Menyeimbangkan konservasi dan pariwisata di situs warisan dunia butuh komitmen semua pihak. Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan warisan dunia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Foto Candi Borobudur dilihat dari bukit Punthuk Setumbu.
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen semua pemangku kepentingan dibutuhkan untuk mengelola warisan dunia secara berkualitas dan berkelanjutan. Tujuan konservasi dan pariwisata di situs warisan dunia mesti seimbang.
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Marsis Sutopo mengatakan, warisan dunia (world heritage) memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV) yang mesti dijaga. OUV merupakan syarat utama penetapan warisan dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). OUV menakar signifikansi budaya dan/atau alam suatu situs terhadap peradaban manusia.
”Jika tidak dijaga, warisan dunia akan mengalami degradasi. UNESCO bisa saja memasukkan warisan dunia kita ke daftar warisan dunia dalam bahaya. Daftar itu adalah indikator bahwa pemerintah tidak konsisten terhadap standar (perlindungan warisan dunia) dari UNESCO,” kata Marsis, Jumat (24/6/2022).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Fosil sebagai benda purbakala yang banyak ditemukan di Kawasan Kawasan Situs Sangiran memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini membuat sebagian masyarakat mencoba berburu fosil ini. Selain mencari fosil di bekas longsoran, mereka juga mencari dengan mengepras bukit yang meninggalkan bekas keprasan seperti di Dukuh Manyarejo, Desa Grogolan, Kecamatan Plupuh, Sragen, Jawa Tengah, Senin (2/6).
Indonesia memiliki sembilan warisan dunia. Beberapa di antaranya adalah Kawasan Candi Borobudur, Situs Manusia Purba Sangiran, Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, dan Hutan Hujan Tropis Sumatera. Hutan Hujan Tropis Sumatera masuk ke daftar merah UNESCO sejak 2011.
Jika ”kartu merah” terus diabaikan, status warisan dunia dapat dicabut UNESCO. Ini pernah terjadi di Liverpool, Inggris, pada 2021. Pencabutan status dianggap tamparan bagi suatu negara karena telah lalai menjaga warisan dunia. Adapun warisan dunia dianggap sebagai milik bersama warga dunia.
Rusaknya warisan dunia dianggap sama dengan hilangnya pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah. Hal ini akhirnya merugikan generasi di masa mendatang.
Rusaknya warisan dunia dianggap sama dengan hilangnya pengetahuan, kebudayaan, dan sejarah.
Salah satu faktor kerusakan warisan dunia adalah pariwisata massal. Pariwisata massal ditandai dengan banyaknya pengunjung yang melebihi kapasitas ideal situs. Candi Borobudur adalah salah satu warisan dunia di Indonesia yang menanggung beban pariwisata massal.
”Warisan dunia boleh dimanfaatkan untuk pariwisata, tetapi mesti memenuhi standar pelestarian. Artinya, pariwisata dan konservasi harus seimbang, tidak boleh melebihi kapasitas,” kata Marsis.
Wisatawan Asing Mengabadikan Komodo Komodo di pantai Loh Liang, pintu masuk kawasan Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (24/8/2016).
Menurut Ketua Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia, Soehardi Hartono, manajemen warisan dunia yang berkelanjutan dibutuhkan. Manajemen yang baik dapat mengubah praktik pariwisata massal menjadi pariwisata berkualitas. Artinya, pariwisata tidak memberi beban berlebih ke situs dan pengunjung memperoleh manfaat dari kunjungan tersebut.
”Pelestarian mesti dilihat sebagai proses mengelola perubahan. Artinya, kita tidak hanya bicara perlindungan, tetapi juga pengembangan dan pemanfaatan dalam koridor konservasi. Itu yang belum kita pahami,” katanya.
FERGANATA INDRA RIATMOKO
Petugas Balai Konservasi Borobudur membersihkan abu vulkanik di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Senin (22/6/2020). Pembersihan dilakukan setelah Gunung Merapi meletus sehari sebelumnya dan abu vulkanik dari gunung itu mencapai Candi Borobudur. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mencegah pelapukan pada batuan candi akibat abu vulkanik. Candi tersebut saat ini belum dibuka untuk wisatawan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, pemanfaatan warisan dunia untuk pariwisata harus berpijak pada pelestarian. Pemanfaatan yang mengabaikan pelestarian justru akan merugikan.
”Mencari keseimbangan tentu tidak mudah dan perlu melibatkan semua stakeholders,” ujar Hilmar. ”Setiap tahun, kementerian/lembaga melakukan monitoring yang dilengkapi evaluasi dan rekomendasi kepada pengelola (warisan budaya),” tambahnya.
Ia juga menyatakan bahwa penggalian nilai warisan budaya terus dilakukan melalui riset dan kajian. Jumlah riset dan kajian sudah cukup banyak. Namun, tantangannya adalah bagaimana menyampaikan hasil riset dan kajian ke publik.