujuan agar korban kekerasan seksual yang diatur di RKUHP dapat mengakses hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang diselenggarakan sebelum, selama, dan setelah putusan peradilan pidana sebagaimana yang dijamin dalam UU TPKS.
”Selain itu, memastikan unsur tindak pidana kekerasan seksual yang diatur di dalam RKUHP tidak tumpang tindih dengan unsur TPKS yang diatur dalam UU TPKS,” ujar Theresia.
Komnas Perempuan juga berharap dalam RKUHP akan memperluas ketentuan mengenai pengecualian tindak pidana aborsi bagi perempuan korban, termasuk penyandang disabilitas, dan bagi semua korban tindak pidana kekerasan seksual yang dapat berakibat kehamilan sehingga tidak terbatas untuk perempuan korban pemerkosaan.
Pembahasan partisipatif
Pekan lalu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP meminta agar Tim Perumus RKUHP, pemerintah dan DPR, membuka luas pembahasan RKUHP dan tidak mengesahkan RKUHP tanpa ada pembahasan dengan partisipasi bermakna sesuai dengan arahan Presiden Jokowi pada 2019.
Maidina Rahmawati, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengungkapkan, ada sejumlah rekomendasi dari Aliansi Nasional Reformasi KUHP, termasuk pentingnya harmonisasi delik dalam RKUHP berkaitan dengan UU TPKS.
Adapun UU TPKS memperluas cakupan tindak pidana kekerasan seksual melalui Pasal 4 Ayat (2) sehingga tidak hanya mencakup delik-delik yang secara khusus dirumuskan dalam UU tersebut, tetapi juga mengualifikasikan delik-delik lain di luar UU TPKS sebagai tindak pidana kekerasan seksual.
Oleh karena itu, khusus untuk delik-delik yang memiliki irisan dengan TPKS, seperti pemerkosaan, perbuatan cabul, pemaksaan aborsi, dan sebagainya, RKUHP perlu menegaskannya kembali sebagai TPKS agar mekanisme yang disusun UU TPKS dapat diberlakukan terhadap delik-delik tersebut sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) huruf j UU TPKS.
”Tanpa penegasan tersebut, delik-delik di RKUHP yang memiliki irisan dengan Tindak Pidana Kekerasan Seksual tidak dapat diberlakukan berbagai pengaturan di UU TPKS mengingat model pendekatan listing hanya berlaku bagi tindak pidana yang sudah ada sebelum UU TPKS diundangkan,” kata Maidina.