Jakarta-Bogor, Bersiaplah Menghadapi Gempa
Data sejarah menunjukkan, Jakarta dan sekitarnya berulang kali mengalami kerusakan akibat gempa bumi. Siklus alam ini bisa berulang di masa depan, karenanya kesiapsiagaan perlu dibangun.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F01%2Fc1dcbcc4-c565-48d1-ad38-826ac09321bf_jpg.jpg)
Siswa TK/SD Hati Kudus, Jelambar, Jakarta, mengikuti simulasi evakuasi bencana gempa, Jumat (30/11/2018).
Semakin banyak data sains yang menunjukkan bahwa Jakarta dan sekitarnya berada di zona bahaya gempa, baik dari zona subduksi maupun jalur patahan di daratan. Data sejarah juga menunjukkan, kota ini sudah berulang kali mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang mengharuskannya untuk bersiaga terhadap ancaman berikutnya.
Penelitian terbaru yang dipublikasikan di Scientific Reports-Nature, pada Kamis (16/6/2022), menambah bukti tentang ancaman gempa yang mengepung Jakarta dan sekitarnya. Penelitian yang ditulis Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) Sri Widiyantoro dan tim ini menunjukkan bahwa Sesar Baribis, jalur patahan di selatan Jakarta, aktif dan menyimpan ancaman besar.
Beberapa studi sebelumnya menyebutkan, Sesar Baribis ini terletak di bagian utara Pulau Jawa, membentang dari Kabupaten Purwakarta sampai perbukitan Baribis di Kabupaten Majalengka (Van Bemmelen, 1949). Sesar Baribis mengalami kemiringan 31 derajat ke selatan dan memiliki slip rate 1 mm/tahun (Hutapea and Mangape, 2009).
Simandjuntak dan Barber (1996) dan Simandjuntak (1992) menyatakan bahwa Sesar Baribis-Kendeng dapat ditelusuri dari Selat Sunda ke arah timur melintasi Jawa dan masuk ke Cekungan Bali, menghubungkan ke Flores Thrust, utara Flores, dan dapat berlanjut ke timur sebagai kelanjutan Sesar Wetar.
Baca juga : Mitigasi Risiko Gempa dari sesar Baribis di Selatan Jakarta
Aktivitas Sesar Baribis di bagian timur tercatat pernah memicu gempa bumi merusak di Kabupaten Majalengka pada 6 Juli 1990 (Soehaimi, 2008). Hiposentrum gempa saat itu berkekuatan 5,8 pada 6,55 derajat Lintang Selatan dan 108,20 derajat Bujur Timur pada kedalaman 14 km (Supartoyo dan Surono, 2009).
Gempa bumi saat itu menghancurkan dan merusak lebih dari 150 rumah dan menewaskan 1 penduduk desa dan melukai 7 orang di Desa Anggarwati, lokasi terdekat dengan pusat gempa. Namun, gempa bumi yang signifikan belum tercatat di bagian barat Sesar Baribis, yang berjarak sekitar 25 kilometer di selatan Jakarta.

Studi terbaru dari Widiyantoro dan tim menunjukkan, bagian barat segmen Sesar Baribis yang aktif ini dalam kondisi terkunci. Hal ini menyebabkan kawasan ini sangat rentan terhadap gempa bumi cukup besar di masa depan dari Sesar Baribis, ketika energi regangan yang terakumulasi ini akhirnya dilepaskan.
”Studi saat ini memfokuskan potensi gempa bumi besar yang terjadi di dekat Jakarta di masa depan jika zona patahan yang terkunci memang ada dan bisa lepas setelah mengumpulkan sejumlah besar energi regangan. Oleh karena itu, kami merekomendasikan untuk memasukkan Sesar Baribis yang aktif dalam setiap pembaruan peta bahaya gempa bumi Indonesia sehingga bisa dimasukkan ke dalam perencanaan penanggulangan bencana dan desain bangunan,” tulis Widiyantoro dan tim.
Temuan ini melengkapi serangkain data sebelumnya yang berupaya melacak aktivitas zona patahan di daratan yang padat penduduk. Kota-kota besar di barat laut Jawa, seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang dan Purwakarta, diketahui ditopang oleh medan geologis kompleks yang dipengaruhi pertemuan Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia di sepanjang Palung Jawa.
Baca juga : Gempa Guncang Jakarta
Selain ancaman gempa bumi dari zona subduksi ini, kota-kota ini juga rentan terhadap gempa bumi yang disebabkan oleh patahan kerak aktif yang melintasi wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Sesar tersebut, antara lain, Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Garut, dan Sesar Cipamingkis.
Keberadaan Sesar Baribis sebelumnya telah diverifikasi oleh sejumlah penelitian lain, termasuk penelitian Simandjuntak dan Barber (1996), tetapi keaktifannya saat itu diperdebatkan. Pemetaan geologis menggunakan data refleksi seismik oleh Koulali dan tim (2017) menemukan, Sesar Baribis, yang berjarak sekitar 25 kilometer selatan Jakarta ini, memang aktif dengan laju geser sekitar 5 mm per tahun.
Jejak gempa besar
Sejarah mencatat, Jakarta telah berulang kali mengalami gempa bumi kuat, yang beberapa di antaranya sangat merusak. Gempa kuat pertama yang terdokumentasikan terjadi pada 5 Januari 1699.
Arthur Wichman (1918), saat menyusun katalog gempa bumi di Kepulauan Indonesia periode 1538-1877, menyebutkan, gempa amat kuat dirasakan di Jakarta pada 1699 itu terjadi saat hujan lebat. Selain merobohkan banyak bangunan, gempa itu juga menyebabkan longsor besar di Gunung Gede Pangrango dan Gunung Salak. ”Banjir bandang berisi lumpur dan kayu memenuhi Sungai Ciliwung di Batavia, mengalir ke laut. Di mana-mana terjadi kehancuran,” ujarnya.
Catatan Phoonsen (1699), seperti diterjemahkan oleh sejarawan Anthony Reid (2012), setidaknya ada 21 rumah, 29 lumbung, dan 28 nyawa hilang setelah gempa. Runtuhnya bangunan secara signifikan juga dilaporkan terjadi di Banten dan Lampung.
Sifat kerusakan yang meluas, mulai dari Jakarta, Bogor, Banten, dan menunjukkan bahwa sumbernya adalah gempa bumi berkekuatan besar dan dalam. Ngoc Nguyen dan tim dalam papernya, Indonesia'a Historical Earthquake (2015), telah memodelkan dua kemungkinan sumber gempa tahun 1699 ini, yaitu gempa berkekuatan Mw 8 di intraslab atau lengan lempeng dan gempa Mw 9 dari zona subduksi.
Dengan membandingkan hasil pemodelan dan besarnya kerusakan di Jakarta dan selatan Bogor, Nguyen (2015) menyimpulkan, sumber gempa ini lebih mungkin berasal dari zona itraslab, bisa di suatu tempat antara Cisalak dan Lampung.

Distribusi skala guncangan gempa dalam MMI yang diamati berdasarkan bukti sejarah, dan jejak patahan yang digunakan untuk memodelkan getaran gerakan tanah pada 5 Januari 1699. Sumber: Nguyen, dkk. (2015)
Gempa kuat berikutnya terjadi di Jakarta pada 22 Januari 1780. Gempa ini dianggap sebagai salah satu yang terbesar yang pernah melanda Jawa sebagaimana disebut Musson dalam British Geological Survey (2012). Wichmann (1918) menyebutkan, getaran tanah terasa di seluruh Jawa dan Sumatera bagian tenggara, dengan daerah paling terasa di Jawa Barat. Gempa itu setidaknya menyebabkan 27 gudang dan rumah runtuh di Zandsee dan Moor gracht (kanal), kini merupakan lokasi Pusat Kebudayaan Jakarta berada.
Kami merekomendasikan untuk memasukkan Sesar Baribis yang aktif dalam setiap pembaruan peta bahaya gempa bumi Indonesia sehingga bisa dimasukkan ke dalam perencanaan penanggulangan bencana dan desain bangunan
Dilaporkan bahwa ledakan dahsyat juga terdengar dari Gunung Salak, dua menit setelah gempa dan Gunung Gede berasap. Sementara Banten mengalami getaran yang kuat. Getaran lemah juga dirasakan di Cirebon, dan gempa laut diamati oleh kapal Willem Frederik yang berada di pintu masuk Selat Sunda (Wichmann, 1918).
Berdasarkan intensitas tinggi yang dirasakan di Batavia dan Bogor, peristiwa tersebut kemungkinan besar terjadi di Sesar Baribis atau merupakan peristiwa intraslab yang menyebabkan kerusakan di area yang luas. Namun, dengan berdasarkan pemodelan yang dilakukan, Nguyen (2015) menyimpulkan, gempa merusak pada 1780 bersumber dari Sesar Baribis.

Distribusi skala guncangan gempa dalam MMI yang diamati berdasarkan bukti sejarah, dan sesar yang digunakan untuk memodelkan getaran gerakan tanah pada 22 Januari 1780. Sumber: Nguyen, dkk. (2015)
Berikutnya, serangkaian gempa juga melanda Jakarta pada malam 10 Oktober 1834 yang didahului oleh gempa besar pada dini hari.
Javasche Courant edisi 22 November 1834 menyebutkan, gempa ini juga dirasakan di Banten, Karawang, Bogor, dan Priangan. Bahkan, guncangan juga terasa hingga Tegal dan Lampung.
Beberapa bangunan yang dilaporkan mengalami kerusakan di Jakarta, di antaranya, rumah-rumah dan bangunan batu termasuk istana di Weltevreden (Paleis van Daendels/Het Groot Huis, Istana Gubernur Jenderal, baru-baru ini menjadi Gedung Kementerian Keuangan). Rumah-rumah batu di Cilangkap, Jakarta Timur, juga rusak sebagian atau hancur.
Sementara di Bogor, hampir semua bangunan batu rusak parah. Bahkan, Istana Buitenzorg (Istana Bogor) sebagian runtuh, termasuk bagian utara bangunan pusat, dinding luar sayap timur dan kiriman uang paling utara. Stasiun pos di Cihanjawar terkubur seluruhnya di bawah tanah, yang menewaskan 5 orang dan 10 kuda mati.
Dengan pemodelan yang didasarkan pada sebaran kerusakan, Nguyen (2015) kembali menyimpulkan bahwa gempa kali ini juga bersumber dari Sesar Baribis.
Kesiapsiagaan gempa
Dengan data-data sejarah dan kajian geofisika terbaru, semakin jelas wilayah megapolitan Jabodetabek yang dihuni 29.116.662 jiwa atau sekitar 11 persen dari penduduk Indonesia ini memiliki kerentanan gempa bumi.
Endra Gunawan, peneliti geofisika yang juga dosen di Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB, mengatakan, ”Ini memang agak sensitif karena berkaitan dengan daerah yang padat penduduk. Tetapi, harus disampaikan apa adanya bahwa dari sisi sains, zona tektonik di selatan Jakarta memang aktif.”
Baca juga : Gempa Bermagnitudo 7,4 di Samudera Hindia Terasa di Jakarta
Endra Gunawan, yang terlibat dalam serangkaian studi kegempaan di Jawa, khususnya sekitar Jakarta ini, mengatakan, kerentanan bencana di Jakarta dan sekitarnya ini perlu dikomunikasikan ke masyarakat sehingga bisa harus mulai dipersiapkan mitigasinya. ”Selain tata ruang dan tata bangunan, juga edukasi dan pelatihan menghadapi gempa perlu disiapkan secara rutin,” kata dia.
Pentingnya membangun kesiapsiagaan gempa di Jakarta dan sekitarnya juga diingatkan Koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono. Apalagi, risiko guncangan karena gempa di Jakarta dan sekitarnya bisa diamplifikasi oleh kondisi tanah yang lunak karena tersusun endapan muda.
Dia mengingatkan kejadian gempa bumi berkekuatan M 5,8 dari zona subduksi yang melanda Jakarta pada 17 Maret 1997 yang menimbulkan kerusakan bangunan tembok di beberapa gedung di kawasan Jalan Jenderal Sudirman-Thamrin. Demikian halnya gempa berkekuatan M 6,7 di Selat Sunda pada Jumat (14/1/2022) pukul 16.05 yang menimbulkan kerusakan dan dirasakan cukup kuat hingga Jakarta.
Padahal, potensi kegempaan dari zona subduksi di Jawa bagian barat ini bisa mencapai M 8,8, yang jika saatnya itu terjadi, dampak guncangannya hingga Jakarta pasti jauh lebih hebat. Bisa lebih masif dampaknya sebagaimana terjadi pada tahun 1699. Belum lagi, ancaman gempa bersumber di daratan dari Sesar Baribis yang bisa menimbulkan guncangan hebat sebagaimana terjadi pada 1780 dan 1834 di Jakarta dan sekitarnya. Dengan kepadatan penduduk yang berlipat dibandingkan seabad lalu, dampaknya bisa sangat dahsyat....