Badan Pengelola Belum Ada, Pengembangan Tambang Batubara Ombilin Tersendat
Pemerintah Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, terus menjaga dan berupaya mengembangkan situs warisan Tambang Batubara Ombilin setelah tiga tahun ditetapkan sebagai warisan budaya dunia Unesco.

Pemandu wisata (kanan) menjelaskan kepada para pengunjung terkait Lubang Mbah Soero, salah satu lubang tambang peninggalan Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, Sabtu (29/6/2019). Situs warisan penambangan batubara Ombilin ditetapkan sebagai warisan dunia kategori benda oleh World Heritage UNESCO pada 6 Juli 2019.
SAWAHLUNTO, KOMPAS — Pemerintah Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, terus menjaga dan berupaya mengembangkan situs budaya Tambang Batubara Ombilin setelah tiga tahun ditetapkan sebagai warisan dunia Unesco. Namun, ketiadaan badan pengelola, membuat pengembangan dan pemanfaatan sejumlah cagar budaya di situs itu tersendat.
Warisan tambang batubara era kolonial Belanda itu ditetapkan Unesco sebagai situs budaya warisan dunia di Baku, Azerbaijan, pada 6 Juli 2019. Warisan itu tersebar di tujuh kabupaten/kota di Sumbar, mulai dari Sawahlunto sebagai zona inti industri tambang batubara, lima daerah lain yang dilintasi kereta api pengangkut batubara, hingga Kota Padang tempat penyimpanan dan pengiriman batubara ke luar negeri.
Kabid Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Dinas Kebudayaan Permuseuman dan Peninggalan Bersejarah (DKP2B) Kota Sawahlunto, Rahmat Gino Sea Games, Selasa (21/6/2022), mengatakan, secara fisik, ada sejumlah pengembangan di situs warisan dunia itu. Sebagian besar dilakukan dengan dukungan pendanaan dari pemerintah pusat ataupun BUMN.
Dengan APBD, Pemkot Sawahlunto antara lain memulai pendirian museum penjara orang rantai yang terhubung langsung dengan lubang tambang di Sungai Durian. Pembangunan sudah tiga tahap dengan total anggaran Rp 300 juta hingga tahun kemarin. Tahun depan pembangunan diselesaikan dengan anggaran sekitar Rp 500 juta dari APBD.
Selain itu, kata Gino, pemkot dengan APBD juga berupaya memperbaiki beberapa cagar budaya lain yang juga bagian dari warisan budaya dunia ini, seperti rumah Pek Sin Kek, Lubang Kalam, pemeliharaan Museum Kereta Api, dan Museum Gudang Ransum. Selebihnya, pemkot berupaya mengembangkan situs warisan budaya dunia itu dengan mencari dukungan pendanaan dari pemerintah pusat.
Tahun ini, lanjut Gino, pemkot mendapat dukungan dari Kementerian BUMN melalu project management office (PMO) untuk pemeliharaan kereta api dan reaktivasi jalur kereta dari Stasiun Sawahlunto hingga Stasiun Muaro Kalaban. Dana puluhan miliar rupiah itu bersumber dari dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) BUMN.
Selanjutnya, upaya penataan kota lama, salah satunya penataan Sungai/Batang Lunto, pemkot juga mendapat dukungan pendanaan dari Kementerian PUPR melalui Balai Wilayah Sungai (BWS) Sumatera V Padang. “Walaupun belum ada dana, upayanya melalui BWS tahun depan dapat anggaran Rp 43 miliar untuk penataan Batang Lunto,” ujar Gino.
Dalam upaya pelestarian dan pengembangan, kata Gino, pemkot juga dibantu oleh BPCB Sumbar untuk memugar Gereja Katolik Santa Barbara dan mengekskavasi struktur bangunan tertinggal di lokasi penjara orang rantai.
Gino menjelaskan, karena defisit anggaran yang dialami pemkot, tahun ini tidak ada anggaran untuk pengerjaan fisik pada warisan budaya dunia itu. Anggaran tahun ini lebih ke penguatan untuk sejumlah dokumen, seperti membuat lanskap kota bersejarah (hystorical urban landscape).
Dukungan pemerintah pusat dan Unesco dalam pengembangan nonfisik, kata Gino, mulai banyak. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sedang menyusun pola perjalanan wisata minat khusus. Sementara itu, Unesco Kantor Jakarta memberikan enam pendampingan kegiatan untuk 18 bulan ke depan, seperti kajian interpretasi situs.
“Arah pengembangan lebih menyajikan informasi dan edukasi, bagaimana setiap orang datang ke sini bisa mengetahui nilai penting yang ada di situs ini. Ke depan kami lebih menyajikan edukasi dan wisata sejarah, wisata minat khusus, pastinya terbatas, bukan massal,” ujar Gino.

Wisatawan sedang mengamati periuk di Museum Gudang Ransum, Sawahlunto, Sumatera Barat, yang digunakan untuk memasak nasi ataupun sayuran bagi pekerja Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto sejak 1918, Rabu (10/7/2019). Museum Gudang Ransum merupakan salah satu cagar budaya yang masuk dalam area Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang ditetapkan UNESCO sebagian warisan budaya dunia.
Kunjungan
Gino menuturkan, sejak warisan Tambang Batubara Ombilin jadi warisan budaya dunia, mulai banyak turis mancanegara berkunjung ke kota ini, terutama periode Juli-Desember 2019, sebelum pandemi Covid-19. Umumnya mereka berasal dari Belanda, selain itu juga Swedia, Swiss, dan Belgia. Sebelumnya, sangat jarang wisatawan asing datang ke Sawahlunto.
“Pascapenetapan, Juli-Desember 2019, sudah banyak bule datang ke Sawahlunto dari Eropa. Tapi awal 2020 disambut pandemi, penerbangan internasional tidak ada. Minggu ini sudah mulai ada beberapa bule datang,” ujarnya.
Kemudian, untuk pengunjung Nusantara dan lokal, selain dari sekolah, kata Gino, sudah banyak peneliti, akademisi, kampus-kampus rujukan, dan daerah yang berencana mengajukan warisan budaya dunia, juga banyak berkunjung ke Sawahlunto.
Sejauh ini, menurut Gino, kunjungan ke situs warisan budaya dunia ini memang belum membeludak. Selain karena pandemi Covid-19, itu juga karena wisata di Sawahlunto merupakan wisata minat khusus. Walakin, sesuai dokumen rencana pengelolaan (management plan), sudah ada manajemen pengunjung serta turunan dokumen rencana strategis pariwisata berkelanjutan.
Pada praktiknya, ke depan dari dokumen itu dibuat beberapa titik parkir untuk bus besar dan daya tampung masing-masing museum. Semua akan diatur. Begitu pula sistem drop off pengunjung. Salah satu konsepnya, pengunjung masuk ke kawasan kota lama dengan kereta dari Stasiun Muaro Kalaban. “Itu beberapa skema dicoba saat pengunjung meningkat. Sudah ada rencana,” ujarnya.
Dalam mengatur pembangunan di sekitar situs warisan dunia, Sawahlunto sejak dulu sebenarnya sudah lebih baik dibanding daerah lain dalam mengatur pembangunan. Dalam pengurusan izin mendirikan bangunan (IMB), selain mendapat rekomendasi dari dinas PUPR, warga juga mesti mengantongi rekomendasi dari DKP2B.
“Ada rekomendasi tata ruang di dinas PUPR dan rekomendasi cagar budaya di dinas kebudayaan. Itu jalan sampai saat ini. Termasuk yang tidak urus, kami ada kegiatan monitoring rutin. Jika ada kegiatan pembangunan dan perbaikan (di sekitar situs), kami lakukan pendekatan langsung, administrasi, atau rapat. Jadi, upaya itu terus dilakukan,” kata Gino.
Untuk perbaikan/pembangunan skala besar, kata Gino, dinas selalu meminta dukungan dari BPCB Sumbar atau para ahli untuk melakukan skema yang ada di Unesco, yakni analisis dampak cagar budaya. Adapun untuk skala kecil, dinas melakukan analisasi singkat dengan staf dan tim ahli di dinas.
“Pembangunan dan perubahan tetap menjaga keaslian. Jadi, lebih ke tinjauan, lihat dulu, identifikasi, mana harus dipertahankan, mana yang tidak, termasuk menambah ketinggian, menambah luas,” ujarnya.
Menurut Gino, mengendalikan pembangunan dan perubahan di sekitar situs warisan dunia di Sawahlunto relatif mudah karena dari segi kepemilikan, 90 persen kawasan kota lama punya PT Bukit Asam Unit Pertambangan Ombilin. Sebagian lainnya, milik pemkot, BUMN lain, serta segelintir masyarakat.
“Masyarakat lebih ke pengguna dan pemilik bangunan saja. Lebih mudah dan sosialisasi sejak lama. Lebih mudah dan banyak pihak yang juga ikut melestarikan, kalau ada rencana pembangunan, masyarakat lain ikut melaporkan,” kata Gino.
Gino menjelaskan, kendala utama dalam pengembangan dan pemanfaatan situs warisan Tambang Batubara Ombilin adalah tidak adanya badan pengelola hingga saat ini sebagaiman yang diamanatkan dalam undang-undang (UU). Sebagaimana UU Pemerintahan Daerah dan UU Cagar Budaya, warisan budaya dunia adalah wewenang pemerintah pusat.
“Kendala utama, sesuai amanat UU mesti ada badan pengelola. Situs warisan dunia ini meliputi tujuh kabupaten/kota. Karena belum ada badan pengelola, Sawahlunto berinisiatif membuat SK wali kota untuk membentuk tim pengelolaa. Seolah-olah tim bisa jalan tetapi khusus area Sawahlunto, melibatkan institusi di Sawahlunto dan pemilik aset,” ujar Gino.
Ketiadaan badan pengelola, kata Gino, membuat dokumen rencana pengelolaan yang dikirimkan ke Unesco tidak bisa dijalankan. Rencana pengendalian pembangunan, pengembangan wisata, fasilitas, tugas monitoring, tugas mengelola perizinan pada situs warisan budaya dunianya belum jelas. Pengembangan dan pemanfaatan cagar budaya yang belum tergarap menjadi tersendat.
“Belum ada badan pengelola, otomatis belum ada institusi yang bertanggung jawab langsung untuk situs ini. Belum ada anggaran yang betul-betul straight khusus untuk itu. Kami cuma bisa menangani situs yang ada di Sawahlunto dan anggaran pun terbatas. Karena belum ada badan pengelola, PT Bukit Asam dan pemilik aset lain belum dapat informasi seperti apa memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan aset mereka,” ujar Gino.
Gino berharap pemerintah pusat segera membentuk badan pengelola untuk Warisan Budaya Dunia Unesco Tambang Batubara Ombilin. Setidaknya, di BPCB Sumbar ada kelompok kerja (pokja) yang bisa mengurus soal pelestarian di warisan budaya dunia. “Minimal ada alokasi anggaran rutin untuk warisan Tambang Batubara Ombilin ini,” ujar Gino.
Baca juga: Tujuh Tahun Menanti, Tambang Batubara Ombilin Akhirnya Diakui Dunia
General Manager PT Bukit Asam (BA) Tbk Unit Pertambangan Ombilin Yulfaizon mengatakan, perusahaan sebagai pemilik aset belum bisa mengembangkan dan memanfaatkan bangunan cagar budaya di situs warisan ini. Sejauh ini, cagar budaya tersebut hanya dibersihkan dan dijaga tanpa dimanfaatkan untuk kegunaan lain.
"Belum bisa dilakukan kegiatan apapun karena memang penetapan warisan dunia ini bukan milik PT BA melainkan Pemerintah Indonesia. Jadi, memang kami belum bisa melakukan sesuatu tanpa ada payungnya (badan pengelola)," kata Yulfaizon.
Ia menambahkan, manajemen sudah siap, akan mendukung apapun keputusan pemerintah. Walakin, tentunya harus jelas pembagian tugasnya, siapa berbuat apa. "Yang bisa dilakukan sekarang ya cuma menjaga agar tidak cagar budaya tidak rusak atau hilang bentuk aslinya," ujarnya.
Guru Besar Arkeologi Universitas Andalas Herwandi, Jumat (24/6/2022), mengatakan, sesuai UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, ada kemungkinan untuk memanfaatkan warisan budaya sebagai destinasi wisata. Pemerintah daerah pun diberi peluang besar untuk mengelola dalam rangka melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan situs tersebut.
Herwandi memandang, UU tersebut sebuah payung besar dalam pemanfaatan, pelindangan, atau dalam pengembangan warisan tersebut sebagai sumber ekonomi, sumber kemakmuran, dan sebagainya. Walakin, yang tidak boleh dilupakan, meskipun diberi akses seluas-luasnya seperti itu, ada koridor yang mesti dipatuhi.
“Nah koridornya itulah tadi, ada unsur melindungi. Dalam rangka melindunginya itu tentu tidak boleh kita semena-mena atau sembarangan untuk melakukan pemanfaatannya. Oleh sebab itu ada istilah revitalisasi, yang termasuk dalam pemanfaatan,” kata Herwandi.
Dalam menjadikan warisan budaya menjadi objek wisata dan ada perbaikan, kata Herwandi, kekunoan warisan itu mesti diperhatikan. Kekunoannya itu punya nilai sejarah, nilai kebudayaan, dan nilai pengetahuan. Cagar budaya adalah warisan kebudayaan yang di dalamnya berisi masalah-masalah penting tentang nilai sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan sebagainya.
“Kalau terjadi eksploitasi atau keluar dari koridor undang-undang, ini yang jadi masalah. Kadangkala untuk mencapai sebuah hasil kemakmuran itu ada aspek yang menghancurkan terhadap beberapa warisan, nah itu yang jadi persoalan. Contohnya mungkin diambil satu aspeknya saja tidak memperhatikan aspek lain atau diambil satu warisan saja padahal antara satu warisan dan lainnya tergabung secara sistemik misalnya maka itu juga tidak bisa,” ujarnya.
Menurut Herwandi, UU menjadi payung besar, termasuk dalam menyeimbangkan tujuan konservasi dan tujuan ekonomi pada warisan budaya. Adapun secara teknis, ada para ahli yang bisa melakukan itu, misalnya, para arkeolog yang punya pengetahuan khusus tentang cagar budaya tersebut.
“Nah, yang jadi masalah kan, kalau misalnya, mereka yang benar-benar mengerti terkait pelestarian ini tidak memiliki akses dalam pengambilam keputusan terhadap aspek-aspek heritage itu,” katanya.

Suasana di sekitar Gedung Kebudayaan Sawahlunto, Sumatera Barat, Selasa (9/7/2019) sore. Gedung tersebut merupakan salah satu cagar budaya yang masuk dalam area Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto yang ditetapkan UNESCO sebagian warisan budaya dunia.
Sawahlunto
Terkait warisan Tambang Batubara Ombilin yang zona intinya terdapat di Sawahlunto, Herwandi mengatakan, untuk jumlah pengunjungnya masih tahap wajar. Namun, untuk preventif memang harus dibuat regulasi.
“Justru untuk Sawahlunto, ada hal yang lebih prioritas, misalnya untuk sosialisasi, promosi, dan optimalisasi oleh pemerintah daerah. Karena menurut saya pemanfaatan dalam hal ekonominya belum maksimal. Effort yang dilakukan oleh pemerindah daerah sudah cukup tapi belum memadai,” kata Herwandi.
Dari sisi revitalisasi, kata Herwandi, ia mengapresiasi standar yang dilakukan oleh Sawahlunto karena mereka telah mengikuti standar-standar keilmiahan/akademik. Dalam merevitalisasi Gudang Ransoem, misalnya, mereka melakukan studi banding dan meminta pendapat dari para ahli.
“Pengumpulan bahan-bahan yang orisinil dengan baik. Untuk promosi ini mereka juga telah melakukan kerja sama dengan pemerintah Malaka. Effort untuk pemanfaatan yang lebih optimal harus dilakukan agar masyarakat lebih terdampak secara ekonomi,” ujarnya.
Baca juga: Segera Bentuk Badan Pengelola Cagar Budaya Ombilin
Ditambahkan Herwandi, keberadaan badan pengelola memang penting. Memang perlu, artinya ada lembaga khusus untuk mengelola. Kalau sudah ada ditingkatkan, kalau belum ya dibentuk karena banyak hal yang harus diperhatikan dan dikoordinasikan,” katanya.