Gamang Mengelola Warisan Budaya Dunia
Ketiadaan badan pengelola membuat pemilik aset gamang mengelola Warisan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto.

Patung para pekerja tambang batubara Ombilin di kompleks Kantor PT Bukit Asam, Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (29/6/2019). Kantor perusahaan negara itu merupakan salah satu gedung cagar budaya warisan pertambangan batubara Ombilin yang sedang diajukan sebagai warisan dunia kategori benda ke World Heritage UNESCO.
Tiga tahun ditetapkan sebagai situs budaya warisan dunia Unesco, potensi yang dimiliki cagar budaya di Warisan Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Ketiadaan badan pengelola membuat pemilik aset gamang mengelola warisan budaya dunia itu.
Sebuah gedung tua bercat putih tampak sepi, Selasa (21/6/2022) sore itu. Sebagian dindingnya kusam dan diwarnai lumut hitam yang membentuk garis vertikal. Suasana masa lalu tergambar dari bangunan empat lantai ini. Tanaman hias yang tumbuh di sudut-sudut gedung salah satu penanda masih ada aktivitas manusia di sana.
Bangunan itu Gedung Transport atau New Zeefhuis di kawasan Saringan, Kelurahan Durian II, Kecamatan Barangin, Sawahlunto. Bangunan yang selesai dibangun pada 1924 ini dulunya tempat penyortiran batubara dari lubang tambang sebelum diangkut dengan kereta api ke Pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur di Padang.
Sekarang, sebagian dari Gedung Transport itu digunakan sebagai kantor dinas, yaitu Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Sawahlunto di lantai III dan IV dan Satpol PP dan Damkar Sawahlunto di lantai I dan II. Sebagian lainnya, masih dibiarkan begitu saja, termasuk rel kereta di lantai dasar.

Kondisi rangkaian jalur distribusi batubara dari Silo Gunung di kawasan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, Sumatera Barat, menuju dermaga tempat kapal berlabuh, Sabtu (24/8/2019). Silo dan rangkaian itu tidak dipergunakan lagi sejak sekitar 20 tahun lalu seiring berhentinya operasi Tambang Batubara Ombilin, Sawahlunto.
Gedung Transport hanya satu dari beberapa cagar budaya Warisan Tambang Batubara Ombilin yang belum dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal. Cagar budaya lain bernasib serupa, antara lain PLTU Salak, Stasiun Pompa Air Rantih, Bengkel Utama, Lubang Lunto II, lubang-lubang tambang lainnya, serta Silo Gunung di Padang.
Anggota Tim Ahli Cagar Budaya Sawahlunto Dedi Yolson menjelaskan, berdasarkan rencana pengembangan, Gedung Transport bakal dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari destinasi wisata edukasi yang terintegrasi dengan Lubang Lubang Lunto II yang akan kembali dibuka. Wisatawan bisa mengunjungi lubang tambang itu hingga ke gedung tersebut dengan lori.
Akan tetapi, rencana tersebut belum jua terlaksana. Kata Dedi, ketiadaan badan pengelola menjadi batu sandungan dalam pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya warisan budaya dunia itu. Pemilik aset gamang bertindak karena belum ada dan belum jelas pembagian tugas dalam pengelolaan cagar budaya itu.
“Sepertinya PT BA (Bukit Asam) agak gamang melakukan investasi untuk pemanfaatan. Jika dimanfaatkan, otomatis dibenahi bangunan atribut warisan dunia ini, yang menetapkan tidak ada. Ada kegamangan PT BA setelah nanti dikerjakan tidak boleh, penanganan salah, kan akhirnya membuang anggaran,” kata Dedi.

Tiga silo penyimpan batubara hasil Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, masih berdiri kokoh, Rabu (10/7/2019). Bangunan itu masuk dalam area Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang ditetapkan UNESCO sebagian warisan budaya dunia.
Pembentukan badan pengelola Warisan Tambang Batubara Ombilin merupakan satu dari 16 rekomendasi International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) yang mesti ditindaklanjuti setelah situs itu ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh Unesco pada 6 Juli 2019. Tiga tahun setelah itu, badan pengelola tak kunjung dibentuk. Pemerintah daerah (pemda), termasuk Pemkot Sawahlunto, berpandangan, itu wewenang pemerintah pusat.
Wali Kota Sawahlunto Deri Asta mengatakan, sesuai UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pemda tidak sampai pada warisan budaya dunia. Jadi, tugas itu, termasuk membentuk badan pengelola, ada pada pemerintah pusat. Ia pun berharap pemerintah pusat lebih proaktif membentuk badan pengelola.
“Pemkot sudah sering mengusulkan dan menyurati pemerintah pusat terkait badan pengelola ini,” kata Deri.
Menurut Deri, ketiadaan badan pengelola membuat pengembangan dan pemanfaatan warisan budaya dunia itu tersendat. Banyak rencana pengembangan yang dikonsep saat pengajuan status warisan budaya dunia tak terlaksana.
Aset cagar budaya pada situs ini, sambung Deri, dimiliki banyak pihak. Selain PT Bukit Asam yang asetnya lebih dari separuh, ada pula aset milik PT Kereta Api Indonesia, Balai Diklat Tambang Bawah Tanah, Pemkot Sawahlunto, dan sebagainya.

Suasana kantor PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin, pengelola terakhir tambang batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (22/6/2022). Gedung ini merupakan salah satu cagar budaya bagian dari Warisan Budaya Dunia Unesco Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Unesco pada 6 Juli 2019.
Selain itu, cagar budaya tersebut tidak hanya berada di Sawahlunto, tetapi juga di Kota Solok dan Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Padang Panjang, Padang Pariaman, dan Kota Padang. Maka dibutuhkan satu badan yang terdiri perwakilan semua pihak tersebut, termasuk pemerintah pusat, untuk mengelolanya di bawah satu payung.
“Jadi, siapa yang akan berbuat apa dan rencana aksinya, harus ada semacam orang/lembaga yang bisa memerintahkan. Dan itu bukan Wali Kota Sawahlunto, melainkan suatu lembaga yang dibuat secara khusus,” ujarnya.
General Manager PT Bukit Asam (BA) Tbk Unit Pertambangan Ombilin Yulfaizon mengatakan, perusahaan sebagai pemilik sekitar 80 persen aset pada situs warisan budaya dunia ini belum bisa mengembangkan dan memanfaatkan semua bangunan cagar budaya di situs ini. Sejauh ini, cagar budaya itu hanya dibersihkan dan dijaga tanpa dimanfaatkan untuk kegunaan lain.
"Belum bisa dilakukan kegiatan apapun karena memang penetapan warisan dunia ini bukan milik PT BA melainkan Pemerintah Indonesia. Jadi, memang kami belum bisa melakukan sesuatu tanpa ada payungnya (badan pengelola)," kata Yulfaizon.

Wisatawan sedang mengamati periuk di Museum Gudang Ransum, Sawahlunto, Sumatera Barat, yang digunakan untuk memasak nasi ataupun sayuran bagi pekerja Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto sejak 1918, Rabu (10/7/2019). Museum Gudang Ransum merupakan salah satu cagar budaya yang masuk dalam area Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang ditetapkan UNESCO sebagian warisan budaya dunia.
Ia menambahkan, manajemen sudah siap, akan mendukung apapun keputusan pemerintah. Walakin, tentunya harus jelas pembagian tugasnya, siapa berbuat apa. "Yang bisa dilakukan sekarang ya cuma menjaga agar cagar budaya tidak rusak atau hilang bentuk aslinya," ujarnya.
Tidak surut
Meskipun belum badan pengelola, kata Deri, Pemkot Sawahlunto tidak berdiam diri. Pemkot telah menyiapkan tim kerja, semacam tim kerja yang mirip dengan badan pengelola tetapi dengan area dan kewenangan terbatas hanya di Sawahlunto. Anggota tim ini merupakan perwakilan pemkot dan pemilik aset cagar budaya di kota ini.
Kabid Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Dinas Kebudayaan Permuseuman dan Peninggalan Bersejarah (DKP2B) Sawahlunto, Rahmat Gino Sea Games, mengatakan, meskipun belum ada badan pengelola, dengan segala keterbatasan tetap ada sejumlah pengembangan di situs itu. Solusinya dengan mencari pendanaan dari pemerintah pusat ataupun BUMN.
Dengan APBD, Pemkot Sawahlunto antara lain memulai pendirian museum penjara orang rantai yang terhubung langsung dengan lubang tambang di Sungai Durian. Pembangunan sudah berlangsung dalam tiga tahap dengan total anggaran Rp 300 juta hingga tahun kemarin. Tahun depan pembangunan diselesaikan dengan anggaran sekitar Rp 500 juta dari APBD.
Selain itu, kata Gino, pemkot dengan APBD juga berupaya memperbaiki beberapa cagar budaya lain yang juga bagian dari warisan budaya dunia ini, seperti rumah Pek Sin Kek, Lubang Kalam, pemeliharaan Museum Kereta Api, dan Museum Gudang Ransum. Selebihnya, pemkot berupaya mengembangkan situs warisan budaya dunia itu dengan mencari dukungan pendanaan dari pemerintah pusat.

Suasana di sekitar kawasan objek wisata Lubang Tambang Mbah Soero, salah satu lubang tambang peninggalan tambang batubara Ombilin di Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (22/6/2022). Lubang tambang ini merupakan salah satu cagar budaya dari Warisan Budaya Dunia Unesco Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Unesco pada 6 Juli 2019.
Tahun ini, lanjut Gino, pemkot mendapat dukungan dari Kementerian BUMN melalu project management office (PMO) untuk pemeliharaan kereta api dan reaktivasi jalur kereta dari Stasiun Sawahlunto hingga Stasiun Muaro Kalaban. Dana puluhan miliar rupiah itu bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) BUMN.
Selanjutnya, upaya penataan kota lama, salah satunya penataan Sungai/Batang Lunto, pemkot juga mendapat dukungan pendanaan dari Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V Padang. “Walaupun belum ada dana, upayanya melalui BWS tahun depan dapat anggaran Rp 43 miliar untuk penataan Batang Lunto,” ujar Gino.
Dalam upaya pelestarian dan pengembangan, kata Gino, pemkot juga dibantu oleh BPCB Sumbar untuk memugar Gereja Katolik Santa Barbara dan mengekskavasi struktur bangunan tertinggal di lokasi penjara orang rantai.
Gino menjelaskan, karena defisit anggaran yang dialami pemkot, tahun ini tidak ada anggaran untuk pengerjaan fisik pada warisan budaya dunia itu. Anggaran tahun ini lebih ke penguatan untuk sejumlah dokumen, seperti membuat lanskap kota bersejarah (hystorical urban landscape).
Dukungan pemerintah pusat dan Unesco dalam pengembangan non-fisik, kata Gino, mulai banyak. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang menyusun pola perjalanan wisata minat khusus. Sementara itu, Unesco Kantor Jakarta memberikan enam pendampingan kegiatan untuk 18 bulan ke depan, seperti kajian interpretasi situs.
“Arah pengembangan lebih menyajikan informasi dan edukasi, bagaimana setiap orang datang ke sini bisa mengetahui nilai penting yang ada di situs ini. Ke depan kami lebih menyajikan edukasi dan wisata sejarah, wisata minat khusus, pastinya terbatas, bukan massal,” ujar Gino.

Pejalan kaki melintas di depan Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (22/6/2022). Gedung ini merupakan salah satu cagar budaya bagian dari Warisan Budaya Dunia Unesco Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Unesco pada 6 Juli 2019.
Potensi
Deri melanjutkan, warisan budaya dunia selain dirawat dan dilestarikan, ia juga berdampak positif pada perekonomian. Status itu menarik turis mancanegara untuk datang. Disparpora Sawahlunto mencatat, pada periode Juli-Desember 2019, setelah status warisan dunia didapat, ada 411 orang wisatawan asing berkunjung.
Meskipun tidak ada catatan pembanding pada momen sebelum berstatus warisan budaya dunia, Deri menyatakan, angka itu meningkat lebih dari separuh. Namun, karena pandemi Covid-19, momentum itu hilang. Sekarang, kondisinya mulai menggeliat.
Wisata edukasi dan sejarah tambang menjadi masa kini dan masa depan perekonomian Sawahlunto. Maka potensi wisata dari situs warisan budaya dunia ini tak boleh disia-siakan. Sempat jaya berkat tambang, kota ini sempat jadi kota mati setelah tambang batubara Ombilin tidak beroperasi sejak 1998. Beberapa tahun setelahnya kota ini berhasil bangkit dan bertransformasi menjadi kota wisata tambang.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan, salah satu penyebab tertundanya pembentukan badan pengelola Warisan Tambang Batubara Ombilin karena pandemi Covid-19. “Dalam tahun ini diharapkan bisa kunjungan lapangan, membagi tugas di antara stakeholders,” katanya.

Suasana panorama Kota Lama Sawahlunto, yang juga pusat pemerintahan kota saat ini, ketika difoto dari obyek wisata Puncak Cemara, Sawahlunto, Sumbar, Rabu (10/7/2019).
Guru Besar Arkeologi Universitas Andalas Herwandi mengatakan, sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ada kemungkinan untuk memanfaatkan warisan budaya sebagai destinasi wisata. Pemda pun diberi peluang besar untuk mengelola dalam rangka melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan situs tersebut.
Terkait warisan Tambang Batubara Ombilin yang zona intinya terdapat di Sawahlunto, Herwandi mengatakan, sosialisasi, promosi, dan optimalisasi Warisan Tambang Batubara Ombilin mesti diprioritaskan. “Karena menurut saya pemanfaatan dalam hal ekonominya belum maksimal. Effort yang dilakukan oleh pemda sudah cukup tapi belum memadai,” kata Herwandi.
Dari sisi revitalisasi, kata Herwandi, ia mengapresiasi standar yang dilakukan oleh Sawahlunto karena mereka telah mengikuti standar-standar keilmiahan/akademik. Dalam merevitalisasi Gudang Ransoem, misalnya, mereka melakukan studi banding dan meminta pendapat dari para ahli.
“Pengumpulan bahan-bahan yang orisinil dengan baik. Untuk promosi ini mereka juga telah melakukan kerja sama dengan pemerintah Malaka. Effort untuk pemanfaatan yang lebih optimal harus dilakukan agar masyarakat lebih terdampak secara ekonomi,” ujarnya.

Suasana lalu lintas di depan Gereja Katolik Santa Barbara, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (22/6/2022). Gereja ini merupakan salah satu cagar budaya bagian dari Warisan Budaya Dunia Unesco Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto. Tambang Batubara Ombilin ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia Unesco pada 6 Juli 2019.
Ditambahkan Herwandi, keberadaan badan pengelola memang penting. “Memang perlu, artinya ada lembaga khusus untuk mengelola. Kalau sudah ada ditingkatkan, kalau belum ya dibentuk karena banyak hal yang harus diperhatikan dan dikoordinasikan,” katanya.
Belum optimal
Ketua Asosiasi Homestay Sawahlunto Kamsri Benty mengatakan, pengembangan warisan budaya dunia di Sawahlunto memang terasa belum optimal. Optimalisasi pengembangan dan pemanfaatan situs tersebut tentunya bakal berdampak pada peningkatan pengunjung.
“Hanya saja, pengembangan situs-situs yang akan dikunjungi ini belum optimal seperti halnya kuburan Belanda. Pernah ada tamu ingin melihat kuburan keluarganya di sana tapi dari kita datanya tidak tersedia,” kata Kamsri.
Menurutnya, tidak gampang untuk mendapatkan status warisan budaya dunia. Begitu pun untuk mempertahankannya, juga tidak mudah. Oleh sebab itu, Sawahlunto harus mampu memperlihatkan sisi kota warisan yang representatif terutama pada tamu asing yang mengharapkan data sejarah yang konkret.
Kamsri melanjutkan, upaya revitalisasi mengembalikan Sawahlunto selayaknya kota heritage tanpa mengubah bentuk sangat penting. Target pengunjung kota ini adalah turis asing, terutama Belanda, sehingga harus banyak promosi dan mencari data hingga ke negara itu.
“Jadi harapannya gaung kota warisan dunia ini juga bisa berdampak ke ekonomi masyarakat,” ujar Kamsri.
Sosialiasi ke masyarakat, katanya, juga perlu ditekankan agar mereka paham peluang yang bisa ditingkatkan untuk menunjang pariwisata wisata dunia ini. Dari sisi homestay, pihaknya juga berharap bisa dapat upgrade untuk aspek kelayakan/standar penginapan bagi turis internasional.