Setiap peristiwa yang tercatat lewat goresan tangan para jurnalis menjadi bekal draf awal untuk memahami yang sudah terjadi dan mengantisipasi yang akan datang.
News is the first rough draft of history. Kata-kata yang diucapkan oleh Alan Barth, jurnalis dan editor The Washington Post, itu mewakili adagium klasik bahwa peran pers, selain sebagai pilar keempat demokrasi yang mengawal kekuasaan serta mewakili kepentingan publik, adalah pencatat draf paling awal dari sejarah.
Sebuah bangsa tentunya dibangun melalui sejarah yang panjang. Keberadaannya tidak hadir begitu saja, semua dipengaruhi oleh apa yang terjadi jauh di masa lampau. Apalagi, nihil sub sole novum, tidak ada yang benar-benar baru di bawah matahari. Sejarah cenderung mengulangi dirinya sendiri.
Sebagai bangsa, kita bisa belajar dengan berkaca dari masa lalu, atau dengan naas mengulangi kesalahan—bahkan tragedi yang sama. Setiap peristiwa yang tercatat lewat goresan tangan para jurnalis menjadi bekal draf awal untuk memahami yang sudah terjadi dan mengantisipasi yang akan datang.
Peran itu pula yang dijalankan Kompas sepanjang 57 tahun kehadirannya dalam dunia pers nasional. Sebagai salah satu media nasional tertua, Kompas merekam berbagai momen dalam perjalanan 77 tahun bangsa Indonesia. Melintasi tujuh kepemimpinan presiden serta tiga orde kekuasaan.
Berbagai peristiwa yang ditulis jurnalis Kompas selama ini tercatat rapi dan dikelola di Pusat Informasi Kompas (PIK). Praktis, ada sekitar 2,5 juta arsip pemberitaan dan artikel sepanjang periode 1965-2022 yang tersimpan dalam kekayaan arsip Kompas.
Di tengah kehadiran Web3 dengan teknologi blockchain dan non-fungible token (NFT), Kompas melihat ada peluang untuk mengabadikan kekayaan arsip tersebut dalam semesta alternatif baru. Selain itu, belum banyak aset berkonteks sejarah yang hadir di jagat NFT.
Sifat NFT yang eksis dalam jaringan blockchain dan tidak bisa direplikasi membuat arsip sejarah lebih bermakna. Dengan kata lain, dia akan terus ada di sana, tidak dapat dimusnahkan.
Jejaring blockchain bisa dimaknai semacam museum sejarah tak langsung. Siapa pun dapat mengunjungi arsip yang telah berupa NFT untuk kembali merawat ingatan sejarah.
Sebagai bangsa, kita bisa belajar dengan berkaca dari masa lalu, atau dengan naas mengulangi kesalahan—bahkan tragedi yang sama.
Gaung peristiwa
Menelisik lautan arsip selama 57 tahun terakhir ini tentu tidak mudah. Pada setiap waktu, ada tonggak sejarah yang bernilai penting. Ada tahun yang memiliki segudang peristiwa penting, ada pula tahun yang ”landai” dengan kejadian.
Dalam ekshibisi ”Indonesia dalam 57 Peristiwa” ini, Kompas memilih satu peristiwa yang dianggap besar dan signifikan untuk mewakili tahun terkait. Dengan keterbatasan itu, sejumlah faktor ikut menjadi pertimbangan, tanpa bermaksud mengerdilkan signifikansi peristiwa lainnya.
Proses kurasi berpatok pada peristiwa dengan nilai relevansi kuat yang imbasnya bergaung sampai sekarang, baik atau buruk. Contohnya, berita peluncuran Satelit Palapa tahun 1976. Peluncuran ini jadi cikal bakal interkonektivitas yang memungkinkan kita tetap terhubung satu sama lain meski dihantam pandemi dua tahun terakhir.
Ada pula berita diresmikannya penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) untuk pertama kali pada 1972, bersamaan dengan peringatan HUT Ke-27 RI. Mulai saat itu pula, dalam redaksional surat kabar, Kompas mengeja ’jang’ dengan huruf ’y’ dan ’tjatatan’ diawali dengan huruf ’c’. Kini, 50 tahun kemudian, perubahan sebesar itu telah menjadi hal yang rasanya begitu alami dalam keseharian kita.
Dalam ekshibisi ”Indonesia dalam 57 Peristiwa” ini, Kompas memilih satu peristiwa yang dianggap besar dan signifikan untuk mewakili tahun terkait.
Beberapa peristiwa yang terekam dalam 57 arsip ini sekaligus mengingatkan akan warisan pekerjaan rumah yang belum tuntas. Ambil contoh, penuntasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu, seperti kasus pembunuhan Marsinah, buruh arloji yang getol memperjuangkan hak pekerja, pada tahun 1993.
Contoh lainnya, kasus penembakan misterius (petrus) pada periode 1982-1985, yang sampai hari ini tak kunjung dipertanggungjawabkan. Ada pula pekerjaan rumah lain yang tersisa, seperti penanganan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, yang sampai hari ini terus meluap dan mengontaminasi lingkungan sekitarnya.
Belajar dari masa lalu
Ekshibisi 57 arsip ini juga diharapkan menjadi pengingat untuk belajar dari masa lalu. Jalan ke depan tak mulus jika tidak semakin terjal. Beberapa hal tak banyak berubah meski puluhan tahun berlalu, dari banjir Jakarta yang terus berulang dari masa ke masa, sampai korupsi yang terjadi pada hampir setiap dekade.
Kompas memilih arsip berita terkait suap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2013 untuk menunjukkan tak ada lembaga negara yang bersih dari korupsi. Kasus lainnya ialah korupsi KTP elektronik pada 2017, yang disebut sebagai ”kejahatan nyaris sempurna” karena melibatkan segala lini, dari legislatif, eksekutif, BUMN, sampai swasta.
Ironisnya, lembaga antirasuah yang sepatutnya memberantas korupsi justru dilemahkan, sebagaimana ditunjukkan dalam arsip berita revisi Undang-Undang KPK dan gelombang unjuk rasa penolakan terhadap pembahasan RUU kontroversial itu pada 2019.
Terakhir, meski tak kalah penting, daya tarik visual ikut menjadi pertimbangan dalam mengurasi ke-57 arsip di atas. Peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala pada 2021 dipilih karena memiliki tampilan visual menarik, yang membawa Kompas memenangi penghargaan sebagai koran nasional dengan desain muka terbaik (Newspaper Front Page Design) oleh World Association of Newspaper and News Publishers (WAN-IFRA) tahun 2022.
Tak ayal, proses mengurasi ke-57 arsip selama dua bulan terakhir sekaligus momen bagi Kompas untuk berkaca tentang peran dan kehadirannya di dunia pers nasional.
Sesuai label ”pencatat draf awal sejarah”, fakta dan kebenaran terus berevolusi. Bagaimana pers memaknai sejarah terus berkembang seiring dengan kepingan baru fakta yang terungkap.
Peran Kompas dewasa ini tidak berhenti hanya mencatat versi awal sejarah itu. Kompas juga terus memaknai dan menggugatnya seiring dengan tiap lapis kebenaran baru yang terungkap.
Di sisi lain, kita pernah mengalami situasi saat kebebasan berpendapat dikungkung, dari level individu hingga media massa. Arsip berita mengenai pemberangusan kegiatan mahasiswa pada 1978 dan pemberedelan media massa pada 1994 oleh rezim Orde Baru mengingatkan kita akan masa-masa kelam itu, yang terasa kontras di tengah derasnya arus informasi saat ini.
Bagi Kompas, hal ini turut menjadi pengingat untuk mensyukuri serta memanfaatkan kebebasan pers yang ada sekarang, serta tetap konsisten mengamalkan peran sebagai pilar keempat demokrasi. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan misi besar amanat hati nurani rakyat yang tercantum di halaman muka surat kabar ini.