Ratusan remaja terpilih dari 34 provinsi berlayar dengan KRI Dewaruci dengan misi kebudayaan. Mereka tidak hanya belajar budaya maritim dan kekayaan rempah Nusantara, tapi juga trik mandi hemat air.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·5 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Kapal RI (KRI) Dewaruci bersandar di Pelabuhan Ahmad Yani, Ternate, Maluku Utara pada Selasa (14/6/2022). KRI Dewaruci yang membawa rombongan Muhibah Budaya Jalur Rempah yang terdiri dari puluhan pemuda-pemudi perwakilan semua provinsi. Sebelumnya, KRI Dewaruci berlayar dari Surabaya, lalu menuju Makassar, Baubau, dan Buton sejak 1 Juni 2022. Perjalanan akan dilanjutkan ke Tidore, Banda, Kupang, lalu kembali lagi ke Makassar hingga 2 Juli 2022.
Remaja-remaja yang baru menjejakkan kaki di Kota Ternate, Maluku Utara, pada Kamis (23/6/2022), semuanya berkulit cokelat. Kulit mereka terbakar matahari setelah berlayar selama tujuh hari enam malam dari Baubau dan Buton, Sulawesi Tenggara. Walau lelah dan mungkin belum mandi, mereka antusias membagikan pengalaman melintasi Laut Maluku.
Pertama-tama, kapal yang mereka tumpangi bukan kapal biasa, melainkan Kapal RI (KRI) Dewaruci. Kapal itu dibuat Jerman tahun 1952, lalu tiba di Indonesia pada 1953. Sejak saat itu, KRI Dewaruci telah dua kali berlayar keliling dunia.
KRI Dewaruci merupakan kapal latih sekaligus kapal paling tua milik TNI Angkatan Laut (AL). Petinggi-petinggi TNI AL dulu digembleng di sini. Menurut beberapa pihak, tidak semua orang punya kesempatan berlayar dengan kapal yang memiliki tiga tiang dan 16 layar ini. Remaja-remaja tadi mengaku beruntung bisa berlayar dengan KRI Dewaruci.
Obrolan santai itu seolah membuka wawasan soal Indonesia yang begitu luas dan kaya budaya.
Ada 37 remaja berusia 18-25 tahun yang berlayar dengan rute Baubau-Buton ke Ternate dengan KRI Dewaruci. Mereka adalah Laskar Rempah, sebutan buat pemuda-pemudi yang terpilih mengikuti program Muhibah Budaya Jalur Rempah. Mereka perwakilan dari 34 provinsi.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah tiba di Ternate, Maluku Utara pada Selasa (14/6/2022). Muhibah Budaya Jalur Rempah adalah program napak tilas jalur rempah Nusantara yang dilakukan dengan berlayar dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci ke enam titik, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
Muhibah Budaya Jalur Rempah digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Program ini mengajak 147 remaja berlayar ke enam titik perdagangan rempah di Nusantara zaman dulu, yaitu Surabaya, Makassar, Baubau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang. Para Laskar Rempah berlayar bergantian dari satu titik ke titik lain sejak 1 Juni hingga 2 Juli 2022.
Beberapa Laskar Rempah mengaku khawatir sebelum berlayar. Ada yang berpikir ini akan jadi pelayaran yang ”militer” sekali. Ada lagi yang khawatir tidak dapat teman. Maklum, beberapa dari mereka baru pertama kali bertemu di lokasi.
Kekhawatiran itu hilang satu per satu. Namun, kini muncul satu kekhawatiran baru: mandi.
KRI Dewaruci dapat menampung 75 ton air tawar dalam sekali pelayaran. Air itu digunakan semua awak kapal untuk mandi, buang air, hingga mencuci. Karena penumpang kapal ada banyak sementara airnya terbatas, penggunaan air harus dibatasi. Mandi pun tidak bisa byar, byur, byar, byur seperti di rumah.
”Ada lima bak air yang harus dibagi untuk sekitar 40 laki-laki. Perempuan punya dua bak untuk delapan orang,” kata Fakhri (18), Laskar Rempah dari Bengkulu. ”Bak diisi penuh dua kali sehari, yakni pagi dan sore.”
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana Kapal RI (KRI) Dewaruci pada Rabu (15/6/2022) dalam pelayaran dari Ternate menuju Tidore, Maluku Utara. Pelayaran yang ditempuh dalam waktu lebih kurang dua jam ini merupakan bagian dari Muhibah Budaya Jalur Rempah. Muhibah Budaya Jalur Rempah merupakan program napak tilas jalur rempah ke enam titik, yaitu Surabaya, Makassar, Bau-bau-Buton, Ternate-Tidore, Banda, dan Kupang.
Ibarat hidup, mandi jadi perkara let it flow. Kalau ada air, ya, mandi. Kalau tidak ada, ya, nanti saja mandinya. Beberapa Laskar Rempah memutuskan mandi sekali sehari. Para perempuan memutuskan tidak keramas karena takut airnya tidak cukup.
”Saya akhirnya mandi dengan empat gayung air. Gayung pertama untuk sikat gigi. Kedua untuk sabunan. Ketiga untuk membilas badan. Keempat untuk cuci muka,” kata Nana (21), Laskar Rempah dari Bali, sambil terkekeh.
Dalam setiap gayung air tawar yang digunakan, mereka berupaya mengingat teman-teman yang belum mandi. Dari pemikiran itu, tumbuh yang namanya solidaritas dan empati. Air milik bersama, bukan milik pribadi. Semua orang harus bisa merasakan nikmatnya mandi setelah seharian terpapar matahari di tengah laut.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebagian Laskar Rempah berfoto saat berlayar dari Ternate ke Tidore, Maluku Utara dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci pada Rabu (15/6/2022). Mereka berlayar dalam rangka Muhibah Budaya Jalur Rempah.
Selain di kamar mandi, kebersamaan mereka juga diuji di ruang makan. Saban hari ada sekelompok orang yang bertugas menyajikan makanan, mencuci piring, dan membersihkan ruang makan. Mereka disebut penanting. Jika ada puluhan orang makan tiga kali sehari, penanting mesti mencuci 100-an piring dalam sehari.
Kegiatan ini tidak hanya memaksa mereka bekerja sama. Ada yang mesti keluar dari zona nyaman, berkompromi, hingga belajar bertanggung jawab dengan tugas meski tidak sesuai keinginan hati. Kegiatan ini juga mendorong Laskar Rempah berinisiatif menunaikan tugas. Sebab, ketika sudah di kapal, tidak ada lagi yang mengingatkan mereka untuk mematuhi aturan dan menjalankan tugas, bahkan oleh TNI AL.
”Semua kegiatan kami lakukan dengan kesadaran diri. Penanting, misalnya, tidak pernah disuruh menyiapkan makanan. Mereka akan siap-siap sendiri sebelum jam makan siang,” kata Andi (24), Laskar Rempah dari Bangka Belitung.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebanyak 37 Laskar Rempah menerima arahan dari anggota TNI Angkatan Laut sebelum berlayar dari Ternate ke Tidore, Maluku Utara, dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci pada Rabu (15/6/2022). Mereka berlayar dalam rangka Muhibah Budaya Jalur Rempah.
Belajar Indonesia
Saat ada waktu kosong di kapal, para remaja ini suka berkumpul dan membicarakan apa saja, mulai dari budaya masing-masing daerah, bahasa daerah, hingga agama satu sama lain. Obrolan santai itu seolah membuka wawasan soal Indonesia yang begitu luas dan kaya budaya.
Obrolan ini menumbuhkan kesadaran bahwa kekayaan budaya Indonesia tidak lepas dari perdagangan rempah Nusantara di zaman dulu. Perdagangan yang terjadi sejak berabad-abad lalu itu melibatkan pedagang India, Arab, China, Melayu, hingga Jawa. Pada abad ke-15, bangsa Eropa datang dan memonopoli perdagangan rempah Nusantara.
Perdagangan dengan banyak bangsa asing mendorong terjadinya interaksi budaya. Sejarah mencatat bahwa nenek moyang Indonesia dulu terbuka dengan budaya-budaya baru. Pertukaran budaya dan akulturasi pun terjadi. Jejak interaksi budaya itu tampak, antara lain, dari bahasa dan wastra.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Sebanyak 37 Laskar Rempah bersiap untuk berlayar dari Ternate ke Tidore, Maluku Utara dengan Kapal RI (KRI) Dewaruci pada Rabu (15/6/2022). Mereka berlayar dalam rangka Muhibah Budaya Jalur Rempah.
Di sisi lain, pelayaran dengan KRI Dewaruci membuka memori kolektif para remaja yang nenek moyangnya adalah pelaut. Mereka diajari cara membaca titik koordinat kapal di laut hingga mengukur kecepatan kapal. Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid mengatakan, cara terbaik mengenal budaya bahari adalah ”mengalami” laut.
Di suatu subuh di Laut Maluku, sebagian Laskar Rempah ”ditasbihkan” menjadi pelaut melalui ritual mandi khatulistiwa. Ini ritual khas pelaut yang hanya dilakukan ketika kapal melewati garis khatulistiwa. Mereka dimandikan dengan campuran air laut, solar, dan oli.
Resmi sudah mereka menjadi pelaut. Resmi pula menjadi duta rempah. Kini, saatnya Laskar Rempah kembali ke daratan sembari memanggul misi mengampanyekan rempah Nusantara, baik di internet maupun di daerah masing-masing.