Komunitas Lokal Harus Dilibatkan dari Awal dalam Restorasi Ekosistem Hutan
Masyarakat atau komunitas lokal harus dilibatkan sejak awal program restorasi ekosistem hutan dan lahan. Pelibatan masyarakat lokal terbukti dapat meningkatkan tutupan hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Salah satu upaya menurunkan emisi yang dilakukan Indonesia adalah dengan merestorasi ekosistem hutan dan lahan. Upaya ini perlu melibatkan peran serta masyarakat lokal sejak awal agar hasil yang diraih lebih optimal, baik dari aspek lingkungan maupun ekonomi.
Co-founder Rimba Raya Conservation Eka Ginting mengemukakan, partisipasi komunitas lokal adalah syarat inti dalam pengembangan karbon hutan atau proyek untuk menghasilkan karbon kredit dari upaya perlindungan hutan. Hal ini juga sejalan dengan poin yang ditekankan oleh Verra, sebuah organisasi pengelola standar lingkungan terkemuka di dunia.
Salah satu standar yang dikeluarkan Verra terkait dengan program penanganan iklim, komunitas, dan biodiversitas. Verra menyebut bahwa hak-hak pemangku kepentingan di areal tersebut, termasuk komunitas lokal, perlu diakui, dihormati, dan dilibatkan.
”Jadi, pesan kuncinya adalah bahwa partisipasi komunitas lokal harus sudah dilibatkan dari awal karena menjadi inti dari program karbon hutan yang menghasilkan nilai ekonomi,” ujar Eka dalam webinar B20 side event tentang upaya dekarbonisasi melalui peran serta komunitas lokal, Jumat (24/6/2022).
Menurut Eka, restorasi ekosistem hutan dan lahan memang perlu melibatkan semua pihak, termasuk sektor swasta melalui investasi untuk pendanaan. Masuknya investasi swasta juga akan berdampak bagi masyarakat atau komunitas lokal. Sebab, dukungan swasta akan langsung menciptakan lapangan kerja lokal untuk sejumlah kegiatan seperti penanaman.
Pelibatan komunitas lokal melalui proyek dekarbonisasi, khususnya di hutan, itu akan memberikan tiga manfaat. Manfaat pertama, menghasilkan pendapatan tambahan, kedua meningkatkan kualitas hidup, dan ketiga mengembangkan inovasi.
Saat ini, Rimba Raya Conservation juga memiliki sejumlah program pemulihan ekosistem dan proyek karbon yang melibatkan langsung masyarakat lokal, salah satunya di Riau. Program ini juga diharapkan dapat mengurangi risiko polusi asap di wilayah Riau yang disebabkan kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
”Pelibatan komunitas lokal melalui proyek dekarbonisasi, khususnya di hutan, itu akan memberikan tiga manfaat. Manfaat pertama, menghasilkan pendapatan tambahan, kedua meningkatkan kualitas hidup, dan ketiga mengembangkan inovasi,” tuturnya.
Koordinator Program Bujang Raba Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Emmy Primadona mengatakan, pelibatan komunitas lokal dalam pemulihan ekosistem dan pengelolaan hutan lestari salah satunya dilakukan melalui Program Bujang Raba. Program ini sekaligus menjadi media komunikasi kepada berbagai pihak bahwa pengelolaan kawasan hutan akan berjalan lebih baik apabila komunitas lokal diberikan kepercayaan.
Selain itu, program yang melibatkan komunitas lokal akan memberikan bukti konkret praktik pengelolaan kawasan hutan yang berkontribusi pada penurunan emisi. Di sisi lain, hal ini juga akan meningkatkan komitmen masyarakat untuk tetap mengelola kawasan hutan secara berkelanjutan.
KKI Warsi mencatat, restorasi ekosistem dan pengembangan jasa lingkungan seperti perhutanan sosial yang melibatkan masyarakat lokal terbukti telah meningkatkan tutupan hutan. Sebagai contoh, program perhutanan sosial di Nagari Gunung Selasih, Dharmasraya, Sumatera Barat, telah meningkatkan tutupan hutan sebanyak 18 persen dari semula 2.762 hektar pada 2017 menjadi 3.356 hektar pada 2020.
Dukungan pendanaan
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyampaikan, salah satu komitmen dan upaya pemerintah dalam menurunkan emisi di sektor kehutanan dan tata guna lahan dilakukan dengan menetapkan penyerapan karbon bersih atau FoLU Net Sink tahun 2030.
Agus mengakui, upaya mencapai FoLU Net Sink 2030 membutuhkan dukungan dari semua pihak, termasuk aspek pendanaan dan sumber daya manusia. Implementasi ini diperkirakan membutuhkan dana lebih dari Rp 200 triliun dengan porsi kebutuhan terbesar untuk pembangunan hutan tanaman industri sekitar Rp 76 triliun.
”Keterbatasan anggaran pemerintah tentu menjadi tantangan. Melalui forum B20, diharapkan pihak-pihak terkait bisa memberikan pandangan dan pengalaman, khususnya bagaimana hutan Indonesia dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan, misalnya dari nilai ekonomi karbon,” ucapnya.