Sehat Bumi, Hewan, dan Manusianya
Pandemi Covid-19 menunjukkan urgensi untuk memperbaiki pola hubungan antara manusia dengan hewan dan lingkungannya. Persinggungan ketiganya yang intens dan eksploitatif bisa memunculkan ancaman kesehatan.
Pandemi Covid-19 telah menunjukkan sekali lagi urgensi untuk memperbaiki relasi antara manusia, hewan, juga lingkungan. Tanpa ada perbaikan relasi tiga komponen yang menjadi fondasi dari One Health ini, umat manusia akan selalu berada di bawah ancaman penyakit menular.
Covid-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 merupakan penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan ke manusia kemudian menular antarmanusia lalu kembali dari manusia ke hewan. Pandemi Covid-19 telah menjadi wabah terburuk dalam seabad terakhir. Dari Januari 2020 hingga Desember 2021, sebanyak 5,94 juta orang yang dilaporkan meninggal karena Covid-19, tetapi jumlah kematian sesungguhnya mencapai 18,2 juta jiwa atau bisa lebih dari tiga kali lipat (The Lancet, 2022).
Data ilmiah menunjukkan bahwa Covid-19 berasal dari kelompok virus korona yang mematikan yang awalnya hanya menginfeksi kelelawar dan trenggiling di Asia dan Asia Tenggara sebelum kemudian terdeteksi menginfeksi manusia di Wuhan, China, pada pengujung 2019.
Sebelumnya, kita juga mengenal sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang juga ditularkan oleh virus korona SARS-CoV-1. Sindrom ini menyebabkan wabah yang menjangkiti sejumlah negara pada tahun 2002-2004. Kajian genetika menemukan, virus korona ini awalnya berinang pada kelelawar tapal kuda dan melompat ke musang sebelum beralih ke manusia.
Baca juga: Pendekatan One Health dalam Penanganan Masalah Kesehatan
Tak hanya Covid-19 dan SARS, berbagai penyakit yang memicu epidemi atau pandemi rata-rata juga zoonosis. Misalnya, flu Spanyol 1918, ebola, demam West Nile, dan HIV. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun, sekitar 2 juta orang, sebagian besar di negara berpenghasilan rendah dan menengah, meninggal karena penyakit zoonosis yang terabaikan.
Meningkatnya interaksi manusia-hewan telah memperkuat kemungkinan infeksi lintas spesies. Para ahli ekologi juga mencurigai adanya kaitan langsung antara merosotnya keanekaragaman hayati di alam dan meledaknya wabah, sebagaimana ditunjukkan dalam kajian Kate Jones, ahli ekologi dari University College London dan tim di jurnal Nature (2020).
Dengan menganalisis 6.800 lokasi di enam benua, Jones menemukan populasi spesies inang penyakit yang dapat menular ke manusia, termasuk 143 mamalia, seperti kelelawar, tikus, dan berbagai primata, semakin meningkat seiring dengan perubahan hutan menjadi perkotaan. Ketika sebagian spesies di alam liar punah akibat ulah manusia, mereka yang bertahan dan berkembang itu cenderung menyimpan lebih banyak patogen dan parasit berbahaya.
Sains jelas menunjukkan, jika kita terus mengeksploitasi satwa liar dan menghancurkan ekosistem maka kita bakal melihat aliran penyakit zoonosis melompat dari hewan ke manusia.
Laporan United Nations Environment Programme (UNEP) dan The International Livestock Research Institute (ILRI) pada 2021 menyebutkan, sejumlah tren yang mendorong munculnya penyakit zoonosis, di antaranya, meningkatnya permintaan protein hewani; intensifikasi pertanian yang tidak berkelanjutan; meningkatnya eksploitasi satwa liar; dan krisis iklim.
Dunia tak sama lagi
Kini, sebelum tuntas pandemi Covid-19, kita juga menghadapi ancaman monkeypox atau cacar monyet yang saat ini sudah menyebar di 29 negara dengan lebih dari 1.000 kasus. Sebagaimana penyakit zoonosis lain, penyakit ini awalnya hanya menjangkiti fauna.
Cacar monyet pertama kali ditemukan pada tahun 1958 ketika wabah penyakit mirip cacar terjadi di koloni monyet yang dipelihara untuk penelitian. Kasus cacar monyet pertama pada manusia baru dilaporkan pada tahun 1970 di beberapa negara Afrika tengah dan barat. Sebelum wabah 2022, hampir semua kasus cacar monyet pada orang di luar Afrika terkait dengan perjalanan internasional ke negara-negara di mana penyakit itu telah menjadi endemik atau melalui hewan impor.
”Pelajaran penting dari pandemi Covid-19, dunia semakin rentan dan tidak sama lagi dengan sebelumnya,” kata Dicky Budiman, epidemiolog dan peneliti kesehatan global dari Griffith University, Australia, Senin (20/6/2022).
Sekalipun status pandemi nantinya dicabut, situasi kesehatan global tetap rentan. Covid-19 kemungkinan akan selalu ada, sebagaimana influenza, yang berinduk pada pandemi flu Spanyol 1918. Sementara itu, berbagai penyakit lama dan penyakit baru, semakin rentan muncul karena perubahan lingkungan yang masif termasuk dengan terjadinya krisis iklim.
Selain ancaman wabah baru seperti cacar monyet, sekarang kita juga menghadapi situasi intrapandemi atau wabah ikutan sebagai dampak kolateral pandemi, antara lain, polio, campak, difteri, kolera, congo fever, hingga hepatitis misterius pada anak. ”Wabah di dalam pandemi memang akan semakin sering jika kita tidak mengubah tatanan perikehidupan kita,” katanya.
Dunia tidak lagi sama. Krisis iklim, pencemaran lingkungan, hingga penurunanan keragaman hayati telah menambah rentan kesehatan global. Perubahan ini menuntut perubahan manusia yang berperan penting dalam memicu situasi yang sekarang tejadi. ”Dunia sudah berubah, kalau mau bertahan, manusia juga harus mengubah perilaku dengan menerapkan pendekatan dan intervensi yang komprehensif dari One Health,” kata Dicky,
One Health, yang didefinisikan pada ahli di One Health High-Level Expert Panel (OHHLEP) sebagai pendekatan terpadu untuk menyeimbangkan dan mengoptimalkan kesehatan manusia, hewan, dan ekosistem secara berkelanjutan, menjadi semakin urgen.
Pendekatan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Pakar kesehatan dari seluruh dunia telah bertemu pada 29 September 2004 untuk simposium yang diberi nama ”One World, One Health” yang diselenggarakan Wildlife Conservation Society dan diselenggarakan oleh The Rockefeller University. Mereka fokus pada pergerakan penyakit saat ini dan potensial di antara populasi manusia, hewan domestik, dan satwa liar.
Menggunakan studi kasus ebola dan avian influenza sebagai contoh, panelis ahli yang berkumpul menggambarkan prioritas pendekatan interdisipliner internasional untuk memerangi ancaman terhadap kesehatan kehidupan di Bumi.
Pelajaran penting dari pandemi Covid-19, dunia semakin rentan dan tidak sama lagi dengan sebelumnya.
Rekomendasi mereka, disebut ”Manhattan Principles” mencantumkan 12 poin penting yang intinya menetapkan pendekatan yang lebih holistik untuk mencegah epidemi atau penyakit epizootik dan untuk menjaga integritas ekosistem demi keuntungan manusia, hewan, dan keanekaragaman hayati dasar yang mendukung kita semua.
”Pendekatan One Health sudah digagas sejak sebelum pandemi, tetapi saat itu belum sungguh-sungguh diterapkan. Lebih banyak jadi wacana akademis. Sekarang, kita butuh aksi lebih nyata,” kata Dicky.
Perubahan perilaku
Dicky Pelupessi, psikolog dari Laboratorium Intervensi Sosial dan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan, Covid-19 telah telah memaksa kita untuk mengubah perilaku. Beberapa perubahan itu di antaranya mengurangi mobilitas, menjaga jarak fisik, penggunaan masker, mencuci tangan, hingga pentingnya ventilasi. Perubahan perilaku ini terbukti berperan penting dalam penanggulangan pandemi.
”Kita tahu, bahwa perubahan itu juga sangat berguna bahkan setelah pandemi Covid-19,” kata Pelupessi, yang juga Wakil Dekan Fakultas Psikologi UI dan pernah terlibat di Satuan Tugas Penanganan Covid-19.
Dia mencontohkan, perilaku cuci tangan akan sangat berguna bagi kesehatan secara keseluruhan, terutama terkait penyakit yang ditularkan melalui makanan. Adapun memakai masker juga mengajarkan perilaku lebih peduli, bukan hanya pada diri sendiri, melainkan kepada sesama. ”Misalnya, mereka yang punya gejala sakit pilek, sebaiknya memang memakai masker untuk mencegah orang lain tertular. Untuk konteks saat ini, masker juga penting mencegah dampak polusi udara,” kata Pelupessi.
Sementara menurunkan mobilitas fisik dan menggantinya dengan pertemuan virtual juga bisa membantu mengurangi emisi. ”Sebelum pandemi, akademisi termasuk penyumbang besar emisi dengan sering konfrensi di mana-mana. Sekarang ada webinar, pertemuan daring yang cukup efektif untuk jadi alternatif,” katanya.
Terbukti, penurunan mobilitas telah menurunkan emisi karbon. Laporan Proyek Karbon Global yang dirilis pada Jumat (11/12/2020) menyebutkan, emisi karbon dioksida pada tahun 2020 turun sebesar 7 persen merupakan penurunan terbesar kedua yang pernah terjadi.
Di tahun pertama pandemi Covid-19 ini, emisi karbon terpangkas sekitar 2,4 miliar metrik ton, memecahkan rekor penurunan tahunan sebelumnya, antara lain 0,9 miliar metrik ton pada akhir Perang Dunia II atau 0,5 miliar metrik ton pada tahun 2009 ketika krisis keuangan global melanda.
Sekalipun demikian, pada tahun 2021 emisi karbon global kembali naik hingga mencapai 36,3 gigaton setara CO2 dan menembus rekor tertinggi sepanjang sejarah. Emisi karbon pada 2021 meningkat sekitar 6 persen dari tahun 2020, beriringan dengan pemulihan ekonomi global yang tumbuh sebesar 5,9 persen dalam periode sama.
Baca juga: Mengayuh di Antara Ekonomi dan Pandemi
Penasihat Senior Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Bidang Jender dan Pemuda Diah Saminarsih mengatakan, pandemi telah memaksa kita untuk mengubah perilaku dan sebagian perubahan yang baik itu seharusnya dipertahankan. Namun, kecenderungan untuk kembali seperti sebelum pandemi sangat besar.
”Tanpa ada kesadaran di level individu, yang kemudian dipermanenkan dalam kebijakan institusi, termasuk level negara, pandemi ini tidak akan mengubah budaya menjadi lebih baik dan ramah lingkungan,” kata Diah.
Dalam hal bekerja dari rumah, sebenarnya ada kantor-kantor tertentu dan bisnis tertentu yang bisa lebih efektif jika dikerjakan di rumah. Upaya untuk memperpendek jam kerja di kantor dalam seminggu secara global hal ini sedang dijajaki.
Misalnya di Inggris, lebih dari 70 perusahaan dengan 3.300 lebih karyawan sejak awal Juni 2022 telah mulai bekerja selama empat hari dalam seminggu tanpa pengurangan gaji. Proyek percontohan akan berjalan selama enam bulan dan didasarkan pada model 100-80-100: 100 persen membayar untuk 80 persen dari waktu sebagai imbalan atas komitmen untuk mempertahankan produktivitas 100 persen (weforum.org, 21 Juni 2022).
”Ini bagus ke semua hal, tetapi kesadaran itu belum merata. Hanya ada beberapa korporasi besar yang sudah menyesuaikan kebijakan itu, kebanyakan yang lain kembali ke kebiasaan lama. Di Indonesia, ini juga belum terlihat dengan mobilitas sekarang yang sudah setinggi sebelum pandemi,” kata Diah.
Menurut Diah, selama pandemi, WHO telah berulang kali menekankan pentingnya memperbaiki kualitas lingkungan hidup, terutama terkait ancaman polusi yang memperburuk kesehatan global, bahkan menjadi faktor risiko infeksi Covid-19.
”Kalau kita benar mau belajar dari pandemi ini, misalnya, bagaimana virus ini merebak dari pasar basah di Wuhan, itu bisa dicegah kalau kita mau mengubah gaya hidup. Cara kita makan, cara kita hidup berdampingan dengan hewan, cara kita mengelola lingkungan, harus lebih baik, sesuai prinsip One Health. Kalau ini bisa dikoreksi, kita mungkin bisa mengurangi risiko ancaman pandemi berikutnya,” kata Diah.
Baca juga: Tanggung Jawab Kebiasaan Hidup Sehat Kembali ke Individu
Diah menambahkan, pendekatan One Health juga menuntut equity atau kesetaraan dalam mengakses kesehatan. Di dunia yang semakin terhubung, tidak akan ada populasi yang bisa selamat sendiri, ketika masih ada populasi lain yang bergulat dengan penyakit menular. Kemunculan sejumlah varian Covid-19 dan sekarang cacar monyet telah menunjukkan ketimpangan akses terhadap kesehatan, termasuk vaksinasi di Afrika, kemudian menjadi sumber masalah global.
Sekarang semuanya berada di tangan kita. Dengan mulai menurunnya pandemi Covid-19, apakah kita mau berubah atau sebaliknya kembali ke pola hidup lama, yang jelas tidak sehat dan rentan memicu kembali berbagai masalah kesehatan global. Tak hanya mencegah pandemi berikutnya, memperbaiki relasi dengan makhluk hidup lain dan lingkungan juga dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan kehidupan manusia.